LEWO - TANAH

L E W O - T A N A H 
(Epilog buku "PERISTIWA WAIBALUN - Catatan Harian Anak Muda Waibalun)

oleh Stephie Kleden-Beetz 



Waibalun adalah kampung halaman -LEWO TANAH- kami yang terletak antara pantai dan gunung. Ile Mandiri, gunung itu, menjulang megah bagaikan perisai yang melindungi kami penghuninya.

Suatu ketika tanpa disangka kalangan muda bangkit, tersentak memandang kampung halamannya sendiri dan bersepakat untuk menulis tentang tanah tumpah darahnya ini. Gejala apa ini? Ini gejala yang amat menarik dan patut diapresiasi. Pertanyaannya ialah apa yang menggerakkan mereka sehingga tiba-tiba mereka memandang kampung halamannya dengan mata jeli? Sebab selama ini biasanya orang luarlah (baca: orang asing) yang menulis tentang kita. Seperti buku ATA KIWAN yang ditulis oleh Ernst Vatter, seorang anthropolog yang menulis panjang lebar tentang Flores, khususnya Lewoloba. Juga seorang Etnograf yang banyak menulis tentang adat-istiadat dan budaya Flores, itulah Paul Arndt, misionaris SVD.

Kini kalangan muda Waibalun bangun seraya mengasah ujung penanya entah dengan tergesa-gesa atau dengan kepala dingin dan menurunkan tulisannya yang beragam, entah itu tentang ,Na’a, Bine, Senai dan kewatek, Muro Wana, Tutu Koda, dan entah apa lagi. Tulisan-tulisan pendek ini merupakan refleksi pemuda desa kita tentang kehidupan sehari-hari dan ternyata hampir semua mereka tertarik dengan norma-norma sosial dan budaya di kampung kita.  Membaca kisah-kisah singkat yang menarik dan lugu itu, saya berbangga dan berpikir tentulah ini hanya sebuah awal yang akan berlanjut lebih jauh dan pasti akan semakin bervariasi dengan isi yang berbulir padat dan bernas. Ini benih “ajaib” yang akan menghasilkan panen melimpah asal saja ada lengan kuat yang menyokong mereka. Kegiatan kreatif ini sungguh membesarkan hati. Coba lihat selama ini siapa yang peduli dengan “Kenata, Eret Mata” dan semacam itu?


Lewo kame” (kampung kami) bukan hanya dijaga oleh Ile Mandiri yang perkasa tetapi juga oleh laut yang terbentang di depan kami, dan di pesisirnya berderet perahu-perahu buatan anak negeri sendiri. Hidup kami diberi, baik oleh Ile Mandiri di mana petani-petani kami bercucur keringat untuk menghasilkan jagung, padi, ubi, semangka, moton (kelor), dan sayur-mayur dan, nafkah yang dihasilkan dengan cucur keringat ini selain untuk hidup sehari-hari, dan bila ibu rumah tangga yang cerdik pasti menyisihkan sesen dua untuk sekolah anak-anak.

Namun karena kita ini negeri bahari, laut pun menjadi sumber makanan kita. Nelayan yang gesit dan piawai membawa pulang ikan, udang, cumi-cumi dan kerang aneka rupa. 

Pertanyaannya sekarang ialah apakah kalangan muda zaman milenial ini masih mau menjadi petani atau nelayan? Ataukah dengan pena, mereka mau memperkenalkan LEWO TANAH -Kampung Halaman- kami ke seluruh negeri? Entahlah.

Siapa tidak bangga, bahwa kegiatan kalangan muda yang biasanya berkumpul untuk konsumsi seperti minum-minum arak dan menikmati daging anjing, kini diganti dengan berdiskusi untuk menulis. Harapan saya mereka didorong untuk menulis tentang pembangunan desa, yang sudah baik perlu diteruskan dan apa yang masih kurang, agar perlu diperbaiki. Tentu ini harus ditulis dengan menarik dan simpatik serta merupakan saran, sehingga menggugah hati.

Misalnya penangkapan ikan dengan kapal, sebaiknya mengundang seseorang yang memahami “micro finance” untuk memberi bimbingan tentang bagaimana mengelola keuangan secara produktif, sehingga uang menjadi sarana kemajuan bukan sebab bagi konsumerisme yang boros dan tidak sehat.

Dan…. Mengapa kelompok ini tidak mengembangkan kreativitas mereka dengan sesekali menulis pengalaman dan mengirim ke Majalah WARTA FLOBAMORA? Saya yakin kalau ada anggota yang melihat tulisannya terbit di sebuah majalah seperti Warta Flobamora semangat menulis akan meningkat berkali-kali.


Oh… Alangkah indahnya bila suatu waktu PERISTIWA WAIBALUN dikelilingi oleh pepohonan hijau yang bernama Komunitas Taman Baca Hutan 46, dan di bawah keteduhannya kita berdiskusi dengan santai sambil menghirup aroma optimismus.

Pohon adalah ibarat Karakter, keteduhan dedaunannya itulah Nama Baik.


*Malang, akhir Februari 2018                    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WAIBALUN - JATI DIRI

TERUNTUK PATER BERNAD MULLER, SVD

KRITIK BUDI (Refleksi Singkat untuk HUT Pater Budi Kleden SVD)