DUNIA GLOBAL DAN TEOLOGI KERAJAAN ALLAH

DUNIA GLOBAL DAN TEOLOGI KERAJAAN ALLAH
(Tanggapan terhadap Orasi Simon Rachmadi “Theologia in Loco di tengah Jalinan Antar-Peradaban,” STT Jakarta, 27 September 2019)


Oleh Dr. Ignas Kleden

Saya mengucapkan terima kasih atas undangan untuk hadir di sini pada kesempatan orasi hari ini, dan boleh memberikan tanggapan terhadap orasi yang baru saja kita dengar. Saya merasa orasi ini mencoba merumuskan suatu persoalan yang luas dan kebetulan menarik minat dan perhatian saya. Oleh karena itu saya tidak akan memberi tanggapan secara langsung kepada bagian-bagian orasi ini, karena orasi secara keseluruhan telah menimbulkan respons dalam pemikiran saya, mengenai apa yang patut kita usulkan menjadi kegiatan berteologi, khususnya di perguruan tinggi Indonesia, dengan mempertimbangkan perkembangan dunia sekarang, yang sedang mengalami globalisasi, sebagai suatu proses yang belum pernah dialami sebelum ini. Dengan demikian, apa yang akan saya kemukakan, lebih merupakan beberapa pikiran yang muncul dalam membaca orasi ini, dan pikiran-pikiran itulah yang aIkan saya sampaikan di sini, sebagai second thoughts setelah mempelajari naskah orasi ini.

Beberapa pikiran tersebut akan saya uraikan dalam lima bagian, sebagai berikut.

1. Konsep Theologia in Loco dan Theologia in Tempo di tengah Globalisasi.
2. Konsep Peradaban dan Konsep Kebudayaan dalam ilmu-ilmu sosial.
3. Teologi dan Indigenisasi.
4. Teologi, Sekularisasi dan Post-Sekularisasi.
5. Dari Teologi Gereja ke Teologi Kerajaan Allah

1. Theologia in Loco dan Theologia in Tempo di tengah Globalisasi.

Menurut teks orasi hari ini, theologia in loco merupakan usaha para ahli teologi Kristen setelah Indonesia merdeka, untuk melakukan repositioning teologi dengan cara mereduksi dan mengoreksi watak teologi zaman kolonial, yaitu watak teologi yang dipengaruhi asumsi kolonial, kepercayaan kolonial dan kepentingan kolonial, baik yang disadari mau pun yang tidak disadari. Keadaan itu mengakibatkan bahwa Nusantara hanya menjadi tempat penerapan pandangan kolonial tentang agama dan khususnya tentang tugas evangelisasi. Kolonialisme datang dan merasa tugas mereka terhadap bangsa-bangsa di koloni dapat dibenarkan, karena bangsa-bangsa itu perlu dididik kepada kemajuan untuk mendekati apa yang dianggap peradaban Barat, dan dalam agama dianggap pandangan penduduk setempat tentang Tuhan dan hubunganNya dengan dunia dan manusia harus ditingkatkan kepada sistem kepercayaan agama yang ada di Barat, yang telah mempunyai sistematisasi rasional dalam teologi sistematis mereka.

Dalam kontras dengan teologi kolonial, theologia in loco mencoba menjadikan Nusantara sebagai tanah tempat bibit iman dan teologi ditanam dan dirawat perkembangannya, berdasarkan apresiasi terhadap kreativitas rohani yang sudah ada dalam kebudayaan dan kepercayaan setempat, yang perlu pengarahan baru yang sesuai dengan watak kabar gembira yang hendak diwartakan dalam evangelisasi. Dengan tujuan tersebut, kebudayaan dan kepercayaan lokal tidak secara apriori dianggap  dan diperlakukan sebagai  praktek yang tidak mengenal yang kudus, yang benar, dan yang baik, sebagai sumber yang memberi kehidupan kepada setiap orang. Orang-orang lokal tidak diperlakukan sebagai pihak  yang hidup dalam serba pandangan yang sesat, tetapi sebagai pihak yang mencari keselamatan, namun belum mengenal jalan terbaik mencapai keselamatan itu dan dapat dibantu dalam hal itu melalui dialog dan komunikasi, dengan merujuk kepada apa yang telah mereka ketahui dalam sistem kepercayaan asli mereka. 

