KRITIK BUDI (Refleksi Singkat untuk HUT Pater Budi Kleden SVD)



Kritik Budi (Refleksi Singkat untuk HUT Pater Budi Kleden SVD)



Oleh: Gusti Adi Tetiro
Sastrawan Jerman kelahiran Munich Patrick Suskind yang terkenal dengan novelnya Das Parfum (1985) pernah menulis sebuah cerita pendek tentang bahaya kritikus bagi seorang seniman muda (“Depth Wish” sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul “Racun Kritikus” oleh Anton Kurnia). Dalam sebuah kesempatan pameran, sang seniman muda terlihat sangat percaya diri menunjukkan lukisan-lukisan terbaiknya. Seorang kritikus datang memberi penilaian. “Yang Anda lakukan menarik dan Anda memang berbakat, tapi karya Anda belum menunjukkan kedalaman”
Sang seniman muda tidak paham apa yang dikatakan kritikus itu dan terus menerima pengunjung lainnya. Hingga dua hari setelah pameran, sebuah koran kota itu mengutip pernyataan kritikus, “Seniman muda itu berbakat dan dalam sekali pandang karya itu tampak menyenangkan. Namun, sayangnya dia tidak memiliki kedalaman”
Sejak saat itu, sang seniman muda mulai berpikir apa benar dirinya tidak mempunyai kedalaman. Dia berada di studionya, namun tidak bisa melakukan apa-apa lagi dengan alat-alat seninya. Dia mengurung diri dan menghindari kumpul-kumpul dengan orang lain. Dia tidak ingin berpacaran dan bercinta. Sang seniman tenggelam dalam minuman keras hingga bunuh diri. Sang seniman yang pada mulanya sangat potensial itu kemudian mati tidak berguna.
Setelah dimakamkan, kritikus yang sama membuat semacam catatan obituari, “Saya menyebutnya kehendak-memiliki-kedalaman yang berakhir secara fatal”. Sebuah cerita yang menyedihkan! Lebih dari itu, Suskind mau mengajarkan kepada kita tentang bahaya kritik yang salah dipahami karena tidak mempertimbangkan dampak lebih lanjut serta fatalnya pemberitaan media yang tidak bijak. Seperti biasa, karya-karya Suskind bisa menjadi kritik kemana-mana
Jika ingin maju, kita semua sebenarnya membutuhkan kritik. Kritik dalam arti yang sebenarnya: apresiasi untuk hal-hal yang unggul dan evaluasi untuk hal-hal yang belum benar dan tidak optimal. Dalam klasifikasi ilmu pengetahuan, filsafat menegaskan diri sebagai ilmu kritis. Filsafat selalu merupakan lawan tegas atas kebohongan (hoax) dan negasi mutlak untuk (politik) post-truth. Mungkin karena fungsinya sebagai ilmu kritis itu, filsafat biasanya juga dikenal luas sebagai strategi kebudayaan dan metode.
Orang yang awam dengan filsafat pasti akan kebingungan di hadapan filsafat. Ini ilmu yang di dalam dirinya sendiri menegaskan kekuatan pertanyaan dan pikiran. Dan hanya itu saja kekuatannya. Tidak ada yang lain. “Senjata kebenaran adalah kebenaran itu sendiri,” kata seorang filsuf.
Akal (ratio) menjadi sangat penting dalam filsafat. Kita patut bersyukur bahwa dalam konteks Indonesia, kata “ratio” diterjemahkan sebagai “akal budi”. Terjemahan ini membawa implikasi yang baik. Bahwa, orang Indonesia tidak hanya memperhatikan kekuatan akal, tetapi juga mengindahkan pertimbangan budi: pengakuan terhadap logika hati. Apakah itu juga berarti akan mengurangi daya kritis? Tentu saja tidak. Kritik dalam terang akal budi itu selalu bisa dipahami sebagai kritik yang membangun.
Saya mengambil contoh dari salah satu pengajar filsafat Pater Paul Budi Kleden SVD. Dalam proses berpikirnya dan dalam karya-karyanya, Pater Budi sangat kritis. Dia seorang doktor teologi dengan penguasaan terhadap filsafat dan sastra yang sangat luas dan mengagumkan. Pater Budi terus memperlihatkan hubungan yang adil antara filsafat dan teologi.
Lebih dari itu, sejauh yang saya tahu, kekritisannya tidak pernah menyakitkan pihak yang dikritik ataupun pihak manapun. Kemampuan untuk mengkritik dengan cara seperti ini pastilah membutuhkan kecerdasan dan kebijaksaan ekstra. Tepat di situ, letak filsafat sejati: cinta pada kebijaksanaan.
