SURAT dari BULAN
Surat dari Bulan
-------
Cerpen oleh Penjelajah Alam
Ankie, pemuda tetangga kami. Tubuhnya kurus tapi tak krempeng, masih sedikit berisi. Rambutnya keriting kering. Brewokan. Jebolan salah satu perguruan tinggi terkenal jurusan hukum di pulau seberang ini memang sangat esentrik. Penampilannya sederhana, kadang kumal, sisa idealisme ala mahasiswa. Sejak pulang kampung, dia memang suka meneriakan semua hal yang menurutnya timpang dan tidak adil.
Semua hal dikritiknya. Dari pasar yang selalu kotor dan kumal, jalanan yang berlubang, sampah yang menumpuk hingga bunga tetangga yang ditanam di depan rumah. Kala pemilu datang, dia mengkritik habis-habisan caleg yang asal mengumbar janji di baliho. Saat gempa melanda, dia menyalahkan pemerintah yang gagal memberikan peringatan gempa.
Warga kampung pun merasa menemukan sosok superman dalam dirinya. Dirinya menjadi idola baru di kampung, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Setiap tulisan dan status di akun medsosnya dibanjiri jempol dan komentar. ‘Mantap! Luar biasa kawan! Ide cemerlang, bodoh amat!’, demikian pujian-pujian itu mengalir.
Namun beberapa hari belakangan, Ankie nampak mulai berbeda. Dia masih belum berhenti mengkritik, namun kali ini dia mengkritik hal yang cukup aneh dan absurd. Bulan! Ya, Ankie mengkritik bulan.
“Wahai bulan, engkau hanyalah batu seukuran planet Mars yang menabrak bumi kami. Dasar bulan sialan! Engkau numpang orbit pada bumi! Kasihan sekali kau! Lalu, kau mengorbiti bumi kami! Wahai bulan! Sadarlah!” teriaknya malam-malam di jalan.
“Kau jangan sombong bulan! Kau bukan satelit untuk bumi kami! Masih ada asteroid yang juga mengelilingi bumi!” katanya sambil marah-marah.
Ankie berlari ke sana ke mari, menemui tua-tua adat di kampung kami, dan mengajak warga kampung untuk melempari bulan dengan batu. Warga kampung menjadi ketakutan dengan ulahnya. Namun sebagian orang kampung yang terlanjur mengidolakannya melakukan hal yang disuruh Ankie. Mereka berdiri di atas bukit dan berusaha melempari bulan dengan batu. Tentu saja itu sia-sia. Batu-batu itu jatuh ke dalam jurang.
Malam berikutnya Ankie meracu lagi, kini dari atas bukit.
“Aku tahu bulan, kau punya banyak kawah, bekas hantaman asteorid miliaran tahun yang lalu. Tapi tahukah kau bulan? Engkau tidak punya atmosfer, seperti punya kami di bumi! Kasihan sekali kau, tidak ada hujan dan angin di sana! Haha, …” tawanya.
Dia berhenti sebentar, lalu mulai meracuh lagi.
“Bentukmu jelek! Tidak seperti bola, lebih menyerupai telur! Dan kau tidak punya pusat geometris! Betapa kasihannya kau!”
“Bulan, di sana ada gempa kan meski kecil? Ternyata kau juga tidak aman, seperti kami di bumi!” lanjutnya.
Pagi harinya, warga kampung menemukan Ankie tertidur di atas pohon, tanpa baju. Polisi dipanggil, namun Ankie keburu masuk ke dalam hutan dan menghilang. Anehnya, ketika malam hari, suara Ankie mulai terdengar lagi, masih saja mengumpat tentang bulan.
“Meski engkau lebih besar dari Pluto, ketahuilah bulan, engkau bukan planet! Bukan planet! Kau dengar itu?”, teriaknya dengan suara yang keras membahana di tengah malam yang sunyi. Tak ada warga kampung yang ke luar rumah dan berusaha mengejarnya. Mereka berpikir Ankie sudah terkena guna-guna dari setan.
“Wahai orang-orang kampung, ketahuilah! Lihatlah air pasang dan surut di laut! Itu adalah kerja bulan! Niat jahatnya menenggelamkan kita semua di bumi! Lemparkan batu ke bulan! Jatuhkan dia dari atas langit yang pongah! Bergegaslah orang-orang kampung!” teriaknya malam berikutnya.
