KISAH CINTA PATIGOLO - OA DONA WATOWELE
"Kisah Cinta Patigolo - Oa Dona Watowele"
(Kisah Cinta Sang Pengembara dan Gadis Murni)
Oleh: Karolus Banda Larantukan*
Mentari tenang terbit di ufuk timur. Suara deru ombak di pesisir pasir putih menemani sang mentari yang kian membumbung. Ramai kicau suara burung saling bersahutan. Angin menerpa daun kelapa di pesisir pantai.
Pagi itu Watowele pergi berburu untuk makan hari itu. Watowele adalah gadis desa yang cantik dan belum terjamah oleh pengaruh luar dan modern manapun. Ia hanya sendirian menetap di sebuah perkampungan tua. Menurut cerita orang-orang yang mengenalnya, bahwa ia terlahir dari rahim bumi, di susui air hujan dan dibesarkan oleh alam. Ia sendirian di hutan. Dan tak seorang pun yang berusaha mendekatinya. Tidak saja karena kesendiriannya yang menyimpan misteri, tetapi juga karena jaraknya yang jauh dari perkampungan.
Setiap harinya Watowele hanya bergaul dengan alam. Makanan serta kebutuhan hidup setiap harinya bergantung pada alam. Di bawah sebuah pohon besar dan rindang, ia berteduh dan menjadi penginapannya yang damai. Ia adalah anak gunung. Hidup sendirian sebagai gadis tak terjamah. Hanya alam yang mengenalnya begitu intim. Dan kepada alam Watowele mengerti arti hidup.
Pagi itu, gadis murni itu pergi berburu. Dengan sebuah tas kecil dari anyaman daun lontar yang berisi peralatan berburu, ia berjalan melintas setiap jejak jalan. Tak beralas kaki. Tanah menjadi alas kaki sang gadis murni itu. Mendaki setiap bukit dan menuruni berbagi lembah untuk berburu. Baginya alam telah memberinya hidup dan setiap yang terburu adalah pemberi hidup. Lama ia berburu. Sendirian. Tak takut pada luasnya alam, dan buasnya hewan-hewan liar. Gadis murni itu adalah alam yang terangkum.
Selama ia berburu, asap di dapurnya terus membumbung. Sebelum pergi berburu, sang gadis murni telah menyalakan api dan memasak air. Agar ketika kembali dari berburu air itu telah mendidih dan digunakan untuk memasak hewan buruan. Asap dari gubuknya membumbung tinggi ke langit.
***
Seorang pengembara yang perkasa, menerjang tujuh samudera dan lima benua melintas di perkampungan tua itu. Pengembara itu adalah pejuang yang gagah berani. Menghalau setiap musuh yang memerdekakan kejahatan dan penghalang kebenaran. Pemuda perkasa itu bernama Pati Golo.
Lahir dari samudera dan benua. Badannya tegap, tinggi berdiri. Langkahnya bagaikan langkah raja rimba. Rambutnya diikat menjulang ke langit. Dan jenggotnya terpintal menuju bumi. Lengannya terbuat dari besi murni. Tatap matanya tajam dan menembus setiap yang tersembunyi. Ia sungguh pemuda perkasa dan pemebrani. Sendirian mengembara mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran.
***
Dan kisah itu pun berawal. Asap yang membumbung dari dapur gadis murni itu terlihat oleh tajam mata sang pengembara. Dari pesisir pantai bersama deru ombak yang menerpa telapak kaki yang kekar itu, sang pengembara menatap jauh ke hutan rimba, gunung. Dilihatnya asap yang mengepul menuju ke langit. Rasa ingin tahu seorang pengembara menghantarnya menuju ke asal asap tersebut. Berjalan dalam semak belukar dan rimba hutan yang masih asing, sang pengembara dikejar oleh rasa ingin tahu yang berapi-api. “Adakah di sana insan manusia rimba yang mau mengantarku untuk mengenal hutan rimba ini. Atau adakah nafasku yang sejenak berlari menuju hidup”, Sang pengembara merenung.
