KONTAINER

"KONTAINER"

Oleh Berrye Tukan*

Selepas pulang sekolah, Amir dan kawan-kawan bermain sebentar di pelabuhan kapal sebelum kembali ke rumah. Pelabuhan kapal itu tepat berada di antara rumah Amir dan sekolah dasar tempatnya bersekolah. Hari ini, mereka melihat dua buah kontainer yang berada di pelabuhan. Sejak adanya tol laut, baru kali ini ada kontanier itu di pelabuhan kecil di kota mereka. Mereka nampak penasaran.

“Kotak besi ini besar sekali, apa ya isinya?” tanya Udin.
“Mungkin isinya beras,” jawab Edho.
“Bisa jadi isinya semen,” jawab Achong.
“Ah, palingan isinya kue. Sebentar lagi kan Natal,” cetus Rigo.
“Kue kok diisi dalam besi ini? Basi dong nanti!”
 “Ini pasti isinya barang berharga, karna dibuat dari besi,” lanjut Amir.

Mereka lalu memukul-mukul kontainer itu hingga berbunyi nyaring.

“Hei anak-anak, jangan dipukul! Nanti penyok!” teriak Pak Dede yang entah bagaimana sudah muncul dari balik salah satu sudut kontainer.

Pak Dede bekerja sebagai petugas keamanan di pelabuhan itu. Anak-anak berhenti memukul.

“Paman, ini isinya apa?” tanya Rigo.
“Ini namanya kontainer. Isinya, hmm..., isinya adalah kepala anak-anak yang nakal,” sambungnya.
“Ha? Ah masa?” potong Amir, kaget.
“Untuk apa kepala anak-anak nakal dimasukkan ke sini?”
“Kepala anak-anak nakal ini akan dijadikan alas untuk membangun jembatan,” jelasnya dengan wajah serius dan menakutkan.
“Ada berapa banyak kepala anak-anak di dalam ini, pak?” tanya Achong.
“Sekitar lima puluhan, bisa sampai seratus. Sudah tidak usah tanya-tanya lagi. Pulang rumah sana! Kalau kalian nakal di rumah, kepala kalian akan dipotong dan dikumpulkan di sini,” katanya tegas dan menakutkan.

Amir dan kawan-kawan segera pulang sambil ketakutan. Sesekali mereka menoleh dan melihat kontainer itu. Amir membayangkan betapa banyak kepala anak-anak nakal yang ada di dalam kontainer itu.

“Kita harus datang lagi malam nanti saat sepi, kepala-kepala itu pasti banyak,” ujar Amir yang langsung diamini kawan-kawannya.
“Jam tujuh, setelah selesai Upin-Upin,” tutupnya mengakhiri sebelum berpisah di persimpangan pasar.

***
Sumber gambar : https://encrypted-tbn0.gstatic.com

Saat malam, mereka mengendap-endap di balik kontainer. Pak Dede sedang nongkrong di warung Ijah, pacar gelapnya.

“Coba pukul, kecil-kecil saja,” perintah Amir.
Acong memukul kecil kontainer itu dengan sebuah batu kecil.
“Tidak ada suara dari dalam,” bisik Acong.
“Coba bisik saja,” usul Rigo.
“Halo, halo ada orang di dalam?” kata Amir sambil mendekatkan bibirnya ke kontainer. Kawannya yang lain menempelkan telinga ke dinding kontainer.
Tiba-tiba terdengar suara kecil berbisik.
“Tolong, …. Tolong, ….. “ rintih suara dari dalam kontainer.
Amir dan kawan-kawan kaget setengah gila. Semua terpaku di tempat, seolah kaki mereka terikat rantai besi. Sedetik kemudian, mereka sudah berlari dari situ, bahkan ada yang sempat terjatuh.

***
“Di dalam besi itu, ada kepala anak-anak. Kami sendirilah yang mendengarnya tadi malam. Itu sangat mengerikan! Tolong, tolong katanya,” cerita Edho pada kawan-kawan seisi kelasnya keesokan paginya.
“Suaranya sangat menakutkan! Seperti suara setan!” sambung Udin
“Jelas itu setan karena di dalamnya hanya ada kepala-kepala,” tambah Acong.
“Aku bahkan tidak bisa tidur semalam,” tutup Amir.
“Ayo anak-anak, masuk kelas. Jangan ngumpul saja di situ,” perintah bu guru membuyarkan cerita mereka siang itu.

***
Amir dan kawan-kawan berjalan lagi di pelabuhan, sementara dua kontainer itu telah kosong.

“Ke mana mereka membawa kepala anak-anak nakal itu ya!?” tanya mereka satu dengan yang lain.
“Kasihan, kepala-kepala itu pasti sudah dibuat jembatan,” sambung mereka lagi.
“Hei anak-anak, ayo pulang ke rumah,” teriak Pak Dede dari belakang.
“Paman, besi besar di sini sudah dibawa ke mana?”
“Oh itu, sudah dibawa ke pulau Jawa, untuk membangun jembatan di sana,” jawabnya.

Anak-anak itu tampak lesu dan kecewa. Mereka nampak bingung dan takut, lalu pergi tanpa pamit lagi. Pak Dede berdiri dan melihat anak-anak itu pergi.
“Namanya juga anak-anak, gampang sekali dibohongi,” gumamnya tersenyum.

Amir dan kawan-kawan melangkah hingga di perempatan pasar.
“Kamu percaya dengan apa yang dikatakan Pak Dede?”
“Tidak!”
“Lalu suara siapa yang kita dengar dari dalam kotak besi besar itu?”
“Pak Dede!!!!,” seru mereka serempak.
………………………………………………


Waibalun, 03 Januari 2019




Komentar

Postingan populer dari blog ini

WAIBALUN - JATI DIRI

TERUNTUK PATER BERNAD MULLER, SVD

KRITIK BUDI (Refleksi Singkat untuk HUT Pater Budi Kleden SVD)