"ANGKRINGAN"


“ANGKRINGAN”

Oleh Karolus B. Larantukan




Angkringan. Itulah nama yang saya kenal ketika saya berada di Yogyakarta. Ketika sore tiba, seorang teman sesama kos yang menempuh pendidikan di salah satu Perguruan Tinggi Yogyakarta mengajakku ke “angkringan”. Sekejap dalam benakku bahwa “angkringan” pastilah suatu tempat yang tidak biasa bagi orang dari kampung seperti saya. Benakku melayang tentang angkringan adalah mall besar dan berlantai hingga 10. Dengan segera saya siap (baca: berdandan), celana pendek kuganti celana panjang serta baju kaos terbaru. Sang teman yang mengajakku hanya berdiri menunggu di depan kamar. Selesai berdandan kami pun berjalan menuju ke depan. Saya hanya mengikuti dan saya berpikir bahwa tempatnya tidak terlalu jauh sehingga kami berjalan kaki. 

Tak sempat bertanya pada teman tentang di mana letak “angkringan”, teman tadi telah memesan teh panas dan segelas kopi panas buatnya dan saya di sebuah warung kecil seperti gerobak. Kami pun duduk di bangku yang telah disiapkan. Bukan hanya kami berdua yang berada di situ, tapi ada banyak orang yang ikut nongkrong di situ. Berbagai kalangan tanpa pandang suku, agama, ras dan golongan ikut ngumpul dan minum kopi sore di situ. Singkat, tak ada perbedaan. Semua menjaga perbedaan dalam kebersamaan di tempat itu. Walaupun begitu, saya masih bertanya dalam hati tentang “di mana itu angkringan?”. Ketika pulang dari tempat itu, saya pun memberanikan diri untuk bertanya kepada teman saya tentang di mana “angkringan”? Tak menjawab malah teman saya tertawa dan mungkin itu adalah jawabannya. Walau dalam tawa, ia pun menjawab pertanyaanku juga. Sebelum menjawab ia meminta maaf padaku  karena belum menjelaskan apa itu “angkringan” sebelum kami pergi ke “angkringan”. Ternyata, “angkringan” itu adalah tempat barusana di mana kami pergi untuk minum kopi sore.  

Apa itu “Angkringan”?

Secara kasat mata saya dapat menjelaskan “angkringan” sebagai tempat minum kopi sore, tempat ngobrol, tempat ngumpul, tempat di mana adanya kebebasan. Angkringan adalah warung kecil berupa gerobak, di mana di sana dijual minuman dan makanan ringan yang dapat dijangkau semua kalangan baik miskin apalagi kaya. Namun, di sana tidak dikualifikasi mana yang kaya dan mana yang miskin. Di sana hanya ada kebebasan sebagai manusia untuk minum kopi, makan gorengan, bercerita bersama, dan sebagainya tanpa diskriminikasi.
Apa saja yang dijual di angkringan? Di angkringan, barang yang dijual adalah kebutuhan lahiriah. Seperti saya katakan di atas, ada makanan dan minuman ringan yang dapat dijangkau semua kalangan. Ada kopi panas. Air yang digunakan terus panas, bukan berasal dari termos tetapi dari panci yang ditaruh di atas bara api yang terus membara. Ada pula gorengan berupa pisang yang digoreng dengan tepung terigu, kue donat. Daging ayam yang telah dipotong dan dijadikan sate. Rokok yang dijual eceran. Minumannya seperti kopi, teh,  dan susu. Semua terlihat sederhana dan sangat memasyarakat, artinya dapat dijangkau dengan harga yang pas. Angkringan itu adalah tempat untuk berbagi antar sesama tanpa ada perbedaan. Di sana hadir kebebasan dan berakhir dengan kesejahteraan bersama.

Suasana Angkringan

Singkat, suasananya penuh dengan kebebasan dan keharmonisan. Tak ada kualifikasi kaya dan miskin, berpendidikan dan tidak berpendidikan, pintar dan bodoh, orang tua dan anak-anak, perantau dan warga kampung, muslim atau kristen, hindu atau budha. Semua yang berada di sana adalah pelanggan yang mau minum kopi, mau makan atau pun mau bercerita. Tidak ada perbeadaan. Yang ada hanya kebebasan bersama dan keharmonisan.
Suasana yang mau saya gambarkan juga adalah kesadaran. Kesadaran yang saya maksudkan adalah sebagai berikut. Baik minuman maupun makanan yang diambil bukan menjadi perhitungan penjual melainkan dihitung oleh pembeli sendiri. Penjual akan bertanya apa saja yang diambil atau dipesan tadi. Maka pembeli akan menyebutkan semua jenis minuman dan makanan yang dipesan atau diambil. Dan pada akhirnya penjual menghitung semuanya dan pembeli membayar. Kesadaran ini adalah kesadaran dari pembeli dan penjual. Ada kepercayaan di sana dan tidak ada penipuan. 