Ketika tiba di sumber asap, sang pengembara terdiam menatap gubuk tua yang beratapkan rindang pohon beringin dan beralaskan rumput yang hijau. Melihat ke arah sekitar adakah orang yang berada di sekitarnya. Tak satu pun. Terdengar dari kejauhan langkah kaki yang kian mendekat. Sang pengembara tak tahu harus berbuat apa. Karena bimbang, ia pun naik ke atas pohon beringin. Dari jauh ia melihat sosok seorang manusia berjalan penuh anggun dan perkasa. Tak beralas kaki. Rambutnya yang panjang dilepaskannya ditiup angin. Di kedua tangannya terdapat hewan, mungkin hasil berburu. Wajahnya tak nampak karena terhalang dedauan yang dijunjungnya di kepala. Sang pengembara kian penasaran.
Gadis murni itu pun tiba di gubuknya. Menghela napas panjang dan meletakkan barang-barang bawaannya ke atas meja batu. Keringat menetes dari dahi hingga ke pipih dan dagunya. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Sejenak terdiam. Gadis murni itu merasakan sesuatu yang aneh di tempatnya sendiri. Perasaan tak seperti biasanya. Ia tak tenang lagi. Sepertinya ada yang asing. Ia melihat ke sekeliling, mungkinkah ada yang aneh dan asing. Ia begitu akrab dengan tempatnya, sehingga perasaan itu sungguh membuatnya tak tenang. Lama nian ia mencari. Sang pengembara hanya duduk terdiam di atas pohon. Mungkin sang pengembara mulai merasa bersalah karena bersembunyi.
“Wahai, manusia yang di sana”, kata sang pengembara, “maaf karena aku harus berada di atas pohonmu. Aku hanya tak mau engkau melihatku terlebih dahulu. Aku hanya ingin lebih dahulu melihatmu. Maafkan atas sikapku ini.” “Turunlah kau dari sana. Apa yang hendak engkau lakukan di tempatku berada? Turunlah lekas.” Sang pengembara pun turun dari persembunyiannya. Dengan gagah berani sang pengembara mendekati gadis murni tersebut. sejenak gadis murni itu terpaku diam. Sang pengembara menatap tajam ke arah mata gadis murni itu, menambah tak bergemingnya sang gadis.
“Aku dari negeri seberang. Aku seorang pengembara. Benua serta samudera ku seberangi. Pengembaraanku seperti tak berujung. Namun, aku berpikir. Mungkin, kali ini aku menemukan makna pengembaraanku.” Gadis murni itu hanya diam mendengarnya. “Siapakah gerangan dirimu? Berdiam sendirian di hutam rimba ini? Adakah sanak keluargamu yang tinggal bersamamu atau engkau sendirian? Siapakah dirimu?” Gadis murni itu hanya diam. Ia bergegas menyiapkan segala sesuatu untuk mekan malam, karena mentari sudah kembali ke peraduannya.
Di bawah terang bulan purnama, keduanya duduk bersama dalam satu meja makan. Malam itu untuk pertama kalinya baik sang pengembara maupun gadis murni itu memiliki teman untuk duduk makan bersama dan ditemani bunyi binatang malam serta indahnya bulan purnama. Malam itu keduanya larut dalam kekhusyukkan malam.
“Siapakah namamu dan dari mana kau berasal? Di mana sanak keluargamu? Siapa dan di manakah orang tuamu? Apakah engkau seornag diri saja?”, sang pengembara memecah keheningan malam itu dengan berbagai pertanyaan.
Sang gadis murni hanya duduk terdiam, sembari melepas senyuman. “Silakan makan. Maaf, hanya hidangan ini yang dapat kusiapkan. Dan ini adalah hidanganku setiap harinya. Aku bersyukur hari ini karena selama hidupku baru sekali ini aku dapat duduk makan dengan manusia lain selain diriku sendiri dan alam ini.” Gadis murni itu penuh tenang berbicara. Bagai suara angin malam yang mendesir ke pori-pori kulit. Malam berlalu dengan beribu tanya dalam hati sang pengmbara, “Siapakah gerangan manusia ini?” Sang pengembara tak bisa tidur malam itu. Bukan karena asingnya tempat itu, tetapi karena kegelisahan hati akan sosok yang baru ditemuinya ini.