Reorientasi dalam pandangan keagamaan tidak saja didasarkan pada pemindahan tempat berteologi dari Eropa ke gerejak-gereja di Nusantara, tetapi juga pada pembaharuan dalam metode, semangat dan ekspresi dalam evangelisasi, yang mempertimbangkan dan memanfaatkan perkembangan baru dalam perubahan zaman. Kita ingat peribahasa Romawi antik tempora mutantur et nos mutamur in illis. Dalam bahasa kita, zaman berubah dan kita berubah di dalamnya. Dengan kata lain, pembaruan evangelisasi hanya mungkin dilakukan dengan memanfaatkan konteks ruang dan konteks waktu yang baru.
Akan tetapi pada titik inilah kita berhadapan dengan soal yang muncul dari globalisasi. Kenyataan baru yang kita hadapi sekarang ialah bahwa globalisasi telah menyebabkJn bahwa hubungan antara perkembangan pada tingkat global dan pada tingkat lokal menjadi amat erat dan tak terpisahkan. Tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004 dalam waktu beberapa menit sudah diketahui di hampir semua negara  dan menjadi keprihatinan umat manusia sedunia. Atas cara yang kurang lebih sama sebuah pertandingan di Piala Eropa antara Liverpool di Inggris dan lawan tandingnya segera menjadi bahan pembicaraan di kota-kota dan desa-desa di Indonesia. Pada kasus pertama yang lokal menjadi global, dan pada kasus kedua yang global menjadi lokal. Inilah sebabnya mengapa para ilmuwan sosial kadang berpendapat bahwa istilah globalisasi atau globalization dalam bahasa Inggris, lebih tepat dinamakan glocalization  yang berarti yang global menjadi lokal dan yang lokal menjadi global. Jarak ruang dan jarak waktu menjadi kecil sekali, karena ruang dan waktu mengalami semacam kompresi akibat globalisasi yang melahirkan time-space compression. Suatu perubahan besar dalam kesadaran dan perilaku sosial ialah berpindahnya gravitasi sosial dari ruang ke waktu, karena peranan dominan  saat ini telah bergeser dari “rulers of territory” dan berpindah ke “masters of speed” sebagaimana dirumuskan oleh filosof Juergen Habermas.

Dalam keadaan seperti itu apakah yang masih dapat menjadi locus berteologi sementara apa yang kita namakan lokalitas telah memuat demikian banyak pengaruh global, dan tempo berteologi harus memperhitungkan waktu lokal atau waktu global? 

Kegiatan berteologi dan karya evangelisasi, tak dapat menghindari tantangan dan kewajiban menghadapi perubahan besar yang terjadi pada masa kita sekarang yang dibawa dan didesak oleh globalisasi. Apa yang dapat diusulkan di sini ialah entah theologia in loco atau theologia in tempore harus disertai kesiapan yang lentur untuk menyesuaikan diri, karena baik locus mau pun tempus sudah berubah pada setiap saat. Yang amat dibutuhkan saat ini adalah teologi dalam perubahan dan tentang perubahan, dan bagaimana dalam perubahan itu, iman kita tetap dan tidak berubah. Atau kalau kita oleh memparafrasekan peribahasa Romawi yang sudah dikutip sebelum ini, dapat kita berkata tempora mutantur et nos mutamur in illis sed fides manet semper nobiscum atau zaman berubah dan kita berubah di dalamnya, tetapi iman tetap tidak berubah dan selalu bersama kita. 

