BERANILAH BERPIKIR!

BERANILAH BERPIKIR!

Oleh Karolus Banda Larantukan
 

Rene Descartes dalam filsafatnya mengumandangkan cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Menjawab kaum skeptic yang meragukan segala sesuatu bahwa tak ada yang  pasti, Descartes menegaskan bahwa “aku dapat meragukan segala sesuatu tetapi aku tidak dapat meragukan kenyataan bahwa aku sedang meragukan”. Aku yang meragukan adalah aku yang menyadari adaku. Aku yang demikian adalah aku yang berpikir. Dengan demikian, aku berpikir maka aku ada. Di atas basis aku yang berpikir ini dapat dibangun berbagai macam kepastian lainnya. Aku yang berpikir bukan cuma menjadi dasar dari kepastian keberadaanku, melainkan sekaligus juga titik tolak untuk memberikan kepastian seluruh dunia. Aku yang berpikir inilah yang menjadi dasar tak tergoyahkan untuk adanya segala sesuatu yang lain.

Descartes menuliskan empat aturan arah berpikir. Pertama, tidak menerima sesuatu sebagai kebenaran jika tidak menyajikan kepada pikiran suatu kejelasan yang tidak dapat diragukan; kedua, merinci suatu permasalahan ke dalam pemasalahan-permasalahan yang lebih kecil dan detil; ketiga, memulai pemikirannya dengan hal yang paling sederhana dan mudah untuk dimengerti. Kemudian membangun penalaran menurut tingkat permasalahan dari yang sederhana ke arah yang lebih luas dan lebih kompleks; keempat, melihat kembali rangkaian berpikir sebelumnya untuk memastikan bahwa tidak ada yang dihilangkan.

Kegiatan berpikir menjadi hal yang semestinya bagi setiap manusia. Karena kegiatan berpikir yang ada pada manusia ini maka manusia di sebut animal rationale. Manusia adalah mahkluk rasional yang dapat menggunkan akal budinya untuk berpikir. Berpikir dengan sendirinya identik dengan manusia. Maka manusia dalam totalitasnya haruslah menggunakan akal budinya untuk berpikir dalam bertindak. Berpikir sendiri adalah sebuah action. Dan sepakat dengan Heidegger, tindakan sungguh mengandaikan pemikiran. Berpikir juga adalah dialog yang khusyuk antara  saya dan diri saya sendiri. Aktivitas berpikir dengan sendirinya merupakan refleksi atas pengalaman dengan dunia sosial. Aktualisasi dialog antara saya dan diri saya ini menghasilkan suara hati.


Untuk itu, saya berpendapat, kebutuhan berpikir tidak dapat diabaikan. Berpikir adalah proses memadukan elemen-elemen pengalaman ke dalam sebuah struktur, adalah proses menemukan dan menarik garis-garis penghubung antar berbagai elemen itu. Penggarisan atau pemaduan itu selalu mengandaikan sebuah horizon bersama. Dari horizon itulah subjek berpikir, menentukan nilai keterkaitan sebuah elemen pengalaman dengan segala yang lain. Tetapi berpikir adalah juga proses mempertanyakan, memperhatikan horizon itu sendiri, mempertanyakan kepentingan dan nilai yang didukung dan diwakilinya. Pertimbangan terhadap horizon akan dapat membantu  menentukan tindakan yang diperlukan dan menciptakan elemen baru dalam pengalaman.  Berpikir bukan cuma sebuah tindakan pasif berupa penjelasan dan pengubungan, tetapi juga penilaian kritis, perubahan dan penciptaan.

Ada tendensi kemalasan berpikir yang membayangkan, walaupun sekaligus mesti disadari dan ditekankan sekali lagi, bahwa berpikir saja belum memecahkan semua persoalan. Malah sebaliknya, dengan berpikir orang akan mebebankan diri. Kemalasan berpikir itu  sudah tampak dalam kecenderungan untuk cuma menghafal dalam study, apabila studi tidak lagi bersifat kritis-analitis, tetapi berbentuk menerima secara setia pendapat orang lain. Tak disangkali, bahwa kebiasaan ini dapat berangkat dari sebuah kecemasan akan resiko sebuah pemikiran orisinil, akan bahaya yang mesti dihadapi kalau orang menelorkan sebuah pikiran yang sungguh mandiri. Orang takut mengambil resiko dari pemikiran sendiri. Kemalasan berpikir dapat juga merupakan akibat dari sikap pragmatis dalam menyelesaikan persoalan, sebuah sikap yang ditandai oleh penyelesaian ad hoc berdasarkan kriterium kegunaan sesaat, sebuah peluang untuk menyembunyikan diri dari keharusan menjadi Aku. Kemalasan berpikir bisa datang dari sebuah kehidupan yang sudah sangat teratur dan tidak mendatangkan pertanyaan lagi. Kehidupan yang sudah lengkap dan sempurna, yang sudah “kenyang” dan jenuh, akan menutup pintu bagi dunia pemikiran.



Berpikir adalah satu bentuk tanggungjawab Aku terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya. Aku yang menjadi adalah Aku yang berpikir, Aku yang bertanggungjawab. Ketajaman berpikir dan kejelian rasio adalah instansi imanen pada manusia untuk pertama-tama bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri. Bersama dengan suara hati, pemikiran adalah kemampuan manusia untuk menilai, apakah sesuatu itu berada dalam lingkungan yang dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Pemikiran adalah instrument pada manusia yang senantiasa mengingatkan, bahwa orang mesti mempertanggungjawabkan tindakan dan pikirannya.

Kita kerap berkata bahwa massa itu cepat lupa, karena dalam peristiwa massa, rasa tanggungjawab menjadi tumpul. Tapi betulkah massa itu pelupa? Sebetulnya, ada istilah yang lebih tepat, yaitu Gedankenlosigkeit, ketidakberpikiran. Ketidakberpikiran inilah yang boleh disebut sebagai kemalasan berpikir. Massa tidak pelupa, melainkan tidak berpikir dan dalam ketidakberpikirannya itulah, wajar jika praktek korupsi semakin marak di masyarakat kita.

Tapi, masalahnya, apakah kaum birokrat kita sungguh berpikir? Gagasan mengenai birokrat yang tidak berpikir inilah yang disebut “The Banality of Evil”, karena kejahatan para birokrat yang koruptor ini adalah dangkal (mereka gagal untuk memikirkan apa yang sedang dilakukan). Mereka hidup dalam suatu ungkapan kesadaran praktis menurut Giddens. Mereka tidak biasa berpikir, gagal mengambil jarak atau memberi makna pada setiap tindakan. Idealnya, mereka harus belajar melibatkan kesadaran reflektif: mengambil jarak, bersikap kritis, mempertanyakan dan memberi makna pada tindakan, sehingga akhirnya kita bisa mengajak untuk bersama-sama meneriakkan slogan zaman Pencerahan, SAPERE AUDE!!! BERANILAH BERPIKIR!!!

WARTA FLOBAMORA - EDISI JULY 2013

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

WAIBALUN - JATI DIRI

TERUNTUK PATER BERNAD MULLER, SVD

KRITIK BUDI (Refleksi Singkat untuk HUT Pater Budi Kleden SVD)