ENHAI HARUS MATI!
Enhai Harus Mati!
------
(Cerpen Berrye Tukan).
Pak Nelis baru saja pulang dari Balai Desa malam itu. Ia disambut Si Enhai, anjing kampung berbulu coklat tebal, milik keluarga itu. Bu Nika masih sibuk melipat pakaian yang sedari sore sudah diturunkan dari jemuran di belakang rumah. Di dalam kamarnya, si kecil Noxan masih menyelesaikan beberapa nomor pekerjaan rumah matematikanya.
“Bagaimana hasil rapatnya, pa?” tanya sang ibu menyambut.
“Tidak ada pilihan lain bu,” jawabnya lemah.
“Maksudnya?”
Pak Nelis tak segera menjawab, dielusnya bulu Enhai yang tebal itu dengan kakinya.
“Enhai harus ditembak, dia harus mati! Nanti akan ada petugas, ...”
“Apa?” potong Noxan yang segera keluar dari kamarnya dan segera memeluk Enhai, anjing kesayangannya yang didapatnya dari tetangga mereka setahun silam. Nama Enhai sendiri adalah singkatan dari Endang dan Haris, dua teman Noxan saat masih bertetangga. Mereka kini sudah pindah ke kota tetangga setelah ayah mereka dipindahkan ke sana. Si Enhai nampak membalas pelukan Noxan dengan mengendus-endus wajah Noxan.
“Enhai tidak boleh mati, bapa! Enhai harus tetap hidup!” tangis Noxan.
Bu Nika bangkit dari kursinya dan mendekati Noxan. “Iya, Pa. Enhai kan belum ada gejala rabiesnya? Apa harus tetap ditembak juga?” ujarnya sembari duduk dekat Noxan yang mulai terisak-isak.
“Bapa hanya bilang itu hasil rapatnya. Bapa juga tidak mau ambil resiko. Sekarang di daerah kita belum ada obat untuk menghentikan virus rabies ini,” jelas sang ayah.
“Yang jelas, Enhai tidak boleh mati, bapa!” tangis Noxan makin menjadi.
“Sudahlah Noxan. Enhai tidak akan mati karna Enhai belum kena rabies. Dia masih sehat-sehat saja kan?” rayu sang ibu menenangkan.
“Ayo sana masuk kamar. Tidur! Selesaikan pe er-mu!” perintah Pak Nelis. Noxan bangun dari lantai, diikuti Enhai di belakang.
Pak Nelis dan Bu Nika saling memandang. Pak Nelis mengangkat kedua bahunya, menandakan ada sesuatu yang serba membingungkan. Bu Nika kembali melanjutkan kesibukannya melipat pakaian.
“Kasihan Enhai, Pa. Dia sudah lama bersama kita, sejak Noxan masuk kelas satu,” desah Bu Nika.
“Tapi, kata pak kades, ini semua demi kebaikan kita semua. Ini termasuk kejadian luar biasa, bu. Di desa tetangga, sudah ada lima orang yang terkena gigitan anjing. Satu orang sudah meninggal dunia. Bapa tidak mau nanti kita disalahkan karena masih memelihara anjing yang terkena rabies di rumah,” jawabnya.
Malam itu, Noxan tak segera tidur seperti biasanya. Air matanya mengalir deras. Enhai yang tertidur di bawah ranjangnya, memandang tuan kecilnya dengan tatapan yang sangat dalam, seolah menyiratkan perpisahan yang bakal terjadi tak lama lagi. Bocah kecil itu mengelus kepala Enhai dengan sangat lembut dan pelan. Enhai pun membiarkan Noxan meninabobokannya malam itu.
***
Pagi-pagi sekali, Noxan sudah bangun. Matanya lebam, sisa tangisan semalam. Dia tak semangat hari ini untuk menyiapkan diri ke sekolah. Handuknya digantung saja di pundaknya sambil berjalan ke sana ke mari. Makannya pun tak habis. Rambutnya tak disisir sempurna. Bu Nika melihat semua itu dari balik dapur.
“Noxan, Enhai baik-baik saja. Dia tidak akan ditembak. Ayo siap diri ke sekolah, sudah hampir terlambat,” tegur sang ibu sekaligus menguatkannya.