2. Konsep Peradaban dan Konsep Kebudayaan dalam ilmu-ilmu sosial

Peradaban sebagai suatu konsep awal mulanya berasal dari sosiologi Jerman, diperkenalkan oleh geograf dan sosiolog Alfred Weber, khususnya dalam teorinya tentang kultur dan sivilisasi. Menurut sosiolog ini, setiap kultur berhubung dengan perkembangan kemampuan rohani suatu suku bangsa, bersifat organis dan vital, sedangkan sivilisasi berhubung dengan kecenderungan memberi bentuk berdasarkan ketrampilan teknis untuk mengatur kehidupan secara rasional. Karena itu kalau kultur terbatas pada suatu suku bangsa atau suatu bangsa, sivilisasi melibatkan semua bangsa.

Teori tentang perbedaan kultur dan sivilisasi ini ternyata tidak diterima luas dalam sosiologi dan antropologi budaya. Muncul kemudian usaha untuk merumuskan konsep kebudayaan, yang diusahakan mencakup sekaligus pengertian kultur dan sivilisasi. Antropolog J.J. Honigmann, dalam bukunya The World of Man mengajukan teori bahwa setiap kebudayaan dapat ditinjau berdasarkan bentuk kebudayaan dan berdasarkan isi atau content kebudayaan. Bentuk kebudayaan dibedakan ke dalam tiga lapis yaitu ideas, activities dan artefacts.  Isi kebudayaan adalah unsur-unsur yang ada dalam semua kebudayaan dan dinamakan cultural universals. Menurut antropolog B. Malinowski terdapat tujuh  cultural universals dalam semua kebudayaan yang ada di dunia.  Ketujuh unsur tersebut adalah: bahasa, teknologi, ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi dan kesenian. 

Di Indonesia, Koentjaraningrat mengembangkan lebih lanjut teori Honigmann tentang bentuk kebudayaan menjadi tiga lapis kebudayaan, yaitu lapis gagasan yang dinamakannya sistem budaya, lapis kegiatan dan perilaku yang dinamakannya sistem sosial, dan lapis fisik kebudayaan yang dinamakannya kebudayaan materil.  Tiga lapis kebudayaan tersebut adalah pengembangan lebih lanjut dari teori Honigmann tentang ideas, activities dan artifacts.

Samuel P. Huntington menggunakan konsep peradaban atau sivilisasi dalam arti tersendiri yaitu entitas budaya yang paling luas (the broadest cultural entity). Dalam arti itu, menurut Huntington, terdapat tujuh peradaban di dunia sekarang, yaitu peradaban Cina, Jepang, Hindu, Islam, Barat, Amerika Latin, dan Afrika. Tujuh peradaban dunia yang telah hilang adalah peradaban Mesopotamia, Mesir, Kreta, Bizantium klasik, Amerika Tengah, dan Andes yaitu  pegunungan terpanjang di dunia, dengan panjang 7.000 km dan lebar 50 km, membentang dari Venezuela di sebelah utara, melewati Kolombia, Ekuador, Peru, Bolivia, Argentina hingga ke Chile.

Kalau Huntington berpendapat bahwa peradaban adalah entitas budaya yang paling besar dan paling luas, kita dapat bertanya apa yang menjadi entitas budaya yang paling kecil? Menurut pendapat saya, entitas budaya yang terkecil adalah lokalitas. Perlu diingat bahwa lokalitas bukan suatu konsep geografis, tetapi suatu pengertian sosiologis. Lokalitas merupakan tempat bertahan terakhir bagi sekelompok orang, yang sedang menghadapi risiko dan ancaman kehilangan identitas.
Secara filosofis, lokalitas memainkan peranan sebagai Lebenswelt atau life world sebagaimana diperkenalkan oleh Alfred Schutz   dan dikembangkan lebih lanjut oleh Juergen Habermas.  Menurut Schutz Lebenswelt adalah dunia pertama yang dikenal oleh tiap orang, sebagai dunia yang pra-ilmiah, yang menjadi realitas tingkat satu, yang di atasnya dibangun realitas tingkat dua, tingkat tiga dan seterusnya. Sebagai contoh, untuk banyak kelompok budaya di Indonesia, bahasa  daerah merupakan bahasa tingkat satu,  yang di atasnya dibangun bahasa Indonesia untuk percakapan sebagai bahasa tingkat dua, kemudian bahasa Indonesia sekolahan sebagai bahasa tingkat tiga, dan selanjutnya bahasa Indonesia akademis atau bahasa Indonesia kaum professional sebagai bahasa tingkat empat dan seterusnya. Habermas memakai konsep Lebenswelt sebagai dunia yang diatur oleh integrasi sosial berdasarkan norma dan nilai yang dianut bersama, yang dibedakan dari integrasi sistem yang berdasarkan hubungan tukar-menukar.