Sebelum sang mentari menampakkan keagungannya, sang pengembara itu telah terbangun. Ia berniat tuk melihat siapakah sosok gadis murni itu, ketika mentari bersinar. Sang gadis murni itu masih terlelap. Ketika sang mentari dengan keagungannya mulai menyapa bumi, sang gadis murni itu terbangun. Gadis murni itu pun menyapa matahari. Berdiri menghadap ke arah terbitnya sang surya, dan melepaskan rambutnya terurai tuk dibelai sinar mentari. Gadis murni itu membenamkan wajahnya ke dalam sebuah bambu tua yang berisi air dari tetesan embun malam. Ketika ia kembali menatap mentari, barulah sang pengembara tersentak kaget. Sosok itu begitu rupawan. Wajahnya bagai wajah alam yang terangkum. “Ia gadis tercantik yang tak pernah kulihat dalam pengembaraanku”, suara hati sang pengembara bergelora. “Adakah ia mau menemaniku hingga ajal datang menjemput?” Lama sang pengembara itu berdiam untuk tetap menatap gadis murni itu dari balik pohon. Dan seakan diberitahukan oleh alam, gadis murni itu seakan menyadari jika pengembara tersebut sedang memperhatikannya, ia pun menghardik pengembara tersebut dengan suara merdunya. “Aku tahu engkau ada di sana. Adakah aku orang aneh yang engkau temui selama pengembaraanmu, sehingga harus berada di balik pohon untuk mengetahui ‘siapakah diriku?’.” Sang pengembara itu pun keluar dari balik pohon itu.
Sang pengembara melangkah keluar dari persembunyiannya. Langkah itu adalah langkah angin yang hendak menyapa udara. Sang pengembara berjalan menuju gadis murni itu dengan tatapan penuh keintiman. Saling menatap gadis murni dan sang pengembara seakan menghardik alam di pagi itu. Suara desiran angin meruntuhkan dedauanan kering ke atas kepala kedua insan tersebut, seakan merestui tatapan itu. “Engkau gadis murni terindah dan terhebat yang pernah kutemui. Engkau menghardik adaku dan aku pun terkesima. Jiwa dan ragaku tak mampu berpaling darimu. Sekian waktu aku berjalan hendak menuju tempat yang tak tertuju, namun kini kau seakan tertuju. Dan engkau tujuan yang mengartikan perjalananku.”
Sejenak menghela napas panjang, sang pengembara kembali berujar pelan dan penuh kepastian, “Maukah Engkau hai gadis murni rangkuman alam menjadi belahan jiwaku, menemaniku hingga duniaku berakhir? Ijinkan aku tuk melamarmu menjadi cahaya di hari-hari hidupku Selamanya. Hari ini disaksikan alam jagat raya aku mau menikahimu.”
Sang gadis murni tersentak penuh kelembutan kesadaran. Rambutnya yang dibelai oleh mentari dirapikannya. Dan tatapan matanya menatap penuh kekedalaman mata sang pengembara. Dengan suara penuh kerendahan hati dan kelembutan penuh kemurnian, ia pun berujar, “Aku terlahir dari alam. Jiwa dan ragaku adalah milik alam. Hari ini seakan aku mendengar suara alam yang sekian waktu menemaniku. Aku tak tahu apakah Engkau adalah alam yang sekian waktu menemaniku dan kini hadir di hadapanku sebagai wujud suara alam? Aku tak mampu berpaling dari alam ini. Jika engkau mau aku menemanimu, maka hendaklah kau hidup untuk terus bersama menemani alam dan mendengar suara alam. Aku alam yang menjadikan dan dari alam aku berasal. Di bawah matahari dan bulan dan di atas bentangan tanah ini, aku bersedia menjadi jiwa dan ragamu.”
Dan seketika suara gemerincing rintik hujan membasahi alam jagat raya dan menghujani kepala sang gadis murni dan sang pengembara. Restu alam atas kedua insan menggaung hingga ke ujung bumi dan samudera raya.
Kisah cinta ini menjelma menjadi kehidupan tak terbatas dan penuh kemerdekaan. Hingga ajal menjemput sang gadis murni, Oa Dona Watowele, dan sang pengembara, Pati Golo Tuan Au Gatat Matan, setia menemani alam dan alam pun setia merestui ikatan suci itu.