“Apa yang paling menyedihkan dari semua itu? Engkau suatu saat nanti akan meninggalkan bumi, karena engkau telah lari dari lintasanmu! Haha, selamat jalan bulan! Tidak akan ada lagi bulan suatu saat nanti. Dan aku akan menunggu saat itu,” tawanya membelah gelap dan malam. Hingga subuh, Ankie tetap tertawa, hingga suaranya benar-benar menghilang.
Warga kampung tak menemukan dia kala pagi datang. Tak ada jejaknya di pinggir hutan. Saat malam tiba, bulan seolah menghilang. Tak ada cahayanya malam ini. Gelap. Hitam. Pekat. Nampak seperti kelereng hitam yang transparan. Mungkinkah bulan marah pada Ankie?
Tiba-tiba suara Ankie terdengar di ujung lereng, tepat di sebelah timur.
“Aku tahu engkau telah malu! Malu! Aku tak akan datang padamu, meski engkau mengundangku. Aku tak pernah salah. Orang-orang kampung menganggap aku gila! Tapi aku tidak gila! Aku benar! Orang kampung dan bulan-lah yang gila! Gila!” teriaknya sambil melompat-lompat. Orang-orang kampung mengintip dari balik tirai jendela. Ankie masih asyik melompat, lalu tiba-tiba batu tempatnya melompat mulai bergoyang, bergeser lalu jatuh bersama Ankie yang terjun bebas. Siluet tubuhnya mengambang sebentar ketika bulan tiba-tiba bercahaya kembali.
“Buuuuk!”
Dan sepi.
Besok paginya, orang kampung menemukan mayat Ankie di tengah lereng. Di tangannya, terdapat selembar surat kecil yang sudah kumal. Orang-orang kampung penasaran.
“Surat apa itu?”
“Ini sebuah surat. Surat dari bulan!”
Orang kampung menguburkan Ankie di atas bukit untuk menunjukkan kepada anak-anak mereka bahwa pada suatu masa ada seorang kampung yang pernah menghabiskan waktunya untuk mengkritik dunia dan bulan.
“Bulan memang kecil dan tak mulus, namun ingatlah nak, cahaya bulanlah yang telah membantu nelayan menangkap ikan-ikan untuk makanan kita sehari-hari sejak dahulu,” kata orang tua, mulai menasihati anak-anak mereka.
-------
Cerpen oleh Penjelajah Alam
Ankie, pemuda tetangga kami. Tubuhnya kurus tapi tak krempeng, masih sedikit berisi. Rambutnya keriting kering. Brewokan. Jebolan salah satu perguruan tinggi terkenal jurusan hukum di pulau seberang ini memang sangat esentrik. Penampilannya sederhana, kadang kumal, sisa idealisme ala mahasiswa. Sejak pulang kampung, dia memang suka meneriakan semua hal yang menurutnya timpang dan tidak adil.
Semua hal dikritiknya. Dari pasar yang selalu kotor dan kumal, jalanan yang berlubang, sampah yang menumpuk hingga bunga tetangga yang ditanam di depan rumah. Kala pemilu datang, dia mengkritik habis-habisan caleg yang asal mengumbar janji di baliho. Saat gempa melanda, dia menyalahkan pemerintah yang gagal memberikan peringatan gempa.
Warga kampung pun merasa menemukan sosok superman dalam dirinya. Dirinya menjadi idola baru di kampung, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Setiap tulisan dan status di akun medsosnya dibanjiri jempol dan komentar. ‘Mantap! Luar biasa kawan! Ide cemerlang, bodoh amat!’, demikian pujian-pujian itu mengalir.
Namun beberapa hari belakangan, Ankie nampak mulai berbeda. Dia masih belum berhenti mengkritik, namun kali ini dia mengkritik hal yang cukup aneh dan absurd. Bulan! Ya, Ankie mengkritik bulan.
“Wahai bulan, engkau hanyalah batu seukuran planet Mars yang menabrak bumi kami. Dasar bulan sialan! Engkau numpang orbit pada bumi! Kasihan sekali kau! Lalu, kau mengorbiti bumi kami! Wahai bulan! Sadarlah!” teriaknya malam-malam di jalan.
“Kau jangan sombong bulan! Kau bukan satelit untuk bumi kami! Masih ada asteroid yang juga mengelilingi bumi!” katanya sambil marah-marah.
Ankie berlari ke sana ke mari, menemui tua-tua adat di kampung kami, dan mengajak warga kampung untuk melempari bulan dengan batu. Warga kampung menjadi ketakutan dengan ulahnya. Namun sebagian orang kampung yang terlanjur mengidolakannya melakukan hal yang disuruh Ankie. Mereka berdiri di atas bukit dan berusaha melempari bulan dengan batu. Tentu saja itu sia-sia. Batu-batu itu jatuh ke dalam jurang.
