SEMANA SANTA: Peristiwa Kebenaran
SEMANA SANTA: Peristiwa Kebenaran
Oleh Karolus Banda Larantukan
Di hadapan ketakterjangkauan kata-kata, pemaknaan akan sesuatu yang tak terbatas hanya dapat dipakai dengan sarana yang terbatas. Pemakaian sarana (bahasa) yang terbatas terhadap yang tak terbatas pada akhirnya selalu menawarkan keterbukaan. Keterbukaan inilah yang berlangsung dalam proses dialektis yang terus menerus. Proses ini hadir dalam interpretasi, yang mana interpretasi tersebut pun hadir ketika diundang oleh peristiwa atau tradisi. Itu berarti setiap interpretasi akan sebuah peristiwa tidak berawal dan berujung, namun berproses. Pada titik inilah, ketika berbicara perihal kebenaran, maka kebenaran tidak pernah berada pada awal dan berujung tetapi berlangsung dalam proses interpretasi tersebut. Kebenaran tidak pernah kita miliki atau sadari, bukan sebuah produk kesadaran, melainkan lebih merupakan sebuah peristiwa yang menimpa kita sekaligus tempat kita terlibat di dalamnya.
Bahwa tradisi yang telah berlangsung lebih dari 500 tahun, tidak hanya hadir sebagai sebuah keterberian melainkan dalam sebuah proses, peristiwa dialektis. Dengan demikian, karena dialektika adalah peristiwa, sementara peristiwa tak lain adalah sesuatu yang terjadi, maka tradisi yang dihadapi tidak hanya diinvestigasi, namun diteruskan dan dibentuk. Sebelum interpretasi, tradisi belum ada sebagaimana adanya menurut pemahaman saat ini. Itu berarti eksistensi tradisi selalu berada dalam proses, dan dalam pembentukan kebaruan. Namun, ini tidak menghilangkan, mengurangi ataupun meninggikan makna kebenaran yang telah ada sebelum interpretasi dan tradisi itu berlangsung. Kebenaran melampaui semuanya itu.
Sesungguhnya, tidak ada yang akan diketahui tentang tradisi, selain apa saja yang terjadi dan muncul dalam kesinambungan interpretasi, sejarah berdampak dari interpretasi itu sendiri. Ketika ingin mengenali tradisi lain, atau ingin mengenali tradisi sendiri dengan cara yang baru, tidak ada yang tidak dapat diakses oleh bahasa, tidak ada yang tidak dapat di-kata-kan, dituturkan, dan didengar. Namun, karena keterbatasan bahasa dalam pengungkapan, maka kata hanya mampu mengungkapkan makna yang tak terbatas dengan sarana yang terbatas. Itu berarti, kebenaran tidak akan pernah bisa digali utuh kalau hanya dilandaskan pada pernyataan atau proposisi yang terucap, karena ini hanyalah apa yang dikatakan.
Jadi, berhadapan dengan sesuatu yang tak terkatakan (kebenaran yang mau diungkapkan), bukan berarti mereflesikan suatu realitas yang ada, akan tetapi mereflesikan Ada (Being). Ketika sebuah peristiwa terhubung dengan yang tak terkatakan, pada saat itulah sebuah persitiwa diinterpretasi, dan ketika yang diinterpretasi berhubungan secara keseluruhan dengan Ada, maka Ada-lah yang menjadi dan mengundang interpretasi. Maka, interpretasi yang sesungguhnya adalah interpretasi atas Ada, dan interpretasi atas tradisi adalah simbolisasi dari proses ini, karena tradisi terkadung di dalam Ada tersebut.
Sebuah interpretasi berawal ketika ia diundang oleh sebuah peristiwa. Oleh karena itu, interpretasi sejatinya adalah proses yang terus berlangsung dan takkan pernah sampai pada satu titik utuh dan sempurna. Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa interpretasi tidak pernah memiliki titik awal dan tidak pernah memiliki titik ujung atau telos. Konsekuensi dari keterbatasan interpretasi ini adalah bahwa dia tak terbatas secara historis dan selalu bersifat terbuka. Berhadapan dengan kebenaran, konsekuensi yang muncul adalah bahwa kebenaran tidak pernah berada pada titik awal ataupun titik ujung, melainkan ia berada dalam proses interpretasi.
Kebenaran bukanlah “sesuatu” yang kita sadari, bukan sebuah produk kesadaran, akan tetapi lebih merupakan sebuah peristiwa yang menimpa kita dan sekaligus sebuah tempat di mana didalamnya kita terlibat. Kebenaran menimpa kita sebagai sebuah peristiwa ketika kita “melepaskan” diri kita sebagai subjek yang berdiri berhadapan dengan objek. Ketika kita terlibat dalam sebuah permainan yang “memainkan” kita, saat itu kita sudah bergabung dengan peristiwa kebenaran, bahkan jauh sebelum kita menyadarinya.