Pagi itu, Enhai pun tak pernah jauh dari kaki Noxan, tuan kecilnya. Ke mana-mana selalu diikutinya hingga Noxan berangkat meninggalkan rumah menuju sekolah, Enhai mengikutinya hingga pagar depan rumah. Keduanya saling menatap. Enhai duduk dengan kaki belakang yang ditekuk, lidahnya diulurkan keluar. Noxan mengelus kecil kepala Enhai. Bu Nika memperhatikannya dari balik jendela rumah. Hingga Noxan sudah melangkah jauh melewati gang depan, Enhai masih duduk di sana.
Di sekolah, Noxan tak bisa tenang hari itu. Pelajaran demi pelajaran dilaluinya tanpa semangat. Dia hanya duduk malas di belakang mejanya yang kusam. Buku pelajarannya hanya dibolak-balik seadanya. Dia tak banyak mencatat hari itu, seolah semua tenaganya hilang. Kala jam istirahat, sebuah mobil patroli polisi melintas di depan gedung sekolah. Di dalamnya beberapa polisi berseragam dan bersenjata lengkap duduk di belakangnya. Noxan semakin tidak tenang.
“Itu pasti polisi yang akan menembak anjing-anjing di desa,” kata salah satu temannya.
“Iya, pastinya. Kemarin bapakku juga bilang begitu. Hari ini semua anjing akan ditembak!” jawab yang lain.
“Kasihan anjing-anjing itu, akan mati ditembak. Seperti penjahat saja!”
“Mata mereka akan ditutup dengan kain hitam, lalu kaki mereka diikat kuat-kuat dengan tali. Dan, badan mereka akan diikat dikayu,”
“Polisi-polisi itu akan berdiri dari jauh. Dan, doooooorrr!”
“Peluru-peluru akan menembus kulit mereka, lalu ada darah!”
“Peluru itu juga akan menembus kepala anjing-anjing itu.”
“Bagaimana kalau anjingnya tidak mati juga?”
“Mereka akan memasukan anjing itu ke dalam karung, lalu dipukul dengan kayu besar sampai mati!”
“Wuih, menakutkan!”
“Kriiiiiinggg!”
Bel sekolah berbunyi. Cerita teman-temannya itu semakin menakutkan Noxan. Dia lalu membayangkan Enhai akan mengalami hal yang serupa. Di dalam kelas, Noxan semakin tidak sabar. Dia ingin segera pulang secepatnya untuk memastikan Enhai baik-baik saja. Polisi itu pasti sudah tiba di rumahnya, menemukan Enhai, menutup matanya, mengikat kakinya, dan menyatukannya dengan pohon kelapa di belakang rumah, lalu menembaknya secara membabi buta, pikir Noxan semakin liar. Tepat ketika doa selesai, Noxan sudah menyambar tas sekolahnya dan berlari pulang, menyusuri jalan setapak, gang-gang hingga tiba di rumahnya. Napasnya terengah-engah, nyaris pingsan.
Biasanya, Enhai akan menyambut Noxan dari pagar depan rumah, lalu menjilati kaki Noxan. Namun, Enhai tak ada di rumah saat itu. Dicarinya Enhai di sekeliling rumah sambil meneriakan namanya.
“Enhai, Enhai, Enhai!” teriaknya.
Tak ada Enhai.
Bu Nika keluar dari rumah.
“Enhai di mana ma? Enhai di mana?” tanya Noxan, sambil menangis.
Bu Nika tak menjawab. Dia memandang putranya itu dengan sangat sedih dan dalam.
“Ma, jangan bilang kalau Enhai sudah ditembak,” pintanya.
Tiba-tiba terdengar bunyi letupan senapan beriringan. Noxan dan Bu Nika kaget.
“Enhai!” teriak Noxan tiba-tiba.
Noxan lalu berlari, masuk ke dalam kebun-kebun di belakang rumah.
“Noxan berhenti! Noxan! Jangan ke sana. Kamu bisa kena peluru nyasar! Noxan berhenti!”
Noxan tetap berlari menerobos singkong yang tumbuh di kebun-kebun di belakang rumahnya.
“Doooorr!”
Sebuah letupan senapan lagi terdengar.
Lalu diam.
Sebuah suara keras lalu terdengar dari balik kebun.
“Hentikan tembakan! Ada anak kecil yang tertembak!”
.......................................
Waibalun, 04/08/2019.
