MENCINTAI KAMPUNG HALAMAN
Mencintai Kampung Halaman
----------
Oleh Karolus Banda Larantukan*
“Maka kesungguhan untuk menggali keluhuran kampung kembali bermakna, ketaletanan mempelajari kebijaksanaan kampung bukanlah tanda kekampungan” (Paul Budi Kleden, SVD, Kampung-Bangsa-Dunia, Yogyakarta: Lamalera, 2008). Saya mengutip tulisan Paul Budi Kleden, SVD ini guna membuka sekaligus menjadikan batu penjuru untuk menelesik refleksi sederhana ini dengan judul: Mencintai Kampung Halaman.
Mengapa mencintai kampung halaman? Itulah sekurang-kurangnya pertanyaan substansial yang akan menguraikan seluruh isi tulisan sederhana ini. Bagaimana kampung halaman dicintai dan apa implikasi praktis dari mencintai kampung halaman tersebut? Ini sebagai pertanyaan lanjutan yang sekiranya menjadi aplikasi praktis dari mencintai kampung halaman.
Saya memulai dengan menceritakan sebait – dua bait perihal salah satu kegiatan yang saya hadiri pada akhir bulan Oktober tahun 2019 kemarin. Kegiatan tersebut dilaksanakan di Anyer – Banten pada tanggal 26 – 30 Oktober 2019. Penyelenggara kegiatan akbar tersebut, yang mengundang pegiat kampung di seluruh pelosok nusanatara yakni 34 propinsi adalah Badan Pembinaan Ideologi Pancasil (BPIP). Momentum terbaik ini telah mempersatukan para aktivis, pemerhati, pegiat dan pembangun, selanjutnya disebut pembakti kampung-kampung di seluruh pelosok nusantara. Acara akbar itu oleh BPIP diberi judul: “Persamuhan Nasional Pembakti Kampung 2019”.
Singkat term ‘persamuhan’ pada judul acara tersebut sedikit menggelitik budi karena terasa asing. Kata ‘persamuhan’ dengan kata dasar ‘samuh’ dapat dipahami sebagai pertemuan akbar untuk membahas sesuatu. Juga mengenai kata ‘pembakti’ yang memiliki nada penuh makna. Kata dasarnya ‘bakti’ yang berarti tunduk dan hormat; perbuatan yang menyatakan setia (kepada Tuhan Yang Maha Esa; seorang anak kepada orang tuanya); memperhambahkan diri; setia: sebagai tanda (kepada nusa dan bangsa). Sedangkan ‘pembakti’ adalah proses, cara, perbuatan membaktikan tenaga dan pikirannya kepada perjuangan bangsa yang tidak dapat dinilai dengan uang.
Kata berikutnya adalah ‘Kampung’. Dalam defenisi umum, ‘kampung’ adalah suatu daerah di mana terdapat beberapa rumah atau keluarga yang bertempat tinggal di sana; daerah tempat tinggal warga menengah ke bawah di daerah kota. Istilah ‘kampungan’ juga sering digunakan untuk merujuk pada sikap-sikap terbelakang, tidak tahu tata-krama dan sebagainya. Ada kemungkinan kata kampung diambil dari bahasa portugis; campo, tempat perkemahan.
Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa makna dari ‘Persamuhan Nasioanl Pembakti Kampung’ adalah pertemuan akbar antara sesama anak bangsa dari pelosok nusanatara atau daerah yang membaktikan tenaga dan pikirannya kepada perjuangan bangsa yang tidak dapat dinilai dengan uang. Sederhananya adalah pertemuan akbar anak bangsa yang membahas dan membaktikan diri untuk bangsa Indonesia.
Mencintai Kampung Halaman
Mencintai adalah selalu imbauan Aku kepada Engkau untuk menjadi Kita. Bentuk terdalam dari mencintai adalah pengorbanan; memberikan diri bagi yang dicintai, bahkan nyawa menjadi taruhan terakhir. Mencintai adalah juga mengarahkan seluruh perhatian kedirian bagi yang dicintai, bukan untuk mendikte yang dicintai melainkan memberikan kebebasan kepada yang dicintai untuk menjadi diri sendiri. Pada akhirnya mencintai adalah pengungkapan diri dan pernyataan diri untuk menjadi diri sendiri. Dan mencintai kampung halaman adalah ungkapan kedalaman diri sekaligus penyerahan diri kepada kampung – rumah – tempat di mana kita dilahirkan dan dibesarkan dengan penuh kenangan.
