'TOKO JEMPOL'
‘TOKO JEMPOL’
Oleh Berrye Tukan
Toko kecil ini berada di pinggir jalan, di antara sebuah kedai kopi dan warung makan. Temboknya berwarna biru tua dikombinasikan dengan garis-garis putih di tiang-tiang utamanya. Kaca pintunya selalu bersih dan kinclong, terkadang terlihat transparan hingga wajah penjaga tokonya bisa dilihat jelas dari depan jalan. Di depan pintu masuk, dua pot besar berdiri mengapit pintunya. Dua tanaman sejenis ilalang besar tumbuh di masing-masing potnya. Sebuah papan nama besar berupa neon box tergantung di atas pintu masuk, bertuliskan ‘Toko Jempol’, dengan gambar jempol besar di sampingnya.
Toko Jempol, demikian namanya. Aneh memang. Di dalam toko, berjejer rak-rak panjang dan tinggi berisi ratusan bahkan ribuan potongan ibu jari atau yang sering disebut jempol. Tak hanya jempol manusia, ada juga jempol binatang yang kebanyakan berisi jempol monyet dari beraneka spesies, dari orang utan, simpanse hingga gorila. Jempol-jempol ini disusun berdasarkan usia, jenis kelamin, asal, popularitas hingga ukuran. Rak paling depan berisi jempol berusia muda, istilahnya yang masih fresh. Rak berikutnya berisi jempol-jempol dari jaman batu, jaman besi, hingga rak terakhir berisi jejeran jempol-jempol dari abad pertama. Jempol-jempol ini diletakkan di dalam tiap toples transparan yang selalu bersih. Nampaknya jempol-jempol itu sudah disuntikkan dengan cairan pengawet sehingga selalu nampak fresh dengan kuku-kuku yang berwarna sedikit kecoklat-coklatan.
Ini toko, namun sekaligus menjadi semacam museum. Setiap pengunjung dapat melihat koleksi jempol yang ada di sini, namun jempol-jempol di sini tidak dijual, berapapun harganya.
***
Pak Marko, sang pemilik adalah lelaki sederhana yang selalu mengenakan baju kaos oblong setiap hari bahkan pada saat menjaga tokonya. Lelaki berusia empat puluh tahunan ini berbadan tinggi, kurus, berambut setengah keriting berwarna kuning kecoklat-coklatan. Dia selalu tersenyum manis menyapa setiap pengunjung yang datang ke tokonya. Istrinya adalah satu-satunya asisten yang dia miliki, wanita berkulit agak gelap, berambut hitam lurus panjang. Wanita ini pun tak kalah akrabnya. Gigi-gigi putih bersih dan terlihat cantik kala dia tersenyum menyambut tiap pengunjung yang datang tak henti-hentinya setiap harinya.
Pengunjung berjibun datang setiap harinya. Apa yang dilakukan pengunjung di toko ini? Mereka hanya diminta untuk melakukan apa yang mereka suka lakukan. Di belakang rak-rak jempol, ada sebuah ruangan kecil, semacam panggung kosong dengan penerangan seadanya. Setiap pengunjung hanya disuruh berdiri di atas panggung dan bebas melakukan apa saja yang mereka suka: bernyanyi, berpose, berpuisi, melakukan akrobatik, sulap, dan lainnya. Aturan hanya satu: jangan keluar dari panggung. Selesai melakukan hal yang mereka suka, mereka akan diganjar dengan jempol karet yang dapat meleleh. Jumlah jempol yang diberikan tergantung dari ketertarikan para juri. Siapakah para juri itu? Mereka adalah penonton yang setiap harinya berada di deretan kursi-kursi di depan panggung kecil tadi. Para juri dilarang berkomentar, bertepuk tangan dan mengeluarkan suara selama proses ini berlangsung.