Malam berikutnya Ankie meracu lagi, kini dari atas bukit.
“Aku tahu bulan, kau punya banyak kawah, bekas hantaman asteorid miliaran tahun yang lalu. Tapi tahukah kau bulan? Engkau tidak punya atmosfer, seperti punya kami di bumi! Kasihan sekali kau, tidak ada hujan dan angin di sana! Haha, …” tawanya.
Dia berhenti sebentar, lalu mulai meracuh lagi.
“Bentukmu jelek! Tidak seperti bola, lebih menyerupai telur! Dan kau tidak punya pusat geometris! Betapa kasihannya kau!”
“Bulan, di sana ada gempa kan meski kecil? Ternyata kau juga tidak aman, seperti kami di bumi!” lanjutnya.
Pagi harinya, warga kampung menemukan Ankie tertidur di atas pohon, tanpa baju. Polisi dipanggil, namun Ankie keburu masuk ke dalam hutan dan menghilang. Anehnya, ketika malam hari, suara Ankie mulai terdengar lagi, masih saja mengumpat tentang bulan.
“Meski engkau lebih besar dari Pluto, ketahuilah bulan, engkau bukan planet! Bukan planet! Kau dengar itu?”, teriaknya dengan suara yang keras membahana di tengah malam yang sunyi. Tak ada warga kampung yang ke luar rumah dan berusaha mengejarnya. Mereka berpikir Ankie sudah terkena guna-guna dari setan.
“Wahai orang-orang kampung, ketahuilah! Lihatlah air pasang dan surut di laut! Itu adalah kerja bulan! Niat jahatnya menenggelamkan kita semua di bumi! Lemparkan batu ke bulan! Jatuhkan dia dari atas langit yang pongah! Bergegaslah orang-orang kampung!” teriaknya malam berikutnya.
“Apa yang paling menyedihkan dari semua itu? Engkau suatu saat nanti akan meninggalkan bumi, karena engkau telah lari dari lintasanmu! Haha, selamat jalan bulan! Tidak akan ada lagi bulan suatu saat nanti. Dan aku akan menunggu saat itu,” tawanya membelah gelap dan malam. Hingga subuh, Ankie tetap tertawa, hingga suaranya benar-benar menghilang.
Warga kampung tak menemukan dia kala pagi datang. Tak ada jejaknya di pinggir hutan. Saat malam tiba, bulan seolah menghilang. Tak ada cahayanya malam ini. Gelap. Hitam. Pekat. Nampak seperti kelereng hitam yang transparan. Mungkinkah bulan marah pada Ankie?
Tiba-tiba suara Ankie terdengar di ujung lereng, tepat di sebelah timur.
“Aku tahu engkau telah malu! Malu! Aku tak akan datang padamu, meski engkau mengundangku. Aku tak pernah salah. Orang-orang kampung menganggap aku gila! Tapi aku tidak gila! Aku benar! Orang kampung dan bulan-lah yang gila! Gila!” teriaknya sambil melompat-lompat. Orang-orang kampung mengintip dari balik tirai jendela. Ankie masih asyik melompat, lalu tiba-tiba batu tempatnya melompat mulai bergoyang, bergeser lalu jatuh bersama Ankie yang terjun bebas. Siluet tubuhnya mengambang sebentar ketika bulan tiba-tiba bercahaya kembali.
“Buuuuk!”
Dan sepi.
Besok paginya, orang kampung menemukan mayat Ankie di tengah lereng. Di tangannya, terdapat selembar surat kecil yang sudah kumal. Orang-orang kampung penasaran.
“Surat apa itu?”
“Ini sebuah surat. Surat dari bulan!”
Orang kampung menguburkan Ankie di atas bukit untuk menunjukkan kepada anak-anak mereka bahwa pada suatu masa ada seorang kampung yang pernah menghabiskan waktunya untuk mengkritik dunia dan bulan.
“Bulan memang kecil dan tak mulus, namun ingatlah nak, cahaya bulanlah yang telah membantu nelayan menangkap ikan-ikan untuk makanan kita sehari-hari sejak dahulu,” kata orang tua, mulai menasihati anak-anak mereka.
Malam Bulan Purnama
27 Mei 2019
(Foto: Pembacaan Puisi oleh Zaeni Boli pada acara Festival Nelayan - Pelataran Pelabuhan Feri Waibalun)
Komentar
Posting Komentar