BELAJAR DARI SOE HOK GIE


SOE HOK GIE
(Mendiamkan Kesalahan adalah Kejahatan)

Oleh Banda Balun (Yohanes M. V. Banda Balun)


(Sumber Foto: Facebook Balun Miten Yoseph, 19 Agustus 2018) 

“Kecil-kecil cabe rawit". Inilah pribahasa yang menurut saya cocok untuk menggambarkan buku yang sangat berkesan bagi saya. Buku ini mengajarkan kepada saya bahwa apapun posisinya, apapun jabatannya dan siapapun dia bila melakukan kesalahan entah sadar atau tidak, saya harus berani mengoreksinya. Bahkan lebih jauh dari itu saya harus berani menentangnya. Buku ini pun mengajarkan kepada saya bahwa seseorang yang pernah melakukan kesalahan, pada suatu titik tertentu dia pasti akan pada posisi benar dan dia juga mempunyai kesempatan untuk dibela. Tidak selamanya ia harus terus disalahkan bahkan dikucilkan karena kesalahan yang pernah ia buat.

Buku ini menceritakan perjuangan seorang mahasiswa minoritas turunan Cina yang sedang berjuang di tengah mahasiswa mayoritas elite lainnya dan para guru serta rohaniwan yang merasa diri paling benar, sehingga men-tuhan-kan diri mereka. “Soe Hok Gie, Dan Surat-Surat Yang Tersembunyi”, sebuah buku kecil yang sangat praktis dan mudah dibawa kemana-mana. Buku ini merupakan hadiah dari paman saya yang baru selesai menuntut ilmu di Jogja dan akan kembali ke Waibalun.

*** 
(Sumber Foto: Facebook Balun Miten Yoseph, 19 Juni 2017)

Singkat cerita, semua isi buku telah kulahap habis dalam waktu yang  relatif singkat sih. Soal ketebalan buku, gak tebal juga sih halamannya. Setelah selesai membaca saya merasa bahwa karakter saya agak mirip dengan Soe Hok Gie, yakni sedikit keras kepala, yang dalam bahasa lamaholot dialek Waibalun “kotok wato atau kotok ta’a”, kritis, dan juga gemar berdiskusi yang bermuara ke perdebatan. Dia juga seorang penulis tapi saya tidak terlalu mirip dengan minatnya ini. Dia juga seorang pendaki gunung. Bahkan sampai ajalnya pun akibat menghirup asap kawah beracun Gunung Semeru. Kalau hobinya yang ini agak mirip dengan saya yakni, berpetualang di hutan, “Reba ma’“ dalam bahasa Lamaholot dialek Waibalun.

Tapi, kemampuannya yang juga mirip dan yang saya sukai ialah pemikiran kritisnya yang tajam. Ia pernah berdebat dengan guru sejarahnya karena berbeda pendapat dengan sang guru. Ia mengetahui bahwa referensi yang digunakan oleh guru sejarahnya itu sudah dimentahkan oleh pendapat baru yang telah diakui. Ia kemudian memakai referensi terbaru tersebut untuk berdebat dengan guru. Hingga ia mengatakan pikiran dan ilmu sang guru mati. Ia mengatakan bahwa guru setelah selesai wisuda tidak pernah mencari tahu hal baru yang ia geluti.

Ia juga mengkritik para petinggi universitasnya yang mengkotak-kotakan para mahasiswa waktu itu, lewat tulisanya yang dimuat di majalah universitanya. Ia juga mengkritik para rohaniwan yang merasa diri mereka selalu benar dan apa yang mereka katakan itu selalu benar, tapi berbanding terbalik dalam realitas sosial kehidupan mereka. Ia juga mengkritik Presiden Soekrano, yang selalu bersenang-senang dengan para wanita, namun beberapa kilometer dari istana sang Presiden, rakyat menderita dan  terlantar. Ia juga mengkritik PKI pada masa Orde Lama. Tapi ketika PKI dibasmi oleh Pemerintah Orde Baru, ia malah mengkritik Pemerintah Orde Baru, dengan pertimbangan mengenai HAM dan membela para anggota PKI yang ditahan.

Sepenggal kalimat yang terlontar dari bibir Hok Gie yang sangat menggugah saya dan tak akan ter-delete dari room memori saya ialah, “Mendiamkan Kesalahan adalah Kejahatan”. Sehingga dalam pergaulan dengan teman-teman, saya selalu mengoreksi kesalahan-kesalahan yang terlontar dari bibir mereka, terkuhususnya soal berbahasa daerah Lamaholot-Waibalun. Juga mengoreksi kesalapahaman pengetahuan mengenai Lewo Waibalun. Saya sangat gemar terhadap sejarah dan budaya tentang Waibalun, sehingga saya suka bertanya kepada tua-tua kampung yang dekat dengan saya. Orang tua yang menjadi narasumber itu sungguh berkompeten, sehingga saya sangat senang karena banyak hal yang sudah saya save di memori card mengenai Lewo Waibalun. Tapi tidak menutup kemungkinan, saya salah dalam berbahasa Lamaholot-Waibalun dengan baik dan benar. Buku ini juga memotivasi saya untuk sering berdiskusi dengan guru di sekolah, yang kadang berujung perdebatan.

***

(Sumber Foto: Facebook Balun Miten Yoseph, 19 Agustus 2018)
 
Kritikan itu sangat penting dalam kehidupan. Sesuatu hal akan lebih berkembang jika  ada kritikan. Apalagi dengan lingkungan yang sedikit tidak menunjang, dengan budaya lokal yang masih sangat primitif. Kita dituntut untuk mengubah mindset kita, mengubah pola pikir, mengubah budaya yang hanya mengkonsumsi sesuatu hal baru. Kita dituntut untuk bisa mengkritisir dan memilah, menyaring berbagai hal baru yang masuk dari luar itu.

Ya, bagaimana cara kita menyikapinya? Kita dituntut untuk tidak terpaku pada apa yang yang sudah kita miliki, tapi kita harus terus mencari, meng-update semua hal. Sehingga kita tidak kalah bersaing dengan orang lain. Kita harus selangkah lebih maju. Kita juga harus meyakinkan orang lain bahwa kritikan kita mempunyai landasan real yang kuat, mempunyai referensi yang valid dan referensi itu tentunya harus sudah diakui publik.

Buku ini mengajarkan kepada Saya untuk bisa saling melengkapi, bukan berlomba untuk saling menjatuhkan. Harapan dari buku ini adalah mampu untuk saling melengkapi, saling belajar dari setiap kekurangan dan kesalahan. Karena “Mendiamkan Kesalahan adalah Kejahatan”.

SEKIAN
Waibalun, 01 April 2018 
“Pengalaman Saya Bersama Buku”
Kelas XI/MIA 1 – SMAK Frateran Podor Larantuka
(Lomba Menulis Komunitas Taman Baca Hutan 46 Waibalun – 05 Mei 2018)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WAIBALUN - JATI DIRI

TERUNTUK PATER BERNAD MULLER, SVD

KRITIK BUDI (Refleksi Singkat untuk HUT Pater Budi Kleden SVD)