Jempol yang diberikan para juri terbuat dari bahan karet yang entah bagaimana bisa meleleh, meski di cuaca dingin sekalipun. Para pengunjung yang mendapat jempol tadi akan membawanya pulang dan menyimpannya di rumah sebagai sebuah lambang prestise. Semakin banyak jempol yang dikoleksi, semakin tinggi pula harga diri seseorang. Bila jempol sudah habis meleleh, orang-orang akan datang lagi ke toko tersebut untuk melakukan apa saja demi jempol-jempol itu. Ini semacam gaya hidup baru di kota ini. Aneh, namun hampir semua orang di kota ini melakukannya. Maka tak heran bila toko ini ramai dikunjungi setiap harinya hingga mengantri ke toko-toko sebelahnya yang turut kecipratan rejeki: kopi-kopi habis di tenggorokan dan mie goreng dan rebus mengenyangkan usus yang penuh kolestrol.
***
Hari ini, seorang remaja putri masuk ke dalam toko itu. Penampilannya sederhana, dengan kaos dan sandal jepit. Dia dipersilahkan berdiri di atas panggung dan melakukan hal yang disukainya. Dia mulai bercerita tentang hidupnya yang susah, tentang keluarganya yang berantakan, tentang ayahnya lari dengan pembantu sebelah rumah, tentang ibu yang kecanduan drama Korea, tentang teman-teman sekolahnya yang sering melakukan tindak perkusi padanya, tentang pacarnya yang sering menidurinya dengan kondom murahan. Dia menangis di akhir ceritanya, lalu turun dari panggung. Dia pun diganjari puluhan jempol. Si gadis ini segera berubah raut mukanya. Dia mulai tersenyum, bahkan tertawa terbahak-bahak. Dimasukanlah jempol-jempol itu ke dalam tasnya, lalu melangkah pulang sambil berdendang riang.
Berikut giliran seorang bapak yang nampak masih gagah. Rambutnya pendek dan tebal, disisir rapih, dan terlihat selalu basah. Wajahnya ganteng untuk ukuran pria seumurnya. Dari penampilannya, jelas dia orang kaya. Baju jas, celana dan sepatunya terbuat dari bahan-bahan mahal. Senyumnya manis. Berdiri di atas panggung kecil ini, para juri menunggu apa yang akan dilakukan.
“Saya orang terkenal. Saya sudah melakukan banyak hal baik untuk orang lain. Saya sederhana, tapi tidak suka dipuji. Saya hebat, tapi tak suka diberi apresiasi. Biar saja orang menilai saya apa adanya,” katanya membuka aksinya.
Ruangan terdiam.
“Dulu saya hidup dalam kesulitan. Keluarga saya sederhana, tak kaya. Saya sering diperkusi oleh anak-anak nakal semasa kecil saya. Namun, saya sudah sukses sekarang. Lihatlah saya!” katanya sambil membuka setengah jas mahalnya.
“Saya hebat! Semua orang mengagumi saya. Saya bebas melakukan apa saja yang saya suka karena saya sudah hebat sekarang! Kalian, para juri! Berikan saya jempol sebanyak mungkin yang kalian punya! Apapun bisa saya lakukan karena saya tahu semua aturan! Meski saya salah, saya punya aturan sendiri!” ucapnya tegas.
Dia berhenti berpidato, turun dari panggung sembari menunggu jempol dari para juri. Namun matanya terbelalak heran ketika melihat jempol-jempol yang diterimanya dilumuri darah-darah segar. Sebagian jempol itu malah masih bisa bergerak dengan sendirinya. “Ini bukan jempol karet! Ini jempol manusia! Ini asli!” teriaknya ketakutan.
Namun, wajahnya sekejap berubah lagi. Kini dia malah tersenyum.
“Saya berhak mendapatkan ini karena saya layak!” ujarnya lalu melangkah pergi.
Para juri mulai bergunjing satu sama lain.
“Kenapa kamu memberikan jempol tangan kalian?”
“Supaya dia senang, dan tak datang lagi!”