Kesadaran adalah totalitas manusia akan eksistensinya. Kesadaran di sini lebih mengarah pada tuntutan etis, tuntutan suara hati atau hati nurani. Manusia dalam kesadarannya menjadikan suara hati sebagai pertimbangan untuk melakukan sesuatu. Hati Nurani yang sering disebut juga Suara Hati atau Suara Batin dalam bahasa Latin disebut Conscientia, yang berarti kesadaran. Kesadaran yang dimaksud adalah kemampuan mengenal diri, kesanggupan untuk membuat refleksi atas diri sendiri. Manusia tidak hanya mengetahui sesuatu tapi dia tahu bahwa dialah yang mengetahui, dia sadar bahwa dia merupakan sumber pengenalan itu. Dalam pengenalan ini terdapat semacam penggandaan, dalam arti bahwa dalam proses mengenal itu manusia tidak hanya berperan sebagai subjek tapi sekaligus sebagai objek.
Dalam terang kesadaran inilah, kesadaran di angkringan pun dikumandangkan menyangkut kebutuhan akan barang yang diambil oleh pembeli, sehingga pada akhirnya yang harus dibayar adalah yang hanya diambil atau dipesan. Atau secara singkat dikatakan yang hanya dibayar adalah yang hanya dibutuhkan. Kebutuhan akan makan atau minum menjadi kesadaran untuk membayarnya. Itu berarti sejauh dibutuhkan, maka ia akan diambil atau dipesan dan dibayar pada akhirnya. Membayar apa yang dibutuhkan dalam memesan makanan atau minuman adalah sebuah kewajiban pembeli tanpa intervensi dari pembeli. Ini adalah kesadaran dari pembeli itu sendiri, intervensi suara hati.
Hal ini meniadakan adanya tindakan untuk mencuri atau tidak membayar. Sejauh barang yang dipesan atau diambil menjawab kebutuhan, sejauh itu tidak akan ada pembohongan atau pencurian. Karena, pada akhirnya yang dibayar adalah yang hanya dibutuhkan. Sejauh tidak dibutuhkan, maka tidak dipesan atau diambil untuk dimakan atau diminum dan pada akhirnya tidak ada kewajiban untuk transaksi pembayaran.
Belajar dari “Angkringan”



Masalah korupsi bisa ditilik dari fenomena di “angkringan”. Tindakan korupsi merupakan tindakan hilangnya kesadaran, yakni raibnya suara hati dan makna kebutuhan. Korupsi menurut hemat saya adalah sebuah tindakan di mana manusia tidak lagi mendengar apa kata suara hati. Jika keengganan bahkan sampai ketidakpedulian akan apa kata suara hati, maka manusia akan kehilangan pertimbangan tindakan etis-rasional. Mendengarkan apa kata suara hati berarti mempertimbangkan terlebih dahulu sikap sebelum bertindak. Dalam hal ini refleksi akal budi harus tercukupi artinya pengetahuan akan apa yang hendak dilakukan dan pada akhirnya suara hati menentukan baik atau buruk sebuah tindakan tersebut.
Putusan suara hati adalah putusan totalitas eksistensi manusia. Sebagai makhluk yang berkehendak, berpikir dan berhati nurani, sebuah tindakan yang dilakukan manusia akan menegaskan eksistensinya sebagai manusia. Hilangnya kesadaran, dalam pengertian raibnya suara hati dapat diartikan sebagai hilang dan raibnya manusia dari manusia itu sendiri. Korupsi adalah raibnya totalitas eksistensi manusia.
Tindakan korupsi dapat juga ditilik sebagai hilangnya makna kebutuhan. Ada batasan yang sangat tipis antara kebutuhan dan keinginan. Namun, daripada itu manusia dalam kesadarannya mampu membedakan mana yang disebut keinginan dan mana yang disebut kebutuhan. Dalam batasan yang begitu tipis itu, kebutuhan lebih penting dibandingkan keinginan. Manusia, dalam kodratnya sebagai mahkluk berkehendak, berpikir dan berhati nurani akan mendahulukan kebutuhan dibandingkan keinginan. Karena dengan mendahulukan kebutuhan di situ nampak eksistensi manusia. Sejauh mendahulukan dan memenuhi kebutuhan manusia mengafirmasi adanya.
Maka, belajar dari “angkringan” menjadi sebuah keharusan. Di “angkringan” hilang sebuah sikap dan pikiran akan korupsi. Di sana hanya hadir kesadaran, suara hati, dan kebutuhan manusia dan bukan hawa nafsu. Dengan kesadaran akan pentingnya mendengarkan apa kata suara, kita belajar untuk menjadi manusia utuh. Semoga!


Jogja,
                                                                                                                

Komentar

  1. Sepenggal cerita kecil di jogja yang memacu hati nurani. Mantap tata 👍

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

WAIBALUN - JATI DIRI

TERUNTUK PATER BERNAD MULLER, SVD

KRITIK BUDI (Refleksi Singkat untuk HUT Pater Budi Kleden SVD)