Kenangan akan kekerabatan dan persaudaraan, relasi awal yang menghidupkan, geliat kehidupan kampung dan suasana kampung yang dialami boleh jadi demikian membekas dan mengesankan, sehingga orang seperti tidak rela menerima perubahan yang terjadi di kampung. Kampung hendak dijadikan museum yang mengingatkan orang akan romantisme masa lalu. Tidak mustahil, dalam tendensi nostalgisme ini, orang cenderung menolak perubahan di kampung, karena takut kehilangan kenangan indah masa kecil (Paul Budi Kleden, 2008).
Di tengah perubahan yang kian tak terbendung, di zaman digital revolusi industri 4.0 dan globalisasi, batas setiap kampung seakan sulit terdeteksi; semua dapat disinggahi dan diseberangi dengan mudah. Kehidupan sosial kemasyarakatan serta budaya-budaya berseliweran yang terkadang mengaburkan identitas ke-kampung-an. Pada titik inilah kembali ke kampung – mencintai kampung halaman – menjadi geliat yang mendesak. Identitas diri hanya mungkin terselami bila kita mampu menghayati jati diri kampung halaman, tempat dimana kita dilahirkan dan dibesarkan. Orang yang mengalamai amnesia kolektif akan kampungnya bisa mengalami kehilangan identitas. Sikap ini bukanlah mempertahankan status quo, melainkan memberikan pegangan kepada diri ketika melangkah ke dunia luas. Kita harus terus melangkah maju mengikuti perkembangan dan perubahan, namun serentak harus tetap memiliki pegangan agar kita tidak kehilangan jati diri dan identitas.
Paul Budi Kleden (2008) mengungkapkan bahwa “ketaletanan mempelajari kebijaksanaan kampung bukanlah tanda kekampungan”. Persis inilah yang harus dilakukan sebagai wujud nyata menncintai kampung halaman dan menjaga jati diri berhadapan dengan dunia. Menukik lebih ke dalam, ke kampung halaman, menelisik sekaligus mempelajari kebijaksanaan kampung halaman yang banyak tertuang dalam kehidupan adat-istiadat dan ritus serta budaya. Mendengarkan dan mempelajari cerita-cerita rakyat yang menyiratkan begitu banyak nilai kehidupan. Mendalami dan menghayati serta menghidupi setiap tarian serta nyanyian-nyanyian dalam ritus-ritus yang memiliki nilai rasa dan makna satra yang bernilai tinggi karena mengungkapkan riwayat kehidupan kampung halaman. Belajar merekonstruksi bangunan masa lampau yang memiliki jiwa dan makna di setiap sudut, bahkan dari dasar hingga atap serta keseluruhan yang disebut Lango (Lango adalah bahasa Lamaholot yang artinya Rumah). Agar dapat menguasai dunia, kuasailah diri sendiri. Agar dapat mempelajari dan memiliki dunia, pelajarilah dan milikilah kampung halaman. Karena dunia dialami sebagai kampung, sebab kampung telah menjadi sebuah miniatur dunia (Paul Budi Kleden: 2008).
Di akhir refleksi sederhana ini, mengutip Paul Budi Kleden (20018) bahwa “di dalam dunia yang global ini, dalam pergaulan dengan dunia luas, kampung justru tidak pernah boleh dilupakan. Berlayar masuk ke dalam konteks global tidak berarti mengabaikan nasionalisme dan keindonesiaan, apalagi melupakan kampung. Globalisasi mengembalikan kita ke kampung sekaligus memberi kesadaran bahwa kita mesti membangun dari kampung-kampung. Globalisasi pun mengingatkan bahwa kita hanya menjadi warga dunia, apabila kita tidak melepaskan kampung kita. Tidak ada dunia tanpa tanah air, tidak ada kosmopolit tanpa patriot”.