Oleh Berrye Tukan
Toko kecil ini berada di pinggir jalan, di antara sebuah kedai kopi dan warung makan. Temboknya berwarna biru tua dikombinasikan dengan garis-garis putih di tiang-tiang utamanya. Kaca pintunya selalu bersih dan kinclong, terkadang terlihat transparan hingga wajah penjaga tokonya bisa dilihat jelas dari depan jalan. Di depan pintu masuk, dua pot besar berdiri mengapit pintunya. Dua tanaman sejenis ilalang besar tumbuh di masing-masing potnya. Sebuah papan nama besar berupa neon box tergantung di atas pintu masuk, bertuliskan ‘Toko Jempol’, dengan gambar jempol besar di sampingnya.
Toko Jempol, demikian namanya. Aneh memang. Di dalam toko, berjejer rak-rak panjang dan tinggi berisi ratusan bahkan ribuan potongan ibu jari atau yang sering disebut jempol. Tak hanya jempol manusia, ada juga jempol binatang yang kebanyakan berisi jempol monyet dari beraneka spesies, dari orang utan, simpanse hingga gorila. Jempol-jempol ini disusun berdasarkan usia, jenis kelamin, asal, popularitas hingga ukuran. Rak paling depan berisi jempol berusia muda, istilahnya yang masih fresh. Rak berikutnya berisi jempol-jempol dari jaman batu, jaman besi, hingga rak terakhir berisi jejeran jempol-jempol dari abad pertama. Jempol-jempol ini diletakkan di dalam tiap toples transparan yang selalu bersih. Nampaknya jempol-jempol itu sudah disuntikkan dengan cairan pengawet sehingga selalu nampak fresh dengan kuku-kuku yang berwarna sedikit kecoklat-coklatan.
Ini toko, namun sekaligus menjadi semacam museum. Setiap pengunjung dapat melihat koleksi jempol yang ada di sini, namun jempol-jempol di sini tidak dijual, berapapun harganya.
***
Pak Marko, sang pemilik adalah lelaki sederhana yang selalu mengenakan baju kaos oblong setiap hari bahkan pada saat menjaga tokonya. Lelaki berusia empat puluh tahunan ini berbadan tinggi, kurus, berambut setengah keriting berwarna kuning kecoklat-coklatan. Dia selalu tersenyum manis menyapa setiap pengunjung yang datang ke tokonya. Istrinya adalah satu-satunya asisten yang dia miliki, wanita berkulit agak gelap, berambut hitam lurus panjang. Wanita ini pun tak kalah akrabnya. Gigi-gigi putih bersih dan terlihat cantik kala dia tersenyum menyambut tiap pengunjung yang datang tak henti-hentinya setiap harinya.
Pengunjung berjibun datang setiap harinya. Apa yang dilakukan pengunjung di toko ini? Mereka hanya diminta untuk melakukan apa yang mereka suka lakukan. Di belakang rak-rak jempol, ada sebuah ruangan kecil, semacam panggung kosong dengan penerangan seadanya. Setiap pengunjung hanya disuruh berdiri di atas panggung dan bebas melakukan apa saja yang mereka suka: bernyanyi, berpose, berpuisi, melakukan akrobatik, sulap, dan lainnya. Aturan hanya satu: jangan keluar dari panggung. Selesai melakukan hal yang mereka suka, mereka akan diganjar dengan jempol karet yang dapat meleleh. Jumlah jempol yang diberikan tergantung dari ketertarikan para juri. Siapakah para juri itu? Mereka adalah penonton yang setiap harinya berada di deretan kursi-kursi di depan panggung kecil tadi. Para juri dilarang berkomentar, bertepuk tangan dan mengeluarkan suara selama proses ini berlangsung.