(Kisah Cinta Sang Pengembara dan Gadis Murni)
Oleh: Karolus Banda Larantukan*
Pagi itu Watowele pergi berburu untuk makan hari itu. Watowele adalah gadis desa yang cantik dan belum terjamah oleh pengaruh luar dan modern manapun. Ia hanya sendirian menetap di sebuah perkampungan tua. Menurut cerita orang-orang yang mengenalnya, bahwa ia terlahir dari rahim bumi, di susui air hujan dan dibesarkan oleh alam. Ia sendirian di hutan. Dan tak seorang pun yang berusaha mendekatinya. Tidak saja karena kesendiriannya yang menyimpan misteri, tetapi juga karena jaraknya yang jauh dari perkampungan.
Setiap harinya Watowele hanya bergaul dengan alam. Makanan serta kebutuhan hidup setiap harinya bergantung pada alam. Di bawah sebuah pohon besar dan rindang, ia berteduh dan menjadi penginapannya yang damai. Ia adalah anak gunung. Hidup sendirian sebagai gadis tak terjamah. Hanya alam yang mengenalnya begitu intim. Dan kepada alam Watowele mengerti arti hidup.
Pagi itu, gadis murni itu pergi berburu. Dengan sebuah tas kecil dari anyaman daun lontar yang berisi peralatan berburu, ia berjalan melintas setiap jejak jalan. Tak beralas kaki. Tanah menjadi alas kaki sang gadis murni itu. Mendaki setiap bukit dan menuruni berbagi lembah untuk berburu. Baginya alam telah memberinya hidup dan setiap yang terburu adalah pemberi hidup. Lama ia berburu. Sendirian. Tak takut pada luasnya alam, dan buasnya hewan-hewan liar. Gadis murni itu adalah alam yang terangkum.
Selama ia berburu, asap di dapurnya terus membumbung. Sebelum pergi berburu, sang gadis murni telah menyalakan api dan memasak air. Agar ketika kembali dari berburu air itu telah mendidih dan digunakan untuk memasak hewan buruan. Asap dari gubuknya membumbung tinggi ke langit.
***
Lahir dari samudera dan benua. Badannya tegap, tinggi berdiri. Langkahnya bagaikan langkah raja rimba. Rambutnya diikat menjulang ke langit. Dan jenggotnya terpintal menuju bumi. Lengannya terbuat dari besi murni. Tatap matanya tajam dan menembus setiap yang tersembunyi. Ia sungguh pemuda perkasa dan pemebrani. Sendirian mengembara mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran.
***
Dan kisah itu pun berawal. Asap yang membumbung dari dapur gadis murni itu terlihat oleh tajam mata sang pengembara. Dari pesisir pantai bersama deru ombak yang menerpa telapak kaki yang kekar itu, sang pengembara menatap jauh ke hutan rimba, gunung. Dilihatnya asap yang mengepul menuju ke langit. Rasa ingin tahu seorang pengembara menghantarnya menuju ke asal asap tersebut. Berjalan dalam semak belukar dan rimba hutan yang masih asing, sang pengembara dikejar oleh rasa ingin tahu yang berapi-api. “Adakah di sana insan manusia rimba yang mau mengantarku untuk mengenal hutan rimba ini. Atau adakah nafasku yang sejenak berlari menuju hidup”, Sang pengembara merenung.
Ketika tiba di sumber asap, sang pengembara terdiam menatap gubuk tua yang beratapkan rindang pohon beringin dan beralaskan rumput yang hijau. Melihat ke arah sekitar adakah orang yang berada di sekitarnya. Tak satu pun. Terdengar dari kejauhan langkah kaki yang kian mendekat. Sang pengembara tak tahu harus berbuat apa. Karena bimbang, ia pun naik ke atas pohon beringin. Dari jauh ia melihat sosok seorang manusia berjalan penuh anggun dan perkasa. Tak beralas kaki. Rambutnya yang panjang dilepaskannya ditiup angin. Di kedua tangannya terdapat hewan, mungkin hasil berburu. Wajahnya tak nampak karena terhalang dedauan yang dijunjungnya di kepala. Sang pengembara kian penasaran.
