WAIBALUN - JATI DIRI

WAIBALUN – JATI DIRI


Oleh Rufin Kedang*

(Pengantar acara tatap muka dengan kaum muda Waibalun, bertempat di halaman Rumah Adat Waibalun pada hari Sabtu sore, 7 Maret 2020.)

Introduksi

“Kenalilah dirimu” adalah sebuah ungkapan lama yang tetap relevan. Di dinding Kuil Delphi di Yunani, kata-kata “Gnothi seauton” yang berarti “kenalilah dirimu” sudah tertera beberapa abad sebelum Masehi.  Sejak filsuf Socrates memopulerkan ungkapan tersebut, kata-kata bijak ini selalu ditekankan sebagai pegangan hidup. Banyak institusi, sekolah dan perguruan tinggi memakai ungkapan ini sebagai mottonya, baik dalam bahasa Yunani, bahasa Latin (“Nosce Teipsum”) atau bahasa Inggris (“Know Thyself”).

Kita bersyukur bahwa para leluhur lewo titen Waibalun, yang saya yakin meskipun tidak pernah tahu tentang Kuil Delphi, namun berdasarkan pengalaman hidup dan adat istiadat masyarakatnya, telah menjabarkan makna universal Gnothi Seauton dalam kearifan khas Waibalun, “Lage Ae, Niku Kola”, sebuah ungkapan yang terpampang di gapura Rumah Adat Waibalun di sudut namang. Melangkah maju namun tidak lupa menoleh ke belakang. Sebuah petuah yang bijak. Alasan kita berkumpul dan berbagi pada kesempatan ini adalah agar kata-kata arif yang menjadi motto lewo titen ini tidak hanya menjadi kata-kata hampa. Marilah kita bersama berusaha mengenal diri kita lebih baik, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, agar dapat siap melangkah menyongsong masa depan yang penuh tantangan. 

Ceritera Waibalun

Hampir semua anak Waibalun mengenal atau paling kurang  pernah mendengar tokoh Patigolo dan Watowele, penghuni Ile Mandiri yang dipercaya merupakan manusia pertama di daratan Flores Timur. Kedua tokoh ini sangat istimewa di mata hati orang Waibalun karena menurut tradisi lisan, Patigolo dan Watowele menurunkan Kudi Lelenbala yang adalah cikal bakal penduduk Waibalun.

Dalam bukunya The Stranger-Kings of Sikka (KITLV, 2010, hal. 182) E. Douglas Lewis merujuk ceritera Patigolo dan keturunannya yang dianalisa oleh Dietrich (1995) sebagai berikut.  “The myth is the tale of how Patigolo came to Larantuka from Wehali in Timor by way of Java. Landing on the beach at Waibalun, Patigolo spotted smoke arising from the summit of Ili Mandiri, the volcanic peak above the contemporary town of Larantuka. He climbed the mountain to investigate and there encountered a woman by whom he had four sons, the ancestors of Larantuka’s rajas”.

Dari sebuah pemukiman kecil Waibalun telah berkembang menjadi sebuah kampung besar, bahkan sekarang sudah menjadi bagian dari kota Larantuka. Terdapat 17 suku (clan) di Waibalun dan yang menjadi tuan tanah adalah suku Balun yang merupakaan keturunan Kudi Lelenbala. Kebanyakan suku lain adalah suku pendatang yang dalam perjalanan waktu telah membentuk masyarakat adat dan kekerabatan Waibalun, termasuk sistem perkawinan “tiga tungku” (likat telo) dengan kedudukan opu/belake-nya. Interaksi suku asli dengan suku-suku pendatang adalah unsur yang penting karena telah memberikan dinamika terhadap kehidupan lewo Waibalun, seperti yang terjadi di mana saja di dunia, suatu masyarakat menjadi lebih dinamis ketika pendatang dari bermacam-macam suku bangsa bertemu dan berinteraksi.

Catatan sejarah menyebut  nama Waibalun sejak ada interaksi dengan bangsa Barat, yakni Portugis di abad ke-16 (Paramita R. Abdurahman, Bunga Angin Portugis di Nusantara, Yayasan Obor Jakarta, 2008, hal. 67). Di situ diceriterakan bahwa karya misi yang berawal di Solor, sudah juga dilanjutkan di Larantuka (Lewonama) dan Waibalun. Nama Waibalun kemudian makin banyak disebut dalam eksistensinya sebagai sebuah desa dalam wilayah kekuasaan raja Larantuka di abad ke 19 ketika Flores dan pulau-pulau sekitarnya telah “beralih tangan” dari Portugis ke pihak Belanda (R.H. Barnes, A Temple, A Mission, and a War, Bijdragen…, 2009, hal. 43, 48, 52, 53, 54, 55). Selain itu, Karel Steenbrink dalam bukunya “Catholics in Indonesia, 1800 - 1900”, KTLV Press, 2003, hal. 123 mencatat bahwa Pastor C.M. van Rijckevorsel pada tahun 1894 menetap di lokasi antara Lewolere dan Waibalun meneruskan karya misi yang telah dimulai pada tahun 1892. Menurut catatan, pada tahun 1895 terlaksana 7 perkawinan menurut aturan gereja; pada tahun 1896 diadakan 99 pembaptisan, dan semua yang sudah dibaptis pada waktu itu berjumlah 545 orang.