Huntington seakan mendalilkan bahwa konflik yang ada di dunia adalah konflik di antara entitas budaya yang terbesar yang dinamakannya peradaban, sedangkan kita di Indonesia mengalami konflik pada entitas budaya terkecil, yaitu pada tingkat Lebenswelt, yaitu pada tingkat dunia pertama yang kita kenal dalam kebudayaan. Dahulu pada zaman Orde Lama, kita lebih sering mengalami konflik Lebenswelt ini pada tingkat etnis, yaitu antara kelompok pribumi dan mereka yang dianggap bukan pribumi. Sekarang pada masa Reformasi, konflik itu bergeser ke konflik antar golongan agama, karena perbedaan Lebenswelt yang dianut masing-masing pihak. Keadaan ini dapat diatasi jika semakin meningkat penengertian umum tentang makna kehidupan dalam masyarakat multikultural, yang berarti bahwa dalam masyarakat  seperti itu  terdapat demikian banyak Lebenswelt yang selayaknya diakui dan dihormati oleh masing-masing pihak.

Orasi yang kita dengar hari ini berbicara tentang desire for recognition yaitu keinginan tiap kelompok untuk diakui, tetapi ditinjau secara politik, keinginan serupa itu harus menjadi  necessity of recognition, atau keharusan memberi pengakuan dan mendapat pengakuan, karena tanpa itu negara kita yang telah menjadi rumah bersama, akan mengalami risiko keutuhannya, karena tiap kelompok membangun pondokannya sendiri-sendiri, yang dikelilingi pagar yang tak boleh dimasuki tamu atau orang yang kebetulan lewat.

3. Teologi dan Indigenisasi

Dalam teks orasi disinggung juga masalah indigenisasi. Ini jelas ada hubungannya yang langsung dengan tema theologia in loco yang tujuan umumnya adalah mengganti teologi kolonial sebagai warisan masa penjajahan Belanda, dengan teologi yang lebih sesuai dengan tuntutan masyarakat dan gereja yang hidup dalam suatu negara merdeka seperti Indonesia sekarang.

Tuntutan indigenisasi atas teologi bukanlah suatu keinginan yang mengejutkan, karena tuntutan dan percobaan serta usul indigenisasi telah dilakukan juga dalam disiplin ilmu-ilmu lain. Contoh yang segera bisa disebutkan di sini ialah apa yang sudah dicoba dilakukan dalam historiografi atau dalam penulisan sejarah. Dua sejarawan Indonesia bisa dirujuk dalam kaitan ini, yaitu Prof, Sartono Kartodirdjo dan Prof. Taufik Abdullah. Keduanya menyadari bahwa penulisan sejarah Indonesia amat dipengaruhi oleh historiografi yang Neerlandosentris, dengan akibat bahwa sejarah Indonesia  seakan-akan hanya menjadi perpanjangan sejarah negeri Belanda yang pernah tiga abad menjajahnya.

Keduanya mengusulkan suatu penulisan sejarah Indonesia secara baru dengan orientasi Indonesiasentris.  Akan tetapi untuk mewujudkan historiografi yang Indonesiasentris, dua hal perlu dilakukan, yaitu apa saja yang menjadi kritik utama terhadap sifat historiografi yang Neerlandosentris, dan kedua, apa yang perlu diusulkan untuk penulisan sejarah secara baru yang merealisasikan historiografi yang Indonesiasentris.

