Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2020

KEBANGKITAN HATI

Gambar
Kebangkitan Hati (Renungan Harian, Selasa 31 Maret 2020 - Bilangan 21:4-9) Oleh P. Erik Ebot, SVD* Bacaan pertama dari Kitab Bilangan mengisahkan  rute perjalanan Bangsa Israel keluar dari Mesir. Perjalanan begitu panjang, melelahkan, penuh kecemasan dan ketakutan akan kondisi yang tidak pasti. Kondisi bangsa Israel yang demikian melahirkan kekecewaan. Kekecewaan ini pula membantu melahirkan pertentangan terhadap Musa. Melawan Musa berarti pula menentang kehendak Allah. Saat ini kita juga menemukan diri kita berada dalam ketakutan dan kecemasan seperti bangsa Israel yang merasa Allah menjauh dari hidup mereka. Perasaan seperti ini lahir dari nostalgia kenyamanan semu hidup yang mereka dapatkan selama berada di Mesir. Di Mesir meski bangsa Israel di jajah, mereka masih bisa makan enak, sedangkan bersama Allah di tengah ketiadaan dalam perjalanan hidup mereka terancam binasa. Seperti bangsa Israel, kita juga bernostalgia dengan kenyamana hidup kita sebelum virus corona ini mun

HIDUP SETELAH CORONA

Gambar
Hidup Setelah Corona Oleh P. Eric Ebot, SVD Saya membaca status seorang netizen hari ini di facebook, isi statusnya kurang lebih tentang kapan ini virus Corona berakhir: " Sudah lebih dari seminggu hanya tinggal di rumah dan waktu ini terasa lama sekali. Bosan dan jenuh. Mau kembali ke kehidupan normal." Saya cukup tertegun membaca status ini.  Bukannya mau menghakimi, tapi pertanyaan yang muncul adalah kehidupan normal apa yang mau dijalankan? Apakah kehidupan yang biasa-biasa saja, apakah kehidupan normal itu adalah mengulangi kebiasaan-kebiasaan yang buruk yang sudah dan akan dilakukan: manusia membunuh sesama manusia, manusia merusakkan bumi dengan serampangan.  Atau para politis membuat kebijakan yang menyingkirkan rakyat dan lingkungan hidup dengan pembangunan-pembangunan yang berpihak kepada melulu kepentingan investor. Atau kembali ke kehidupan normal itu adalah mengusahakan hal-hal yang baik, hal-hal yang cukup penting untuk membuat hidup ini punya fungsi un

'LE PESTE' DAN CORONA

Gambar
'LE PESTE' DAN CORONA Oleh Juan Kromen* Corona hari-hari ini jadi ketakutan terbesar warga dunia. Seperti tamu tak diundang, ia datang sekonyong-konyong mengetuk pintu rumah siapa saja yang mau ia singgahi, lalu tanpa tahu malu ia perlahan-lahan membunuh sang tuan rumah. Ia tentu saja tak pandang bulu, siapa tuan rumah yang bakal jadi korbannya keganasannya. Ya, ia adalah kebhatilan (the Evil, le Mal) yang bernama Corona (Covid-19). Dalam karya (novel) termasyhurnya 'Le Peste' (Paris: Gallimard, 1947), kebhatilan dalam wujud sampar jadi ide cerita Sang Absurdist, Albert Camus. Konon, Camus dengan tekun melakukan riset melalui penelusuran naskah Kitab Suci, manuskrip, teks, dan buku-buku dari era Yunani Kuno hingga Abad Pertengahan juga laporan-laporan termutakhir zamannya mengenai wabah sampar untuk mengulik novel itu. Karena karya ini, Camus diganjar Nobel Sastra di tahun 1957. Versi terjemahan bah. Indonesia 'Le peste' digarap oleh sastrawati Nh. Din

TUAN MULLER DAN 'MURO WANA'

Gambar
TUAN MULLER DAN 'MURO WANA' ( Ke t. Foto: P. Bernard Muller, SVD) Oleh Frano Kleden* --------------------------------- "Saya baca tulisan 'Muro Wana' oleh Frano Kleden dalam buku 'Peristiwa Waibalun' ini. Buku yang Anda kasih ke saya. Saya pikir sistim perkawinan tiga tungku ini akan bergeser dan bisa hilang suatu saat nanti. Sekarang kita bisa lihat di Waibalun banyak perkawinan yang tidak beres. Juga mungkin karena banyaknya perkawinan dengan orang luar Waibalun, sehingga sistim ini bisa saja hilang di kemudian hari. Saya ikut misa nebo di rumahnya Pater Budi Kleden, itu saya masih dengar opu dan blake dan sebagainya. Dan itu sangat baik. Tapi itulah kerisauan saya tentang perkawinan di Waibalun."  (P. Bernard Muller, SVD, Larantuka, 16 Maret 2020) --- PERISTIWA WAIBALUN Prolog: P. Paulus Budi Kleden, SVD Epilog: Stephie Kleden - Beetz Penerbit: Taman Baca Hutan 46 Waibalun Cet I: 2018 -------------------------------- Bahwa

KEBUDAYAAN DAN ANTISIPASI

Gambar
Kebudayaan dan Antisipasi  Dr. Ignas Kleden* KALAU dikaji agak mendalam, akan kelihatan bahwa antisipasi dan sikap reaktif merupakan dua watak dasar dalam suatu kebudayaan. Kebiasaan untuk melakukan antisipasi muncul dari pengandaian (eksplisit atau laten) bahwa dalam tiap keadaan, rencana, dan program akan selalu muncul kesulitan, hambatan, dan masalah yang sepatutnya dihadapi dengan semacam persiapan. Kesiapan menghadapi perkiraan tentang masalah dan kesulitan yang bakal muncul dilakukan dengan mengalkulasi beberapa jenis masalah berdasarkan kategori yang disusun untuk keperluan ini, dan sekaligus menyiasati sejumlah ikhtiar untuk mengatasi kesulitan-kesulitan itu apabila benar-benar muncul. Pertama, masalah dapat muncul dari pelaksanaan suatu program atau kebijakan sekalipun program itu dilaksanakan dengan baik sesuai dengan rencana. Hampir selalu muncul akibat-akibat yang tak sengaja dan tak terduga dari pelaksanaan suatu program. Sosiologi menyebutnya  unintended resul

WAIBALUN - JATI DIRI

Gambar
WAIBALUN – JATI DIRI Oleh Rufin Kedang* (Pengantar acara tatap muka dengan kaum muda Waibalun, bertempat di halaman Rumah Adat Waibalun pada hari Sabtu sore, 7 Maret 2020.) Introduksi “Kenalilah dirimu” adalah sebuah ungkapan lama yang tetap relevan. Di dinding Kuil Delphi di Yunani, kata-kata “Gnothi seauton” yang berarti “kenalilah dirimu” sudah tertera beberapa abad sebelum Masehi.  Sejak filsuf Socrates memopulerkan ungkapan tersebut, kata-kata bijak ini selalu ditekankan sebagai pegangan hidup. Banyak institusi, sekolah dan perguruan tinggi memakai ungkapan ini sebagai mottonya, baik dalam bahasa Yunani, bahasa Latin (“Nosce Teipsum”) atau bahasa Inggris (“Know Thyself”). Kita bersyukur bahwa para leluhur lewo titen Waibalun, yang saya yakin meskipun tidak pernah tahu tentang Kuil Delphi, namun berdasarkan pengalaman hidup dan adat istiadat masyarakatnya, telah menjabarkan makna universal Gnothi Seauton dalam kearifan khas Waibalun, “Lage Ae, Niku Kola”, sebuah ungkap