----------
Oleh Karolus Banda Larantukan*
“Maka kesungguhan untuk menggali keluhuran kampung kembali bermakna, ketaletanan mempelajari kebijaksanaan kampung bukanlah tanda kekampungan” (Paul Budi Kleden, SVD, Kampung-Bangsa-Dunia, Yogyakarta: Lamalera, 2008). Saya mengutip tulisan Paul Budi Kleden, SVD ini guna membuka sekaligus menjadikan batu penjuru untuk menelesik refleksi sederhana ini dengan judul: Mencintai Kampung Halaman.
Mengapa mencintai kampung halaman? Itulah sekurang-kurangnya pertanyaan substansial yang akan menguraikan seluruh isi tulisan sederhana ini. Bagaimana kampung halaman dicintai dan apa implikasi praktis dari mencintai kampung halaman tersebut? Ini sebagai pertanyaan lanjutan yang sekiranya menjadi aplikasi praktis dari mencintai kampung halaman.
Saya memulai dengan menceritakan sebait – dua bait perihal salah satu kegiatan yang saya hadiri pada akhir bulan Oktober tahun 2019 kemarin. Kegiatan tersebut dilaksanakan di Anyer – Banten pada tanggal 26 – 30 Oktober 2019. Penyelenggara kegiatan akbar tersebut, yang mengundang pegiat kampung di seluruh pelosok nusanatara yakni 34 propinsi adalah Badan Pembinaan Ideologi Pancasil (BPIP). Momentum terbaik ini telah mempersatukan para aktivis, pemerhati, pegiat dan pembangun, selanjutnya disebut pembakti kampung-kampung di seluruh pelosok nusantara. Acara akbar itu oleh BPIP diberi judul: “Persamuhan Nasional Pembakti Kampung 2019”.
Singkat term ‘persamuhan’ pada judul acara tersebut sedikit menggelitik budi karena terasa asing. Kata ‘persamuhan’ dengan kata dasar ‘samuh’ dapat dipahami sebagai pertemuan akbar untuk membahas sesuatu. Juga mengenai kata ‘pembakti’ yang memiliki nada penuh makna. Kata dasarnya ‘bakti’ yang berarti tunduk dan hormat; perbuatan yang menyatakan setia (kepada Tuhan Yang Maha Esa; seorang anak kepada orang tuanya); memperhambahkan diri; setia: sebagai tanda (kepada nusa dan bangsa). Sedangkan ‘pembakti’ adalah proses, cara, perbuatan membaktikan tenaga dan pikirannya kepada perjuangan bangsa yang tidak dapat dinilai dengan uang.
Kata berikutnya adalah ‘Kampung’. Dalam defenisi umum, ‘kampung’ adalah suatu daerah di mana terdapat beberapa rumah atau keluarga yang bertempat tinggal di sana; daerah tempat tinggal warga menengah ke bawah di daerah kota. Istilah ‘kampungan’ juga sering digunakan untuk merujuk pada sikap-sikap terbelakang, tidak tahu tata-krama dan sebagainya. Ada kemungkinan kata kampung diambil dari bahasa portugis; campo, tempat perkemahan.
Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa makna dari ‘Persamuhan Nasioanl Pembakti Kampung’ adalah pertemuan akbar antara sesama anak bangsa dari pelosok nusanatara atau daerah yang membaktikan tenaga dan pikirannya kepada perjuangan bangsa yang tidak dapat dinilai dengan uang. Sederhananya adalah pertemuan akbar anak bangsa yang membahas dan membaktikan diri untuk bangsa Indonesia.
Mencintai Kampung Halaman
Mencintai adalah selalu imbauan Aku kepada Engkau untuk menjadi Kita. Bentuk terdalam dari mencintai adalah pengorbanan; memberikan diri bagi yang dicintai, bahkan nyawa menjadi taruhan terakhir. Mencintai adalah juga mengarahkan seluruh perhatian kedirian bagi yang dicintai, bukan untuk mendikte yang dicintai melainkan memberikan kebebasan kepada yang dicintai untuk menjadi diri sendiri. Pada akhirnya mencintai adalah pengungkapan diri dan pernyataan diri untuk menjadi diri sendiri. Dan mencintai kampung halaman adalah ungkapan kedalaman diri sekaligus penyerahan diri kepada kampung – rumah – tempat di mana kita dilahirkan dan dibesarkan dengan penuh kenangan.