------
(Cerpen Berrye Tukan).
Pak Nelis baru saja pulang dari Balai Desa malam itu. Ia disambut Si Enhai, anjing kampung berbulu coklat tebal, milik keluarga itu. Bu Nika masih sibuk melipat pakaian yang sedari sore sudah diturunkan dari jemuran di belakang rumah. Di dalam kamarnya, si kecil Noxan masih menyelesaikan beberapa nomor pekerjaan rumah matematikanya.
“Bagaimana hasil rapatnya, pa?” tanya sang ibu menyambut.
“Tidak ada pilihan lain bu,” jawabnya lemah.
“Maksudnya?”
Pak Nelis tak segera menjawab, dielusnya bulu Enhai yang tebal itu dengan kakinya.
“Enhai harus ditembak, dia harus mati! Nanti akan ada petugas, ...”
“Apa?” potong Noxan yang segera keluar dari kamarnya dan segera memeluk Enhai, anjing kesayangannya yang didapatnya dari tetangga mereka setahun silam. Nama Enhai sendiri adalah singkatan dari Endang dan Haris, dua teman Noxan saat masih bertetangga. Mereka kini sudah pindah ke kota tetangga setelah ayah mereka dipindahkan ke sana. Si Enhai nampak membalas pelukan Noxan dengan mengendus-endus wajah Noxan.
“Enhai tidak boleh mati, bapa! Enhai harus tetap hidup!” tangis Noxan.
Bu Nika bangkit dari kursinya dan mendekati Noxan. “Iya, Pa. Enhai kan belum ada gejala rabiesnya? Apa harus tetap ditembak juga?” ujarnya sembari duduk dekat Noxan yang mulai terisak-isak.
“Bapa hanya bilang itu hasil rapatnya. Bapa juga tidak mau ambil resiko. Sekarang di daerah kita belum ada obat untuk menghentikan virus rabies ini,” jelas sang ayah.
“Yang jelas, Enhai tidak boleh mati, bapa!” tangis Noxan makin menjadi.
“Sudahlah Noxan. Enhai tidak akan mati karna Enhai belum kena rabies. Dia masih sehat-sehat saja kan?” rayu sang ibu menenangkan.
“Ayo sana masuk kamar. Tidur! Selesaikan pe er-mu!” perintah Pak Nelis. Noxan bangun dari lantai, diikuti Enhai di belakang.
Pak Nelis dan Bu Nika saling memandang. Pak Nelis mengangkat kedua bahunya, menandakan ada sesuatu yang serba membingungkan. Bu Nika kembali melanjutkan kesibukannya melipat pakaian.
“Kasihan Enhai, Pa. Dia sudah lama bersama kita, sejak Noxan masuk kelas satu,” desah Bu Nika.
“Tapi, kata pak kades, ini semua demi kebaikan kita semua. Ini termasuk kejadian luar biasa, bu. Di desa tetangga, sudah ada lima orang yang terkena gigitan anjing. Satu orang sudah meninggal dunia. Bapa tidak mau nanti kita disalahkan karena masih memelihara anjing yang terkena rabies di rumah,” jawabnya.
Malam itu, Noxan tak segera tidur seperti biasanya. Air matanya mengalir deras. Enhai yang tertidur di bawah ranjangnya, memandang tuan kecilnya dengan tatapan yang sangat dalam, seolah menyiratkan perpisahan yang bakal terjadi tak lama lagi. Bocah kecil itu mengelus kepala Enhai dengan sangat lembut dan pelan. Enhai pun membiarkan Noxan meninabobokannya malam itu.
***
Pagi-pagi sekali, Noxan sudah bangun. Matanya lebam, sisa tangisan semalam. Dia tak semangat hari ini untuk menyiapkan diri ke sekolah. Handuknya digantung saja di pundaknya sambil berjalan ke sana ke mari. Makannya pun tak habis. Rambutnya tak disisir sempurna. Bu Nika melihat semua itu dari balik dapur.
“Noxan, Enhai baik-baik saja. Dia tidak akan ditembak. Ayo siap diri ke sekolah, sudah hampir terlambat,” tegur sang ibu sekaligus menguatkannya.