Pertama, historiografi kolonial secara umum amat mengabaikan peranan masyarakat koloninya melalui tiga kecenderungan.

Masyarakat pribumi dianggap tidak mempunyai peranan yang berarti dalam perubahan dan perkembangan sosial yang melibatkan diri mereka. Mereka hanya menjadi penerima pasif atau bahkan korban dari pengaruh-pengaruh luar.

Sebagai akibat dari kecenderungan pertama, penulis sejarah kolonial tidak melihat lagi dinamika yang muncul dari struktur dan nilai-nilai masyarakat pribumi dalam usaha dan bahkan gerakan untuk mencapai cita-cita mereka, yang seringkali tidak ada hubungannya dengan kepentingan kolonial.

Dokumen-dokumen tradisional biasanya diabaikan begitu saja sebagai sumber sejarah yang tidak bisa dipercaya, meski pun sejarawan kolonial dari masa yang lebih kemudian semakin menyadari bahwa dokumen yang tertulis dalam bentuk sastra tradisional, mengandung dua unsur yang tercampur-baur dan harus dibedakan dalam  penelitian, yaitu unsur legenda dan unsur sejarah.
Kedua, untuk merealisasikan penulisan sejarah yang Indonesiasentris perlu dilakukan beberapa hal berikut.

Sejarah profesional harus meninggalkan isu-isu filosofis dan mulai menerapkan pendekatan multi-dimensi  sebagaimana dituntut dalam penelitian sejarah yang sebenarnya.

Historiografi yang bersifat religious-magis dan penuh dengan cerita-cerita tentang kosmogoni harus ditinggalkan, dan diganti dengan historiografi empiris-ilmiah, dengan dukungan penelitian yang menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan.

Sejarah yang bersifat etnosentris, yang memusatkan perhatian pada kelompok etnik tertentu, dan didorong oleh kecenderungan etnosentris dari peneliti, harus diganti dengan penelitian sejarah yang nasiosentris, yang melihat semua peristiwa yang terjadi sebagai bagian dari kehidupan suatu bangsa.

Bersikap kritis terhadap sejarah politik, yang biasanya memberi perhatian utama kepada peranan elite politik dalam suatu perubahan politik, dan mengimbanginya dengan sejarah sosial, yang memberi perhatian kepada berbagai aspek perubahan sosial, dan mempertimbangkan peranan berbagai lapisan masyarakat dalam perubahan sosial yang terjadi.   

Indigenisasi dalam teologi  tentu berbeda dari indigenisasi historiografi. Namun demikian, aspek-aspek indigenisasi historiografi dapat dipelajari dan kemudian diberi content yang sesuai dengan keperluan teologi. Sebagai contoh kecil, adalah suatu kebenaran dalam teologi bahwa Tuhan menciptakan seluruh alam semesta. Akan tetapi untuk membuatnya menjadi suatu pernyataan yang lebih konkret dan lebih aktual, bisa kita katakan bahwa gunung yang ada di depan kita, lembah yang biasa kita lewati, hutan di luar desa kita, dan sungai tempat kita mandi, semua diciptakan Tuhan untuk kepentingan kita , dan kita harus ikut menjaganya. Kalau kita merusak hutan, mengotori sungai dengan sampah, atau menangkap dan membunuh banyak binatang secara serampangan di gunung, maka kita tidak menghormati penciptaan dan tidak bertanggungjawab terhadap Tuhan sebagai pencipta. Keterangan itu bukan saja lebih efektif secara katekese, tetapi mempunyai efek terhadap kesadaran lingkungan dan membantu memperkuat gerakan lingkungan hidup.
Para pendeta, pastor, dan katekis, tentulah mempunyai lebih banyak pengalaman dan keahlian didaktis untuk melakukan penyesuaian semacam itu, sehingga kebenaran menjadi hidup dalam suatu komunitas budaya sebagai komunitas iman. Dalam kalangan Gereja Katolik, kepandaian memakai ekspresi budaya untuk mengungkapkan kebenaran iman, dan kepandaian menemui kebenaran iman dalam berbagai ekspresi budaya, dinamakan inkulturasi, yang merupakan terjemahan dari amanat Konsili Vatikan II yang juga dikenal sebagai Konsili Ekumenis. Semboyan baru yang kita dengar sejak itu adalah, gereja harus melaksanakan aggiornamento, atau pembaruan dalam dirinya, dan salah satu jalan yang ditegaskan oleh Paus Fransiskus adalah inkulturasi.  Bahkan menurut Paus Fransiskus, inkulturasi merupakan jalan untuk berteologi dalam masa kita sekarang. Dalam suatu Ajakan Apostolik yang ditulisnya, berjudul Evangelii Gaudium atau Kegembiraan Injil, Paus Fransiskus menulis:

