Melanjutkan Membaca Ignas Kleden, Menyandingkan dengan Goenawan Mohamad

Melanjutkan Membaca Ignas Kleden, Menyandingkan dengan Goenawan Mohamad

(Foto: Goenawan Mohamad dan Ignas Kleden)

Oleh: Riwanto Tirtosudarmo*


Arief Budiman dalam esainya yang indah  "Esai tentang Esai" di Majalah Sastra Horizon, Juli 1966; menulis: Bersama puisi orang-orang diajak menuju pada kehidupan nilai-nilai subyektif. Bersama ilmu orang diajak kepada hidup yang praktis. Bersama esai orang diajak kepada kehidupan yang menggejala secara sederhana dalam diri seorang manusia nyata. Itulah esai. Dalam menilainya kita harus menempatkannya pada proporsi yang sebenarnya sesuai dengan kodratnya. Dinilai dengan norma-norma puisi, dia adalah puisi yang tanggung – puisi yang kurang dihayati secara intens/pathos. Dinilai dengan norma-norma ilmu, dia adalah ilmu yang setengah-setengah, suatu studi pendahuluan yang masih kabur perumusan konsep-konsepnya; masih bercampur-baur dengan perasaan-perasaan subyektif dari penulisnya yang dibiarkan hidup dan terus terasa mengganggu bagi seorang sarjana.

Dari  pengamatan saya yang terbatas, saat ini, Ignas Kleden (IK) dan Goenawan Mohamad (GM) adalah dua esais terbaik kita. Keduanya menulis berbagai isu tentang seni, ilmu, politik dan agama. Belum lama ini saya membaca dua buku yang merupakan kumpulan esai mereka: Fragmen Sejarah Intelektual: Beberapa Profil Indonesia Merdeka (Obor, 2020) dan Ketika Revolusi Tak Ada Lagi (Alfabet, 2005; edisi ketiga/revisi). Melalui dua buku kumpulan tulisan ini saya menyandingkan kedua penulisnya, menikmati tulisan-tulisan keduanya dengan pemahaman tentang esai seperti dikatakan Arief Budiman di atas, tanpa bermaksud secara ketat dan sistematis untuk membandingkannya. Mungkin tulisan ini sekedar sketsa daripada sebuah lukisan yang utuh dan selesai. Saya adalah pembaca yang berusaha menilai esai, mengikuti anjuran Arief Budiman, dengan norma-norma esai, sehingga dia akan tampil dengan segala kesegaran perhiasan-perhiasan dirinya, bagai bunga yang bangga ketika mekar pagi hari.

Meskipun dari waktu penerbitannya, kedua buku itu terpaut 15 tahun, namun jika dilihat waktu esai-esai itu terbit sebagai tulisan lepas, bisa dikatakan semasa, antara tahun 1966 sampai tahun 2011, sekitar setengah abad setelah kejatuhan Sukarno. Pada buku GM,  tulisan tertua  (Saini KM)  diterbitkan 1966 dan yang terakhir (Pramoedya) tahun 2000. Sementara rentang waktu terbit tulisan Ignas dari 1996 (Frans Seda) dan yang terakhir  2011 (Pramoedya). Rentang waktu tulisan GM 33 tahun sementara IK 15 tahun. Buku IK (Fragmen Sejarah Intelektual...) berisi 27 tulisan yang dibaginya menjadi dua kelompok (politik dan seni); Sementara buku GM (Ketika Revolusi Tak Ada Lagi)  berisi 32 tulisan yang pengelompokkannya terasa lebih longgar dibandingkan dengan cara pengelompokkan dalam buku IK.

Secara kebetulan, kedua buku kumpulan tulisan ini, memiliki fokus yang sama yaitu membicarakan sosok-sosok intelektual dengan karya dan pemikirannya, meskipun tidak seperti buku IK yang memang dimaksudkan untuk mengupas tokoh (meskipun juga tidak sepenuhnya, seperti pada tulisan “Surat buat Siapa Saja” dan “Jurnalisme Fakta dan Jurnalisme Makna: Wartawan dan Kebudayaan”), pada buku GM terdapat beberapa esai yang tidak menjadikan tokoh sebagai pokoknya, misalnya tulisan yang dikelompokkan di bagian terakhir tentang “seni dan pasar”.  Jika ada tokoh di sana, misalnya Joko Pekik atau Gundala, tokoh itu bukan pokok karena yang mau ditampilkan adalah seting dan konteknya, dalam hal ini tentang seni dan pasarnya.