Pagi itu, Enhai pun tak pernah jauh dari kaki Noxan, tuan kecilnya. Ke mana-mana selalu diikutinya hingga Noxan berangkat meninggalkan rumah menuju sekolah, Enhai mengikutinya hingga pagar depan rumah. Keduanya saling menatap. Enhai duduk dengan kaki belakang yang ditekuk, lidahnya diulurkan keluar. Noxan mengelus kecil kepala Enhai. Bu Nika memperhatikannya dari balik jendela rumah. Hingga Noxan sudah melangkah jauh melewati gang depan, Enhai masih duduk di sana.
Di sekolah, Noxan tak bisa tenang hari itu. Pelajaran demi pelajaran dilaluinya tanpa semangat. Dia hanya duduk malas di belakang mejanya yang kusam. Buku pelajarannya hanya dibolak-balik seadanya. Dia tak banyak mencatat hari itu, seolah semua tenaganya hilang. Kala jam istirahat, sebuah mobil patroli polisi melintas di depan gedung sekolah. Di dalamnya beberapa polisi berseragam dan bersenjata lengkap duduk di belakangnya. Noxan semakin tidak tenang.
“Itu pasti polisi yang akan menembak anjing-anjing di desa,” kata salah satu temannya.
“Iya, pastinya. Kemarin bapakku juga bilang begitu. Hari ini semua anjing akan ditembak!” jawab yang lain.
“Kasihan anjing-anjing itu, akan mati ditembak. Seperti penjahat saja!”
“Mata mereka akan ditutup dengan kain hitam, lalu kaki mereka diikat kuat-kuat dengan tali. Dan, badan mereka akan diikat dikayu,”
“Polisi-polisi itu akan berdiri dari jauh. Dan, doooooorrr!”
“Peluru-peluru akan menembus kulit mereka, lalu ada darah!”
“Peluru itu juga akan menembus kepala anjing-anjing itu.”
“Bagaimana kalau anjingnya tidak mati juga?”
“Mereka akan memasukan anjing itu ke dalam karung, lalu dipukul dengan kayu besar sampai mati!”
“Wuih, menakutkan!”
“Kriiiiiinggg!”
Bel sekolah berbunyi. Cerita teman-temannya itu semakin menakutkan Noxan. Dia lalu membayangkan Enhai akan mengalami hal yang serupa. Di dalam kelas, Noxan semakin tidak sabar. Dia ingin segera pulang secepatnya untuk memastikan Enhai baik-baik saja. Polisi itu pasti sudah tiba di rumahnya, menemukan Enhai, menutup matanya, mengikat kakinya, dan menyatukannya dengan pohon kelapa di belakang rumah, lalu menembaknya secara membabi buta, pikir Noxan semakin liar. Tepat ketika doa selesai, Noxan sudah menyambar tas sekolahnya dan berlari pulang, menyusuri jalan setapak, gang-gang hingga tiba di rumahnya. Napasnya terengah-engah, nyaris pingsan.
Biasanya, Enhai akan menyambut Noxan dari pagar depan rumah, lalu menjilati kaki Noxan. Namun, Enhai tak ada di rumah saat itu. Dicarinya Enhai di sekeliling rumah sambil meneriakan namanya.
“Enhai, Enhai, Enhai!” teriaknya.
Tak ada Enhai.
Bu Nika keluar dari rumah.
“Enhai di mana ma? Enhai di mana?” tanya Noxan, sambil menangis.
Bu Nika tak menjawab. Dia memandang putranya itu dengan sangat sedih dan dalam.
“Ma, jangan bilang kalau Enhai sudah ditembak,” pintanya.
Tiba-tiba terdengar bunyi letupan senapan beriringan. Noxan dan Bu Nika kaget.
“Enhai!” teriak Noxan tiba-tiba.
Noxan lalu berlari, masuk ke dalam kebun-kebun di belakang rumah.
“Noxan berhenti! Noxan! Jangan ke sana. Kamu bisa kena peluru nyasar! Noxan berhenti!”
Noxan tetap berlari menerobos singkong yang tumbuh di kebun-kebun di belakang rumahnya.
“Doooorr!”
Sebuah letupan senapan lagi terdengar.
Lalu diam.
Sebuah suara keras lalu terdengar dari balik kebun.
“Hentikan tembakan! Ada anak kecil yang tertembak!”
.......................................
Waibalun, 04/08/2019.
Komentar
Posting Komentar