Nama Waibalun juga dikenal sebagai nama sebuah kapal dagang. KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij), perusahaan perkapalan Belanda, banyak memberi nama kapal-kapalnya dengan nama tempat-tempat Indonesia, seperti Waikelo, Waingapoe, Waierang (kemudian menjadi Waiwerang sesudah diambil alih kepemilikannya oleh Djakarta Llyod) dan salah satunya adalah Waibalun (dengan ejaan Waibalong). Sampai dengan akhir tahun 1950-an KM Waibalong masih secara teratur menyinggahi pelabuhan Larantuka. Kapal ini ikut memainkan peranan yang cukup penting dalam sejarah awal berdirinya Republik Indonesia. Dalam operasi penumpasan RMS (Republik Maluku Selatan), KM Waibalong difungsikan sebagai Kapal Rumah Sakit. Di atas meja operasi ruang darurat KM Waibalong, Letkol Ignatius Slamet Rijadi, pemimpin pasukan, menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 4 November 1950 dalam usia muda 23 tahun akibat terkena tembakan pihak musuh di depan banteng Victoria, Ambon. Dan kita tahu, Ignatius Slamet Rijadi adalah salah seorang pahlawan nasional yang terkenal.

Orang Waibalun dan Lingkungannya

Penduduk Waibalun di awal tahun 2020 ini berjumlah 3025 (tiga ribu dua puluh lima) jiwa. Kalau harus menghitung jumlah semua orang Waibalun maka jumlah 3025 ini harus ditambah lagi dengan beberapa ratus orang Waibalun yang tinggal di luar Waibalun. Jakarta dan Kupang mungkin dapat disebut sebagai dua kota diaspora utama orang Waibalun.

Kebanyakan penduduk Waibalun di masa lampau adalah petani, bukan nelayan meskipun Waibalun terletak di pinggir pantai. Di masa lalu Waibalun juga terkenal sebagai penghasil tukang dan guru. Banyak gedung sekolah, tempat ibadah dan rumah penduduk di Flores Timur adalah hasil kerja para tukang Waibalun, dan guru-guru asal Waibalun mengajar di berbagai tempat di Flores Timur. Juga dari Waibalun banyak yang terpanggil sebagai rohaniwan dan rohaniwati. Uskup pertama Flores, Dr Paulus Sani Kleden SVD, adalah putra Waibalun. Kaum wanita Waibalun terkenal menghasilkan kain tenun ikat motif Waibalun. Banyak juga wanitanya yang menjadi penjual beras di pasar Larantuka. Namun dalam perjalanan waktu, keadaan sudah berubah, dominasi Waibalun dalam bidang-bidang tersebut di atas sudah tidak berlaku lagi. Penduduk Waibalun sekarang lebih bervariasi dalam bidang kerja mereka sesuai dengan perkembangan hidup yang terjadi dalam masyarakat.

Sampai dengan tahun 1956 di Waibalun hanya ada Sekolah Dasar yang pada masa itu dinamakan Sekolah Rakyat. Pada tahun 1952 Kongregasi Suster CIJ mulai berkarya di Waibalun dan di tahun 1956 mereka membuka SMPK Ratu Damai, SMP Putri pertama di Flores Timur yang menampung pelajar-pelajar putri dari daratan Flores (Timur), Adonara, Solor dan Lembata. Kemudian para suster CIJ ini juga membuka SMA dan malah sekarang di kompleks persekolahaan ini terdapat dua Perguruan Tinggi yaitu Sekolah Tinggi Pastoral atau STIPAS Reinha Larantuka dan Sekolah Tinggi Keguruan dan Teknologi Larantuka atau IKTL.


Penutup

Deskripsi dan uraian singkat mengenai Waibalun ini hanyalah sekedar pengantar bagi kita untuk saling berbagi mengenai identitas kita sebagai Ata Waibalun. Sebagian besar pembahasan di atas adalah mengenai masa lampau, masa kini hanya disinggung sedikit, sedangkan masa depan baru akan menjadi topik sharing kita.

Semoga deskripsi dan uraian di atas  bisa mendorong munculnya ide-ide yang bisa kita bicarakan bersama dan mudah-mudahan ada dari padanya yang bisa terlaksana menjadi kenyataan. Dengan demikian kita bisa melangkah maju, namun tidak lupa menoleh ke belakang. LAGE AE NIKU KOLA!!


Melbourne, 14 Februari 2020.



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

"SAMPAI SEBELUM TIBA"

LAGE AE NIKU KOLA