Dilihat dari sudut tokoh politik yang menjadi pokok, buku IK memperlihatkan jumlah yang lebih banyak (Sukarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, Gus Dur dan Frans Seda), sementara dalam buku GM hanya satu (Sjahrir).  Penulis  sastra dan seni, pada buku IK (Pramoedya, Mochtar Lubis, GM, Asrul Sani, Soetardji C.Bachri, STA, Rendra dan Sardono W. Kusumo), pada buku GM (Pramoedya, Umar Kayam, Saini KM, Sapardi Djoko Damono, Radhar Panca Dahana, Joko Pekik, Amir Hamzah, Hartojo Andangdjaja, Trisno Sumardjo dan Subagjo Sastrowardojo). Tapi di bagian dua kumpulan tulisannya, GM membicarakan beberapa pemikir Indonesia (Soedjatmoko, STA, Kartini) yang dibarengkan dengan esainya tentang pemikir-pemikir barat seperti Camus, Heidegger, Nietzsche, Breght dan Marx). Bagian satu dalam buku GM, selain Ketib Anom dibicarakan tentang Pramoedya, Umar Kayam, Ikbal, Nurcholis Madjid dan Sjahrir; dalam sub judul “Ketib Anom dan Pintu Menuju Tuhan”; refleksi GM tentang iman dan institusi agama, sebuah tema yang absen di buku IK. Absennya pemikiran tentang agama dan sosok intelektual perempuan dalam buku IK menyisakan sebuah pertanyaan besar tentang sejauh manakah perhatian IK tentang isu agama dan isu perempuan itu.

Jika IK boleh dibilang seorang esais yang berangkat dari dunia intelektual yang kurang lebih akademik, GM adalah seorang esais yang berangkat dari dunia jurnalisme yang lebih eksploratif. IK dalam mengemukakan pikiran-pikirannya memiliki strategi dan struktur yang lebih sistemik, sementara GM cenderung anti struktur dan anti sistim (Ini juga dikatakan oleh IK dalam tulisannya tentang GM, sayang tulisan ini tidak disertakan dalam buku IK). Mungkin latar belakang pendidikan formal ikut menentukan di sini. IK memakai metodologi yang cenderung saintifik, sementara GM cenderung intuitif  dan mengikuti panggilan rasa hatinya. GM sejak muda telah terbiasa mengekspresikan rasa ingin tahunya melalui puisi, sementara IK terbiasa menyalurkan rasa ingin tahunya melalui analisis. Filsafat bagi IK adalah bagian dari metode analisisnya, sementara bagi GM filsafat adalah bagian dari pemuas kerinduannya akan sesuatu yang tak terjangkau. Bagi keduanya, bahasa adalah jalan darmanya.

Distingsi antara IK dan GM, dua esais terbaik kita saat ini, juga tampak terlihat dari tradisi asal mereka, IK adalah Flores yang Kristen-Katolik sementara GM adalah Jawa yang Islam-pesisiran. Keduanya, menyerap barat dengan tapis dari tradisi yang melatarbelakanginya. IK bisa dibilang luluh dalam barat yang datang bersama kekristenan, sementara GM mampu menegosiasi barat dengan kejawaannya yang Islam. Mungkin ini juga yang membuat IK lebih cocok dengan STA (seperti terlihat dari 3 tulisannya tentang STA di bukunya) yang juga luluh dalam barat, dibandingkan misalnya dengan Soedjatmoko yang seperti GM menggenggam  tradisi Jawa yang membuatnya tidak luluh dengan barat. Tulisan panjang IK tentang Soedjatmoko memperlihatkan kedekatan keduanya, meskipun IK tetap memperlihatkan sikap kritis terhadapnya. Bagi saya, Soedjatmoko memiliki tema tertentu yang selalu muncul dalam tulisan-tulisannya, IK menyebut tema otonomi dan kebebasan. Dibandingkan dengan Soedjatmoko, IK justru seperti belum memiliki tema tertentu dalam tulisan-tulisannya.