“Kita tentu tidak bertindak adil terhadap logika penjelmaan, jika kita berpikir tentang Kristianitas sebagai hal yang monokultural dan monoton. Sementara benarlah bahwa beberapa  budaya telah ditautkan sangat erat  dengan pewartaan injil dan pemikiran Kristiani, namun pesan pewahyuan tidak identik dengan budaya mana pun; isinya bersifat transkultural. Oleh karena itu, dalam evangelisasi budaya-budaya baru atau budaya yang belum menerima pesan Kristiani, tidaklah perlu mengenakan sebuah bentuk budaya khusus, tidak peduli betapa pun indah dan antiknya, bersamaan dengan  pewartaan injil. Pesan yang kita wartakan selalu memiliki baju budaya tertentu, tetapi kita di Gereja  kadang-kadang bisa jatuh ke dalam pengeramatan yang tak perlu atas budaya kita sendiri, dan dengan demikian lebih menunjukkan fanatisme daripada semangat evangelisasi yang sebenarnya.”  

4. Teologi, Sekularisasi,  Post-Sekularisasi

Secara sederhana teologi adalah studi ilmiah tentang dua hal pokok yang berhubungan satu sama lain, yaitu pernyataan diri Allah kepada manusia, yang dinamakan wahyu, dan tanggapan manusia terhadap pernyataan diri Allah yang dinamakan iman. Tanggapan itu jelas bersifat penerimaan wahyu tersebut, karena penolakan wahyu bukanlah iman. Dengan demikian iman mengandung pengetahuan tentang diri Allah yang dinyatakan dalam wahyu. Namun pengetahuan saja tidak membentuk iman; pengetahuan itu harus disertai dua hal lain yaitu percaya akan apa yang diwahyukan, dan setia kepada apa yang diwahyukan.

Dengan demikian, teologi adalah pengetahuan ilmiah tentang bentuk dan isi wahyu Allah, dan tentang apa saja yang harus ada dalam tanggapan kepada wahyu Allah, bentuk kepercayaan seperti apa yang membuat pengetahuan menjadi iman, dan kesetiaan seperti apa yang dituntut oleh wahyu yang diimani itu. Filosof Karl Jaspers, menyatakan bahwa secara filosofis, iman dapat mengandung dua arti. Dirumuskan dalam bahasa Latin aspek iman yang satu dinamakan fides quae creditur, yang artinya iman yang saya percayai, sedangkan yang kedua dinamakan fides qua creditur, yang berarti iman yang dengannya saya menjadi percaya. Pada yang pertama iman adalah apa yang saya percayai. Pada yang kedua iman menjadi sarana yang membuat saya percaya. 

Secara sosiologis iman inilah yang membuat seseorang menjadi beragama. Akan tetapi tidak setiap orang yang mengaku resmi beragama, dengan sendirinya mempunyai iman. Agama dapat menjadi institusi, tetapi iman tetap sesuatu yang spiritual. Sebagai institusi agama dapat berpengaruh dan berperan sebagai suatu kekuatan sosial, tetapi iman menjadi jalan kepada kesempurnaan tiap orang.