Kebenaran selalu menampakkan diri pra-refleksi. Itu berarti kebenaran itu hadir sebelum dan tanpa didahului oleh sebuah kesadaran. Keterlambatan kesadaran serta kelalaian objektivikasi tidak pernah melululantahkan makna kebenaran itu sendiri yang telah ada sebelum kesadaran dan objektifikasi.
Oleh karena itu, tradisi (Semana Santa) yang telah tertanam dalam diri umat Larantuka khusunya dan umat katolik pada umumnya adalah sebuah proses interpretasi yang mengungkapkan kebenaran (Ada) di mana kita ikut terlibat di dalamnya. Bahwa proses interpretasi ini tidak pernah melululantahkan makna kebenaran (Ada). Di mana, di hadapan yang tak terbatas kita hanya dapat mengungkapkan dengan sarana yang terbatas. Pengungkapan dalam proses interpretasi ini tidak akan pernah utuh dan sempurna, namun secara bersamaan mempersembahkan kebenaran kepada kita.
Sebuah pemikiran memerlukan pengalaman, karena dia tidak mampu melingkupi segala sesuatu dan juga tidak mampu membangun pengetahuan absolut berdasarkan kontemplasi diri semata. Yang dituntut di sini bukanlah bukti, akan tetapi ilham, yaitu pengalaman tentang semacam pencerahan ketika sesuatu tampil dan tampak itu diamati di dalam cahaya dan cakrawala inteligibilitas yang baru. Ilham ini tidak bisa dikendalikan atau dihasilkan sesuai kehendak, karena dia bukanlah properti subjek, akan tetapi sebuah peristiwa.
Di dalam peristiwa inilah sesuatu terjadi pada kita, sesuatu yang mendahului pengetahuan yang berbicara pada kita. Peristiwa memahami, dengan demikain, merefleksikan dan menanggapi presentasi diri Ada yang berlangsung terus menerus di dalam tradisi. Presentasi diri yang menjadi media persitiwa kebenaran untuk menampilkan diri ketika bertemu dengan tradisi adalah sebuah ketersingkapan esensi kebenaran. Peristiwa tradisi Semana Santa adalah peristiwa ketersingkapan esensi kebenaran.
Oleh Karolus Banda Larantukan
Di hadapan ketakterjangkauan kata-kata, pemaknaan akan sesuatu yang tak terbatas hanya dapat dipakai dengan sarana yang terbatas. Pemakaian sarana (bahasa) yang terbatas terhadap yang tak terbatas pada akhirnya selalu menawarkan keterbukaan. Keterbukaan inilah yang berlangsung dalam proses dialektis yang terus menerus. Proses ini hadir dalam interpretasi, yang mana interpretasi tersebut pun hadir ketika diundang oleh peristiwa atau tradisi. Itu berarti setiap interpretasi akan sebuah peristiwa tidak berawal dan berujung, namun berproses. Pada titik inilah, ketika berbicara perihal kebenaran, maka kebenaran tidak pernah berada pada awal dan berujung tetapi berlangsung dalam proses interpretasi tersebut. Kebenaran tidak pernah kita miliki atau sadari, bukan sebuah produk kesadaran, melainkan lebih merupakan sebuah peristiwa yang menimpa kita sekaligus tempat kita terlibat di dalamnya.
Bahwa tradisi yang telah berlangsung lebih dari 500 tahun, tidak hanya hadir sebagai sebuah keterberian melainkan dalam sebuah proses, peristiwa dialektis. Dengan demikian, karena dialektika adalah peristiwa, sementara peristiwa tak lain adalah sesuatu yang terjadi, maka tradisi yang dihadapi tidak hanya diinvestigasi, namun diteruskan dan dibentuk. Sebelum interpretasi, tradisi belum ada sebagaimana adanya menurut pemahaman saat ini. Itu berarti eksistensi tradisi selalu berada dalam proses, dan dalam pembentukan kebaruan. Namun, ini tidak menghilangkan, mengurangi ataupun meninggikan makna kebenaran yang telah ada sebelum interpretasi dan tradisi itu berlangsung. Kebenaran melampaui semuanya itu.
Sesungguhnya, tidak ada yang akan diketahui tentang tradisi, selain apa saja yang terjadi dan muncul dalam kesinambungan interpretasi, sejarah berdampak dari interpretasi itu sendiri. Ketika ingin mengenali tradisi lain, atau ingin mengenali tradisi sendiri dengan cara yang baru, tidak ada yang tidak dapat diakses oleh bahasa, tidak ada yang tidak dapat di-kata-kan, dituturkan, dan didengar. Namun, karena keterbatasan bahasa dalam pengungkapan, maka kata hanya mampu mengungkapkan makna yang tak terbatas dengan sarana yang terbatas. Itu berarti, kebenaran tidak akan pernah bisa digali utuh kalau hanya dilandaskan pada pernyataan atau proposisi yang terucap, karena ini hanyalah apa yang dikatakan.
