KISAH PAGI KOTAKU

KISAH PAGI KOTA-KU

Oleh Karolus Banda Larantukan*


Dini hari yang indah. Di minggu dini hari itu aku berjalan-jalan melintasi kotaku. Bersama sepeda motor tuaku aku berusaha menikmati setiap peristiwa pagi itu. Kisah pagi kotaku yang terlewatkan oleh para wartawan. Melihat manusia-manusia kotaku mengaduh nasib mengais rejeki di pagi itu. Kerasnya kotaku pun membuat sebagian manusiaku terhempas dari dirinya sendiri. Aku terus berjalan menghitung waktu tertuju sendirian ditemani lagu-lagu musisi ternama Indonesia, Iwan Fals.

***

Ketika melintasi pasar inpers kotaku aku tersentak kaget. Mengantuk perempuan setengah baya di bak terbuka mobil sayuran. Jam tiga pagi itu. Tangannya terangkat saat sorot lampu sepeda motorku menyilaukan matanya. Tak ada seorang pun bersamanya. Ia sendirian. Bersama sayuran yang mungkin di jualnya pagi itu. Menunggu pembeli datang menawarkan sayuran yang dibawanya dari desa. 

“Paman mau beli sayuranku? Ini baru tiba dari kampung. Masih segar kok. Ini hasil dari kebunku”, perempuan setengah baya itu menawarkan sayurannya kepada seorang lelaki tua  yang dengan mobil mewahnya melintas di depan mobil sayurannya. Lelaki tua itu tak menghiraukan tawaran perempuan itu bahkan tak menoleh sedikitpun. “Dasar orang-orang kota. Tidak ada sopan-santun sama sekali. Dia pikir aku ini batu apa? Menoleh pun tidak bahkan tak menghiraukan tawaranku? Aku ini manusia bukan batu”. Aku mendengar perempuan setengah baya itu menggerutu selepas lelaki tua itu berjalan tanpa menghiraukannya. Aku hanya tersenyum dari balik sepeda motor tuaku, kemudian terus berjalan berlalu dari perempuan setengah baya itu.

Separuh jalan menuju rumah saat lampu menyala merah. Jam empat pagi itu. Di depan terminal  bis kota yang masih sempit dan sunyi. Aku melihat seorang pelacur tertidur  mungkin letih atau mabuk. Rambutnya lepas terurai. Tak seorang pun yang memperhatikannya. Ia tidur dengan pulasnya. Aku memberhentikan sepeda motorku sejenak. Memperhatikannya mungkin aku mengenalnya. Tidak, aku tak mengenalnya. Ia bukan dari kotaku. Tapi aku terharu karena ia adalah manusia. Tak lama berselang ketika aku hendak berlalu darinya, aku melihat seorang pemuda setengah baya mengahampirinya. Pemuda itu mengambil sesuatu dari saku baju pelacur itu. Uang...ya pencuri itu mengambil uang pelacur itu. Uang dari hasilnya menjual harga diri untuk hidup sejenak.

Pelacur itu terbangun dari tidurnya, namun pemuda itu lebih cepat berlalu. Ia menangis, meneteskan air mata di pagi itu. Seduh sedan terdengar sayup di pagi itu. Ia merapikan rambut dan bajunya. Ia berdiri sempoyongan mungkin masih mabuk tidur. Namun, matanya terus meneteskan air mata. Ia mengusap air matanya yang menetes ke pipihnya dan berucap, “Anakku maafkan ibumu ini karena tak mampu membelikanmu kado untuk hari ulang tahunmu hari ini”. Dan seketika itu pun ia berlalu tanpa kuketahui ke mana ia pergi.

Aku tertegun mendengarnya. Ternyata ia (pelacur) menjual dirinya hanya untuk anaknya tersayang, hanya untuk membelikan kado di hari ulang tahun anaknya. Begitu besarnya cinta seorang ibu buat anaknya bahkan harga dirinya pun dipertaruhkan untuk anak tersayang.

Aku tak kuasa manahan air mata di pagi itu. Hatiku pun rapuh melihat manusia kotaku yang terhempas oleh kemajuan kotaku. Di tengah hingar bingar gedung-gedung tinggi dan mewah, sebuah kado ulang tahun pun harus di dapat dengan menjual diri. Di tengah proyek serta program kerja pemerintah yang melambung tinggi, manusia-manusia kotaku masih saling menghancurkan bahkan saling mencuri. “Kapankah semuanya ini berakhir? Adakah para penguasa mengingat nasib mereka? ”, aku bertanya dalam hatiku. Selepas itu aku pun berlalu dari terminal bis kota itu yang mulai ramai.   



***

Sedang di perempatan jalan, di bawah temaram sinar merkuri, bocah-bocah telanjang dada bermain bola. Tak bersepatu. Kuberhentikan sepeda motorku sejenak dan memarkirnya di tempat yang tak jauh dari perempatan itu. Aku beranjak dari sepeda motorku. Kuhampiri kudekati lalu duduk di tempat yang lebih tinggi, agar lebih jelas lihat dan rasakan keringat mereka, semangat mereka dalam memenangkan permainan. Mereka bermain dengan asyiknya. Keringat mengguyuri seluruh tubuh bocah-bocah itu. Otot-otot tubuhnya terlihat.

Mereka adalah bocah-bocah yang tak mampu menyewa lapangan untuk bermain. Tak ada yang memperhatikan mereka. Bermain di bawah temaram sinar merkuri jalanan. Disaksikan gedung-gedung tinggi dan mewah serta baliho-baliho calon pemimpin kotaku yang dipajang di setiap pohon jalanan di sekitar perempatan itu.

“Gooooolll”, seketika terdengar teriak histeris dari seorang pejalan yang ikut menyaksikan permainan bocah-bocah telanjang dada itu. Bocah-bocah itu pun berselebrasi selepas mencetak gol ke gawang lawan seperti pemain-pemain dunia di pertandingan besar. Aku kagum melihat semuanya itu. Sebuah permainan yang penuh dengan keberanian dan perjuangan. Bocah-bocah kota yang bermain dengan semangat keberanian dan keringat perjuangan. Oh, pagi yang gelap kau sudutkan aku.

***

Kupacu sepeda motorku, jarum jam tak menentu hingga aku tiba di rumah. Melangkah beranjak dari sepeda motorku dan menuju kamar bujangku dengan lampu kamar yang remang. Jam lima pagi itu. Menghempaskan tubuh di atas ranjang bersama kisah pagi kotaku. Seketika pun aku terlelap.

Sejam kemudian aku terbangun. Ayam jantan telah kabarkan pagi. Jendela kubuka. Angin pagi dan nyanyian sekelompok anak muda mengusik ingatanku. Aku ingat kisah pagi kotaku. Perempuan setengah baya. Pelacur yang tertidur. Bocah-bocah bermain bola. Anak muda yang bernyanyi. Hari-harimu menagi janji. Aku di sini... ya... aku di sini bersama kisah pagi kotaku. Aku ingat harapan yang semakin hari semakin panjang tak berujung.

*Jogja 2016 
Pencinta Sastra
(Pengelolah Taman Baca Hutan 46 Waibalun)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WAIBALUN - JATI DIRI

TERUNTUK PATER BERNAD MULLER, SVD

KRITIK BUDI (Refleksi Singkat untuk HUT Pater Budi Kleden SVD)