Jempol yang diberikan para juri terbuat dari bahan karet yang entah bagaimana bisa meleleh, meski di cuaca dingin sekalipun. Para pengunjung yang mendapat jempol tadi akan membawanya pulang dan menyimpannya di rumah sebagai sebuah lambang prestise. Semakin banyak jempol yang dikoleksi, semakin tinggi pula harga diri seseorang. Bila jempol sudah habis meleleh, orang-orang akan datang lagi ke toko tersebut untuk melakukan apa saja demi jempol-jempol itu. Ini semacam gaya hidup baru di kota ini. Aneh, namun hampir semua orang di kota ini melakukannya. Maka tak heran bila toko ini ramai dikunjungi setiap harinya hingga mengantri ke toko-toko sebelahnya yang turut kecipratan rejeki: kopi-kopi habis di tenggorokan dan mie goreng dan rebus mengenyangkan usus yang penuh kolestrol.
***
Hari ini, seorang remaja putri masuk ke dalam toko itu. Penampilannya sederhana, dengan kaos dan sandal jepit. Dia dipersilahkan berdiri di atas panggung dan melakukan hal yang disukainya. Dia mulai bercerita tentang hidupnya yang susah, tentang keluarganya yang berantakan, tentang ayahnya lari dengan pembantu sebelah rumah, tentang ibu yang kecanduan drama Korea, tentang teman-teman sekolahnya yang sering melakukan tindak perkusi padanya, tentang pacarnya yang sering menidurinya dengan kondom murahan. Dia menangis di akhir ceritanya, lalu turun dari panggung. Dia pun diganjari puluhan jempol. Si gadis ini segera berubah raut mukanya. Dia mulai tersenyum, bahkan tertawa terbahak-bahak. Dimasukanlah jempol-jempol itu ke dalam tasnya, lalu melangkah pulang sambil berdendang riang.
Berikut giliran seorang bapak yang nampak masih gagah. Rambutnya pendek dan tebal, disisir rapih, dan terlihat selalu basah. Wajahnya ganteng untuk ukuran pria seumurnya. Dari penampilannya, jelas dia orang kaya. Baju jas, celana dan sepatunya terbuat dari bahan-bahan mahal. Senyumnya manis. Berdiri di atas panggung kecil ini, para juri menunggu apa yang akan dilakukan.
“Saya orang terkenal. Saya sudah melakukan banyak hal baik untuk orang lain. Saya sederhana, tapi tidak suka dipuji. Saya hebat, tapi tak suka diberi apresiasi. Biar saja orang menilai saya apa adanya,” katanya membuka aksinya.
Ruangan terdiam.
“Dulu saya hidup dalam kesulitan. Keluarga saya sederhana, tak kaya. Saya sering diperkusi oleh anak-anak nakal semasa kecil saya. Namun, saya sudah sukses sekarang. Lihatlah saya!” katanya sambil membuka setengah jas mahalnya.
“Saya hebat! Semua orang mengagumi saya. Saya bebas melakukan apa saja yang saya suka karena saya sudah hebat sekarang! Kalian, para juri! Berikan saya jempol sebanyak mungkin yang kalian punya! Apapun bisa saya lakukan karena saya tahu semua aturan! Meski saya salah, saya punya aturan sendiri!” ucapnya tegas.
Dia berhenti berpidato, turun dari panggung sembari menunggu jempol dari para juri. Namun matanya terbelalak heran ketika melihat jempol-jempol yang diterimanya dilumuri darah-darah segar. Sebagian jempol itu malah masih bisa bergerak dengan sendirinya. “Ini bukan jempol karet! Ini jempol manusia! Ini asli!” teriaknya ketakutan.
Namun, wajahnya sekejap berubah lagi. Kini dia malah tersenyum.
“Saya berhak mendapatkan ini karena saya layak!” ujarnya lalu melangkah pergi.
Para juri mulai bergunjing satu sama lain.
“Kenapa kamu memberikan jempol tangan kalian?”
“Supaya dia senang, dan tak datang lagi!”
……………… Waibalun, 28 Januari 2019.
Komentar
Posting Komentar