Jadi, berhadapan dengan sesuatu yang tak terkatakan (kebenaran yang mau diungkapkan), bukan berarti mereflesikan suatu realitas yang ada, akan tetapi mereflesikan Ada (Being). Ketika sebuah peristiwa terhubung dengan yang tak terkatakan, pada saat itulah sebuah persitiwa diinterpretasi, dan ketika yang diinterpretasi berhubungan secara keseluruhan dengan Ada, maka Ada-lah yang menjadi dan mengundang interpretasi. Maka, interpretasi yang sesungguhnya adalah interpretasi atas Ada, dan interpretasi atas tradisi adalah simbolisasi dari proses ini, karena tradisi terkadung di dalam Ada tersebut.
Sebuah interpretasi berawal ketika ia diundang oleh sebuah peristiwa. Oleh karena itu, interpretasi sejatinya adalah proses yang terus berlangsung dan takkan pernah sampai pada satu titik utuh dan sempurna. Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa interpretasi tidak pernah memiliki titik awal dan tidak pernah memiliki titik ujung atau telos. Konsekuensi dari keterbatasan interpretasi ini adalah bahwa dia tak terbatas secara historis dan selalu bersifat terbuka. Berhadapan dengan kebenaran, konsekuensi yang muncul adalah bahwa kebenaran tidak pernah berada pada titik awal ataupun titik ujung, melainkan ia berada dalam proses interpretasi.
Kebenaran bukanlah “sesuatu” yang kita sadari, bukan sebuah produk kesadaran, akan tetapi lebih merupakan sebuah peristiwa yang menimpa kita dan sekaligus sebuah tempat di mana didalamnya kita terlibat. Kebenaran menimpa kita sebagai sebuah peristiwa ketika kita “melepaskan” diri kita sebagai subjek yang berdiri berhadapan dengan objek. Ketika kita terlibat dalam sebuah permainan yang “memainkan” kita, saat itu kita sudah bergabung dengan peristiwa kebenaran, bahkan jauh sebelum kita menyadarinya.
Kebenaran selalu menampakkan diri pra-refleksi. Itu berarti kebenaran itu hadir sebelum dan tanpa didahului oleh sebuah kesadaran. Keterlambatan kesadaran serta kelalaian objektivikasi tidak pernah melululantahkan makna kebenaran itu sendiri yang telah ada sebelum kesadaran dan objektifikasi.
Oleh karena itu, tradisi (Semana Santa) yang telah tertanam dalam diri umat Larantuka khusunya dan umat katolik pada umumnya adalah sebuah proses interpretasi yang mengungkapkan kebenaran (Ada) di mana kita ikut terlibat di dalamnya. Bahwa proses interpretasi ini tidak pernah melululantahkan makna kebenaran (Ada). Di mana, di hadapan yang tak terbatas kita hanya dapat mengungkapkan dengan sarana yang terbatas. Pengungkapan dalam proses interpretasi ini tidak akan pernah utuh dan sempurna, namun secara bersamaan mempersembahkan kebenaran kepada kita.
Sebuah pemikiran memerlukan pengalaman, karena dia tidak mampu melingkupi segala sesuatu dan juga tidak mampu membangun pengetahuan absolut berdasarkan kontemplasi diri semata. Yang dituntut di sini bukanlah bukti, akan tetapi ilham, yaitu pengalaman tentang semacam pencerahan ketika sesuatu tampil dan tampak itu diamati di dalam cahaya dan cakrawala inteligibilitas yang baru. Ilham ini tidak bisa dikendalikan atau dihasilkan sesuai kehendak, karena dia bukanlah properti subjek, akan tetapi sebuah peristiwa.
Di dalam peristiwa inilah sesuatu terjadi pada kita, sesuatu yang mendahului pengetahuan yang berbicara pada kita. Peristiwa memahami, dengan demikain, merefleksikan dan menanggapi presentasi diri Ada yang berlangsung terus menerus di dalam tradisi. Presentasi diri yang menjadi media persitiwa kebenaran untuk menampilkan diri ketika bertemu dengan tradisi adalah sebuah ketersingkapan esensi kebenaran. Peristiwa tradisi Semana Santa adalah peristiwa ketersingkapan esensi kebenaran.
Jogja 2015
Pengelolah Taman Baca Hutan 46 Waibalun
Permenungan yang mendalam.
BalasHapusTerima kasih banyak Om. Semoga berkenan.
HapusTata mau ambil kalimat terakhir semana santa adalah peristiwa ketersingkapan Esensi kebenaran....pii bagi tata..penuh makna.kl menghayati secara mendalam
BalasHapusTerima kasih banyak Tata....
Hapus