Kenangan akan kekerabatan dan persaudaraan, relasi awal yang menghidupkan, geliat kehidupan kampung dan suasana kampung yang dialami boleh jadi demikian membekas dan mengesankan, sehingga orang seperti tidak rela menerima perubahan yang terjadi di kampung. Kampung hendak dijadikan museum yang mengingatkan orang akan romantisme masa lalu. Tidak mustahil, dalam tendensi nostalgisme ini, orang cenderung menolak perubahan di kampung, karena takut kehilangan kenangan indah masa kecil (Paul Budi Kleden, 2008).
Di tengah perubahan yang kian tak terbendung, di zaman digital revolusi industri 4.0 dan globalisasi, batas setiap kampung seakan sulit terdeteksi; semua dapat disinggahi dan diseberangi dengan mudah. Kehidupan sosial kemasyarakatan serta budaya-budaya berseliweran yang terkadang mengaburkan identitas ke-kampung-an. Pada titik inilah kembali ke kampung – mencintai kampung halaman – menjadi geliat yang mendesak. Identitas diri hanya mungkin terselami bila kita mampu menghayati jati diri kampung halaman, tempat dimana kita dilahirkan dan dibesarkan. Orang yang mengalamai amnesia kolektif akan kampungnya bisa mengalami kehilangan identitas. Sikap ini bukanlah mempertahankan status quo, melainkan memberikan pegangan kepada diri ketika melangkah ke dunia luas. Kita harus terus melangkah maju mengikuti perkembangan dan perubahan, namun serentak harus tetap memiliki pegangan agar kita tidak kehilangan jati diri dan identitas.
Paul Budi Kleden (2008) mengungkapkan bahwa “ketaletanan mempelajari kebijaksanaan kampung bukanlah tanda kekampungan”. Persis inilah yang harus dilakukan sebagai wujud nyata menncintai kampung halaman dan menjaga jati diri berhadapan dengan dunia. Menukik lebih ke dalam, ke kampung halaman, menelisik sekaligus mempelajari kebijaksanaan kampung halaman yang banyak tertuang dalam kehidupan adat-istiadat dan ritus serta budaya. Mendengarkan dan mempelajari cerita-cerita rakyat yang menyiratkan begitu banyak nilai kehidupan. Mendalami dan menghayati serta menghidupi setiap tarian serta nyanyian-nyanyian dalam ritus-ritus yang memiliki nilai rasa dan makna satra yang bernilai tinggi karena mengungkapkan riwayat kehidupan kampung halaman. Belajar merekonstruksi bangunan masa lampau yang memiliki jiwa dan makna di setiap sudut, bahkan dari dasar hingga atap serta keseluruhan yang disebut Lango (Lango adalah bahasa Lamaholot yang artinya Rumah). Agar dapat menguasai dunia, kuasailah diri sendiri. Agar dapat mempelajari dan memiliki dunia, pelajarilah dan milikilah kampung halaman. Karena dunia dialami sebagai kampung, sebab kampung telah menjadi sebuah miniatur dunia (Paul Budi Kleden: 2008).
Di akhir refleksi sederhana ini, mengutip Paul Budi Kleden (20018) bahwa “di dalam dunia yang global ini, dalam pergaulan dengan dunia luas, kampung justru tidak pernah boleh dilupakan. Berlayar masuk ke dalam konteks global tidak berarti mengabaikan nasionalisme dan keindonesiaan, apalagi melupakan kampung. Globalisasi mengembalikan kita ke kampung sekaligus memberi kesadaran bahwa kita mesti membangun dari kampung-kampung. Globalisasi pun mengingatkan bahwa kita hanya menjadi warga dunia, apabila kita tidak melepaskan kampung kita. Tidak ada dunia tanpa tanah air, tidak ada kosmopolit tanpa patriot”.
Waibalun, Awal November 2019
Menarik bang. Kampung adalah rumah yang harus selalu kita jaga nilai dan budayanya.
BalasHapusSiap Bang... Mari membaktikan diri untuk mencintai kampung halaman...
HapusSangat bagus , izin kita copy dan share
BalasHapus