Berdasarkan pengertian tentang agama seperti itu, kita dapat meneruska perbincangan ke sekularisasi dan post-sekularisasi. Salah satu definisi yang diajukan sosiologi agama tentang sekularisasi  mengartikannya sebagai keadaan di mana makna dan pentingnya agama secara sosial (sosial significance of religions)   semakin menurun.  Akibatnya, norma-norma agama mungkin tetap bertahan dalam kehidupan pribadi tiap orang, tetapi kehidupan sosial dalam masyarakat tidak lagi diatur oleh norma-norma agama.

Menurut filosof Juergen Habermas, ada dua ciri utama sekularisasi. Yaitu 1) Ada monopoli otoritas pengetahuan ilmiah yang menjadi rujukan dalam kehidupan sosial. Pengetahuan lain, termasuk pengetahuan agama, hanya bersifat sekunder. 2) Kehidupan bersama dalam masyarakat diatur oleh negara undang-undang (Verfassungsstaat) dengan pegangan moral yang tidak berdasarkan agama. 

Apakah perkembangan sekularisasi ini membuat agama dan teologi menjadi tidak relevan lagi dalam hidup manusia modern? Ternyata tidak juga, dan ini ada beberapa sebabnya.

Pertama, ternyata dalam perkembangan ilmu pengetahuan, sudah diketahui bahwa tidak ada ilmu mana pun yang sanggup memberi dasar moral kepada apa yang dilakukannya dan tidak dapat menetapkan apa yang menjadi tujuannya. Ilmu pengetahuan dan khususnya teknologi selalu berpegang pada apa yang dapat dilakukan, dan bukan apa yang boleh dilakukan. Ilmu pengetahun akhirnya merasa perlu mencari sumber di luar dirinya, untuk memberikan pegangan tentang apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, meski pun hal tersebut secara ilmiah dan teknis dapat dilakukan.

Dalam dialog antara Habermas dan Joseph Ratzinger, yang diselenggarakan oleh Akademi Bavaria di Muenchen pada 19 Januari 2004 hubungan antara iman dan akal budi dibahas secara khusus. Di antara berbagai hal yang didialogkan keduanya mencapai kata sepakat bahwa baik dalam kehidupan agama mau pun dalam perkembangan ilmu pengetahuan, dua-duanya seringkali terjebak dalam patologinya masing-masing. Kedua pihak sama-sama membutuhkan saling konsultasi di antara mereka. Di satu pihak, agama harus membuka dirinya kepada temuan-temuan dalam ilmu pengetahuan, yang dapat membantu mengatasi patologi dalam kehidupan agama. Sebaliknya ilmu pengetahuan hendaknya terbuka kepada agama, khususnya agama-agama besar yang sudah mempunyai pengalaman berabad yang disimpan dalam tradisi mereka. Berdasarkan pengalaman dan tradisi itu agama-agama dapat memberi pendapat tentang justifikasi moral mengenai apa yang boleh atau tidak boleh dilanggar oleh ilmu pengetahuan, karena agama mempunyai pengalaman mengurus moral manusia sepanjang masa. 

Di samping itu baik ilmu pengetahuan dan filsafat dapat menambah pengetahuan manusia tentang banyak perkara dalam alam dan dalam hidup manusia, akan tetapi tidak ada yang sanggup memberi janji keselamatan seperti yang ada dalam tiap agama. Filsafat yang secanggih apa pun hanya menjadi disiplin tanpa hiburan batin, dan tidak dapat mengganti peranan agama dalam menjanjikan keselamatan. 

Pada titik itulah sekularisasi berhenti, dan post-sekularisasi dimulai.

5. Dari Teologi Gereja ke Teologi Kerajaan Allah

Teologi Kerajaan Allah dapat dikatakan berkembang di atas dasar beberapa paham teologi lain sebelumnya. Setelah Konsili Vatikan II gereja di definisikan sebagai umat Allah di jalan atau populus Dei in via. Demikian pun teolog Hans Kueng sejak tahun 1960-an sudah berbicara dan menulis tentang kehendak Allah yang hendak memberi keselamatan kepada semua orang, suatu pandangan yang dia namakan dalam bahasa Jerman Theologie des universalen Heilswillen  Gottes, atau teologi tentang kehendak Allah perihal keselamatan universal.  Teologi keselamatan universal ini jelas menjadi antitesa dari teologi lama yang percaya bahwa hanya di dalam gereja orang memperoleh keselamatan, sedang di luar gereja tak ada kemungkinan untuk selamat.