Adalah juga menarik bagaimana Pramoedya, seorang Jawa yang lebih barat dari Soedjatmoko dan GM ditatap oleh IK dan GM. Dalam buku IK hanya ada satu tulisan panjang tentang Pram yang ditatap dari tetraologi novel Buru-nya; sementara dalam buku GM ada tiga esai tentang Pram. Selain dari esai tentang Pram, tatapan IK tentang Jawa bisa dilihat juga dari tulisan panjangnya tentang HB IX dan  Sardono W. Kusumo seorang penari Jawa klasik yang tidak hanya berhasil membawa koreografinya ke tingkat dunia namun juga bagaimana Jawa diolahnya bersama tradisi-tradisi nusantara lainnya. Bagi IK kebudayaan, termasuk Jawa adalah gejala yang harus dianalisis dengan ilmu baratnya, sementara bagi GM Jawa adalah bagian dari dirinya dalam bernegosiasi dengan barat.

Menyandingkan IK dan GM melalui dua buku kumpulan tulisannya yang berbicara tentang pokok dan tokoh (meminjam istilah Tempo) terlihat bahwa IK memang berniat untuk menempatkan tokoh-tokohnya dalam apa yang disebutnya sebagai sejarah intelektual, sementara GM tidak memiliki niat seperti itu. Kumpulan tulisan GM tidak dipertautkan dengan sebuah tema tertentu, meskipun judul “Ketika Revolusi Tak Ada Lagi” tentu bisa ditafsirkan sebagai mengandung maksud tertentu. Tetapi, sekedar pertanyaan iseng, bagaimana menempatkan Ketib Anom dan Gundala dalam tema revolusi itu? Pemilihan judul memang selalu problematik dalam sebuah kumpulan tulisan. Saya merasa kata “sejarah” dalam judul buku IK cukup mengganggu. Sejarah mengandaikan adanya empiri dan kronologi, dan karena itu memang perlu “rigorousness”. Tapi ini memang pilihan IK yang punya kecenderungan analitis namun dengan perhatian yang tidak cukup besar terhadap data-data empiris. Ketika membahas Tan Malaka tidak ada referensi, misalnya pada studi Hary Poeze yang lima jilid bukunya telah diterbitkan oleh Obor. Ketika mendiskusikan intelektual IK juga sama sekali tidak menyinggung buku tebal karya Dhaniel Dhakidae tentang cendekiawan dan kekuasaan, sebuah kajian terkuat sejauh ini tentang peran intelektual di zaman Orde Baru.

Tapi, akhirnya, sebuah pertanyaan, apa yang membuat esai-esai IK dan GM menjadikan mereka sebagai esais terbaik kita saat ini? Ketika saya menggunakan kata “kita” di sini, jelas saya melakukan sebuah ketidakadilan. Saya secara subyektif telah melakukan klaim terhadap sesuatu yang mestinya harus diperdebatkan ketepatannya. Tapi saya kan memang sedang berusaha menulis esai, sesuatu yang pada dasarnya bersifat subyektif. Sekian, terimakasih.

 

*Peneliti independen. Tulisan ini dibacakan pada webinar yang diselenggarakan oleh Penerbit Buku Obor untuk mendiskusikan buku Iknas Kleden “Fragmen Sejarah Intelektual: Beberapa Profil Indonesia Merdeka”, Rabu 27 Januari 2021. Tulisan-tulisan Dr. Riwanto Tirtosudarmo dapat dibaca di rubrik akademia portal kajanglako.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WAIBALUN - JATI DIRI

TERUNTUK PATER BERNAD MULLER, SVD

KRITIK BUDI (Refleksi Singkat untuk HUT Pater Budi Kleden SVD)