Gadis murni itu pun tiba di gubuknya. Menghela napas panjang dan meletakkan barang-barang bawaannya ke atas meja batu. Keringat menetes dari dahi hingga ke pipih dan dagunya. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Sejenak terdiam. Gadis murni itu merasakan sesuatu yang aneh di tempatnya sendiri. Perasaan tak seperti biasanya. Ia tak tenang lagi. Sepertinya ada yang asing. Ia melihat ke sekeliling, mungkinkah ada yang aneh dan asing. Ia begitu akrab dengan tempatnya, sehingga perasaan itu sungguh membuatnya tak tenang. Lama nian ia mencari. Sang pengembara hanya duduk terdiam di atas pohon. Mungkin sang pengembara mulai merasa bersalah karena bersembunyi.
“Wahai, manusia yang di sana”, kata sang pengembara, “maaf karena aku harus berada di atas pohonmu. Aku hanya tak mau engkau melihatku terlebih dahulu. Aku hanya ingin lebih dahulu melihatmu. Maafkan atas sikapku ini.” “Turunlah kau dari sana. Apa yang hendak engkau lakukan di tempatku berada? Turunlah lekas.” Sang pengembara pun turun dari persembunyiannya. Dengan gagah berani sang pengembara mendekati gadis murni tersebut. sejenak gadis murni itu terpaku diam. Sang pengembara menatap tajam ke arah mata gadis murni itu, menambah tak bergemingnya sang gadis.
“Aku dari negeri seberang. Aku seorang pengembara. Benua serta samudera ku seberangi. Pengembaraanku seperti tak berujung. Namun, aku berpikir. Mungkin, kali ini aku menemukan makna pengembaraanku.” Gadis murni itu hanya diam mendengarnya. “Siapakah gerangan dirimu? Berdiam sendirian di hutam rimba ini? Adakah sanak keluargamu yang tinggal bersamamu atau engkau sendirian? Siapakah dirimu?” Gadis murni itu hanya diam. Ia bergegas menyiapkan segala sesuatu untuk mekan malam, karena mentari sudah kembali ke peraduannya.
Di bawah terang bulan purnama, keduanya duduk bersama dalam satu meja makan. Malam itu untuk pertama kalinya baik sang pengembara maupun gadis murni itu memiliki teman untuk duduk makan bersama dan ditemani bunyi binatang malam serta indahnya bulan purnama. Malam itu keduanya larut dalam kekhusyukkan malam.
“Siapakah namamu dan dari mana kau berasal? Di mana sanak keluargamu? Siapa dan di manakah orang tuamu? Apakah engkau seornag diri saja?”, sang pengembara memecah keheningan malam itu dengan berbagai pertanyaan.
Sang gadis murni hanya duduk terdiam, sembari melepas senyuman. “Silakan makan. Maaf, hanya hidangan ini yang dapat kusiapkan. Dan ini adalah hidanganku setiap harinya. Aku bersyukur hari ini karena selama hidupku baru sekali ini aku dapat duduk makan dengan manusia lain selain diriku sendiri dan alam ini.” Gadis murni itu penuh tenang berbicara. Bagai suara angin malam yang mendesir ke pori-pori kulit. Malam berlalu dengan beribu tanya dalam hati sang pengmbara, “Siapakah gerangan manusia ini?” Sang pengembara tak bisa tidur malam itu. Bukan karena asingnya tempat itu, tetapi karena kegelisahan hati akan sosok yang baru ditemuinya ini.