Pada pertemuan kami terakhir dengan Pater Budi, ada satu hal yang agak antusias dibahas sang Superior General SVD ini: semangatnya menyambut STFK membuka berbagai program studi lain dan tengah mempersiapkan diri menjadi universitas. Menurut Pater Budi, dengan menjadi universitas filsafat dan teologi yang dipelajari di Ledalero akan sering berdialog dengan ilmu-ilmu lain dan bisa saling berkontribusi satu sama lain.
“Dulu, dengan sengaja saya memilih studi doktoral di sebuah universitas. Benar bahwa kita bisa berdialog dalam pikiran dengan ilmu-ilmu lain. Tetapi, belajar teologi di sebuah universitas akan sangat berbeda dalam semangat dialog dan kesannya,” jelas Pater Budi.
Ini tidak terlalu mengejutkan untuk kami. Di tengah semangat ilmu-ilmu untuk melakukan studi interdisipliner dan transdisipliner, Pater Budi sebenarnya dalam skala kecil telah menerapkannya terhadap kami saat di Ledalero dulu. Setiap orang yang mempunyai bakat lain di luar filsafat dan teologi dihargainya dan diajak untuk mengembangkan bakat lain itu. Hari ini kita menemukan Gazpar Araja di musik, Gusti Wadu SVD di teater, Charles Beraf SVD di ilmu-ilmu sosial, dan lain-lain yang merupakan mahasiswa Pater Budi.
Saya ingat dulu sebelum mengambil kuliah pilihan Pater Budi, saya bertanya kepada beberapa senior. Jawaban mereka hampir selalu sama: “Pater Budi sangat menghargai ide dan cara berpikir kita”. Setelah berkenalan dengannya kesan terhadapnya menjadi sama. Dua hal yang ingin saya ceritakan di sini. Pertama, saya hampir putus asa karena merasa tidak berbakat belajar filsafat dan teologi karena makalah-makalahnya yang menurut saya sangat kering. Suatu ketika, Pater Budi mengapresiasi tulisan saya tentang seorang pegawai perpustakaan yang mengejek mahasiswa filsafat. Itu sebenarnya sebuah tulisan curhat. Tetapi, sejak saat itu saya menjadi percaya diri untuk bertahan belajar filsafat dan teologi.
Kedua, setelah dua tahun menjadi reporter sebuah koran di Jakarta, saya bertemu Pater Budi. Beliau menasihati saya kalau bisa masuk ke industri televisi. “Karena, ke depan, televisi pasti lebih banyak dilihat daripada koran,” katanya saat itu. Saya meminta doa Pater Budi. Dan, setengah tahun setelah itu, saya masuk ke industri televisi. Saya bayangkan kalau dalam dua kesempatan itu Pater Budi mengatakan, “Tulisanmu bagus tetapi kamu lebih cocok jadi calon guru sastra” atau “Mengapa masih jadi wartawan koran di saat dunia sudah berubah seperti ini?”. Pasti yang mengendap dalam batin saya sangat berbeda. Dan, dampaknya bisa menjadi sangat berbeda daripada yang terjadi hingga saat ini.
Pater Paul Budi Kleden SVD pastilah seorang guru yang baik. Guru yang baik dalam arti kehadirannya selalu menginspirasi para muridnya. Menginspirasi berarti membangkitkan daya cipta di dalam diri seseorang untuk meciptakan atau memodifikasi sesuatu atau beberapa hal dari dalam dirinya. Tentu saja, satu catatan menjadi sangat penting: tidak perlu mengkultuskan Pater Budi. Toh hal itu juga pasti tidak disukai oleh Pater Budi.
Kita memulai obrolan tertulis ini dengan kisah dari cerpen Suskind dan pengalaman saya tentang Pater Budi. Dua hal bisa kita bawa pulang. Pertama, kalau mau kritik sesuatu atau seseorang, kritiklah dengan hati dan budi. Orang-orang filsafat pasti tahu bahwa tidak boleh ada argumentum ad hominem!.  Kedua, sebagai wartawan, saya perlu hati-hati dan bijaksana dalam memberitakan sesuatu. Karena, apa yang sudah dilemparkan ke publik dampaknya tidak dapat dikendalikan lagi. Bukankah hidup ini harus terus diperindah dengan inspirasi-inspirasi dan bukan dengan dengki dan sakit hati?! Kira-kira itu sebuah kebijaksanaan yang saya pelajari dari Pater Budi. Semoga berguna untuk semua yang berniat baik.
Selamat ulang tahun Pater Budi. Sehat dan bahagia selalu!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WAIBALUN - JATI DIRI

TERUNTUK PATER BERNAD MULLER, SVD