Dasar utama teologi Kerajaan Allah ialah kepercayaan bahwa Tuhan mencipta dan berkarya dalam segala ciptaannya. Konsekuensinya ialah bahwa Tuhan juga berkarya dalam segala kebudayaan dan segala agama. Kerajaan Allah dipercaya lebih besar dan luas dari gereja dan tiap-tiap agama satu persatu, yang masing-masingnya menjadi partisipan dalam Kerajaan Allah, dan semua mereka patut dijumpai dalam dialog profetis. Sebagai orang Kristen kita percaya bahwa kita mempunyai fasilitas terbaik untuk mendapat keselamatan, karena diri Yesus Kristus sendiri menjadi jaminannya, tetapi tiap orang dalam tiap agama mempunyai kesempatan dan kemungkinan untuk selamat, karena jalan tersebut tersedia dalam Kerajaan Allah.

Dalam kapital general ke 16 Serikat Sabda Allah atau SVD pada 2006, telah dirumuskan empat pihak yang patut diajak berdialog dalam kerajaan Allah. Keempat kelompok besar itu adalah 1) para pencari iman atau faith seekers yaitu kelompok orang yang belum termasuk dalam komunitas agama tertentu, 2) Kaum miskin dan tersisih, 3) Orang-orang dari kebudayaan lain dan agama lain, 4) orang-orang yang menganut ideologi sekuler.

Karena tanggapan ini sudah cukup panjang, saya hanya mau menguraikan dua kelompok saja, yang lebih cocok dengan keadaan kita sekarang di Indonesia.

Pertama, tentang kaum miskin. Kapitel General SVD tahun 2006 itu mengidentifikasi kelompok miskin dalam the four Ds atau empat huruf D. Keempat huruf D itu adalah 1) kaum miskin papa atau the destitute, 2) kaum yang dirampas segala hak miliknya atau the dispossessed, 3) kaum yang tergusur dan tanpa tempat tinggal atau the displaced, dan 4) kaum yang dirampas hak-haknya atau the discriminated. Saya agak heran mengapa tidak dicantumkan D yang kelima, yaitu the desperate, yaitu mereka yang telah kehilangan atau dirampas seluruh harapannya.

Kedua adalah orang-orang dari kebudayaan lain atau agama lain. Hormat kepada budaya dan agama lain didasarkan pada kepercayaan bahwa Allah berkarya dalam seluruh ciptaan dan dalam semua kebudayaan. Semua agama dapat dipandang sebagai sesam partisipan dalam kerajaan Allah, dan Kerajaan Allah itu lebih besar, lebih mendasar, dan lebih mendalam dari gereja dan agama-agama lain. Perlu dilakukan dialog dengan agama-agama lain karena agama-agama itu dapat menjadi horizon bagi pembentukan identitas Kristen kita. Dialog tidak cukup dilakukan pada tingkat teologis, tetapi dalam mencoba bekerja sama, hidup bersama dan berdoa bersama. Praktek semacam itu muncul spontan apabila ada bencana besar seperti tsunami di Aceh, tetapi selayaknya harus dilakukan juga dalam kehidupan norma sehari-hari. Atas cara itu diperlihatkan dan juga dirayakan bahwa ada banyak jalan menghormati dan memuliakan Allah, dan ada banyak jalan menuju keselamatan.


Jakarta, akhir September 2019





















Komentar

Postingan populer dari blog ini

WAIBALUN - JATI DIRI

TERUNTUK PATER BERNAD MULLER, SVD

KRITIK BUDI (Refleksi Singkat untuk HUT Pater Budi Kleden SVD)