Sebelum sang mentari menampakkan keagungannya, sang pengembara itu telah terbangun. Ia berniat tuk melihat siapakah sosok gadis murni itu, ketika mentari bersinar. Sang gadis murni itu masih terlelap. Ketika sang mentari dengan keagungannya mulai menyapa bumi, sang gadis murni itu terbangun. Gadis murni itu pun menyapa matahari. Berdiri menghadap ke arah terbitnya sang surya, dan melepaskan rambutnya terurai tuk dibelai sinar mentari. Gadis murni itu membenamkan wajahnya ke dalam sebuah bambu tua yang berisi air dari tetesan embun malam. Ketika ia kembali menatap mentari, barulah sang pengembara tersentak kaget. Sosok itu begitu rupawan. Wajahnya bagai wajah alam yang terangkum. “Ia gadis tercantik yang tak pernah kulihat dalam pengembaraanku”, suara hati sang pengembara bergelora. “Adakah ia mau menemaniku hingga ajal datang menjemput?” Lama sang pengembara itu berdiam untuk tetap menatap gadis murni itu dari balik pohon. Dan seakan diberitahukan oleh alam, gadis murni itu seakan menyadari jika pengembara tersebut sedang memperhatikannya, ia pun menghardik pengembara tersebut dengan suara merdunya. “Aku tahu engkau ada di sana. Adakah aku orang aneh yang engkau temui selama pengembaraanmu, sehingga harus berada di balik pohon untuk mengetahui ‘siapakah diriku?’.” Sang pengembara itu pun keluar dari balik pohon itu.
Sang pengembara melangkah keluar dari persembunyiannya. Langkah itu adalah langkah angin yang hendak menyapa udara. Sang pengembara berjalan menuju gadis murni itu dengan tatapan penuh keintiman. Saling menatap gadis murni dan sang pengembara seakan menghardik alam di pagi itu. Suara desiran angin meruntuhkan dedauanan kering ke atas kepala kedua insan tersebut, seakan merestui tatapan itu. “Engkau gadis murni terindah dan terhebat yang pernah kutemui. Engkau menghardik adaku dan aku pun terkesima. Jiwa dan ragaku tak mampu berpaling darimu. Sekian waktu aku berjalan hendak menuju tempat yang tak tertuju, namun kini kau seakan tertuju. Dan engkau tujuan yang mengartikan perjalananku.”
Sejenak menghela napas panjang, sang pengembara kembali berujar pelan dan penuh kepastian, “Maukah Engkau hai gadis murni rangkuman alam menjadi belahan jiwaku, menemaniku hingga duniaku berakhir? Ijinkan aku tuk melamarmu menjadi cahaya di hari-hari hidupku Selamanya. Hari ini disaksikan alam jagat raya aku mau menikahimu.”
Sang gadis murni tersentak penuh kelembutan kesadaran. Rambutnya yang dibelai oleh mentari dirapikannya. Dan tatapan matanya menatap penuh kekedalaman mata sang pengembara. Dengan suara penuh kerendahan hati dan kelembutan penuh kemurnian, ia pun berujar, “Aku terlahir dari alam. Jiwa dan ragaku adalah milik alam. Hari ini seakan aku mendengar suara alam yang sekian waktu menemaniku. Aku tak tahu apakah Engkau adalah alam yang sekian waktu menemaniku dan kini hadir di hadapanku sebagai wujud suara alam? Aku tak mampu berpaling dari alam ini. Jika engkau mau aku menemanimu, maka hendaklah kau hidup untuk terus bersama menemani alam dan mendengar suara alam. Aku alam yang menjadikan dan dari alam aku berasal. Di bawah matahari dan bulan dan di atas bentangan tanah ini, aku bersedia menjadi jiwa dan ragamu.”
Dan seketika suara gemerincing rintik hujan membasahi alam jagat raya dan menghujani kepala sang gadis murni dan sang pengembara. Restu alam atas kedua insan menggaung hingga ke ujung bumi dan samudera raya.
Kisah cinta ini menjelma menjadi kehidupan tak terbatas dan penuh kemerdekaan. Hingga ajal menjemput sang gadis murni, Oa Dona Watowele, dan sang pengembara, Pati Golo Tuan Au Gatat Matan, setia menemani alam dan alam pun setia merestui ikatan suci itu.
*Peminat Sastra,
Tinggal di Waibalun-Flores Timur
Pernah dimuat di Warta Flobamora
Terima kasih ade...luar biasa..jadi tite bisa toir asal usul lewo tite.🙏🙏
BalasHapusTerima kasih juga Tata sudah membacanya... Semoga piin jadi refleksi tite bersama untuk "Lage Ae Niku Kola"...
HapusStau saya watowelewtidak hidup sendirian tapi dia hidup bersama saudaranya lia nurat
BalasHapusLuar biasa Ade...goe sangat simpati dgn penceritaan kembali cerita Watowele dan Patigolo dengan versi seperti ini.
BalasHapus