TUAN MULLER DAN 'MURO WANA'

TUAN MULLER DAN 'MURO WANA'

(Ket. Foto: P. Bernard Muller, SVD)

Oleh Frano Kleden*

---------------------------------
"Saya baca tulisan 'Muro Wana' oleh Frano Kleden dalam buku 'Peristiwa Waibalun' ini. Buku yang Anda kasih ke saya. Saya pikir sistim perkawinan tiga tungku ini akan bergeser dan bisa hilang suatu saat nanti.

Sekarang kita bisa lihat di Waibalun banyak perkawinan yang tidak beres. Juga mungkin karena banyaknya perkawinan dengan orang luar Waibalun, sehingga sistim ini bisa saja hilang di kemudian hari.

Saya ikut misa nebo di rumahnya Pater Budi Kleden, itu saya masih dengar opu dan blake dan sebagainya. Dan itu sangat baik. Tapi itulah kerisauan saya tentang perkawinan di Waibalun." 

(P. Bernard Muller, SVD, Larantuka, 16 Maret 2020)
---
PERISTIWA WAIBALUN

Prolog: P. Paulus Budi Kleden, SVD
Epilog: Stephie Kleden - Beetz
Penerbit: Taman Baca Hutan 46 Waibalun
Cet I: 2018
--------------------------------


Bahwa "muro wana" sebagai sesuatu yang gagah dalam budaya perkawinan masyarakat Waibalun suatu waktu akan hilang. Saya dibuat terhenyak ketika membaca kesan pribadi tuan Muller tersebut. Menarik dan menggelitik. Tuan Muller, bukan orang Waibalun, begitu memperhatikan apa yang terjadi pada Waibalun dan orang-orangnya. Mengenai ini, benarlah bahwa hanya pencinta sejatilah yang berani dengan seluruh dirinya mencintai sebuah 'tanah asing'. Bahwa hanya para pejuang hebatlah yang tanpa ragu-ragu mau berjuang dan berkorban untuk 'orang-orang asing' di sebuah 'tanah asing'. Tanyanya, siapakah aku ini sampai aku harus berbuat demikian?

Meragukan lestarinya "muro wana" adalah sesuatu yang sangat wajar. Pertama, tentang hakikat keraguan. Pada dasarnya, segala sesuatu di dunia, yang fisik dan kelihatan -- apapun itu -- pantas utk diragukan karena justru dari sanalah kita bisa menemukan kebenaran. Maka keraguan tuan Muller benar dan baik adanya, berangkat dr pengalaman faktual yang ditemukannya dalam masyarakat, lalu dikaji dan direfleksikannya secara mendalam. Kemudian dari sana, muncul sebuah hipotesis: Benar, ada yang berubah dari Waibalun dan "muro wana" nya!

Saya meragukan keraguan tuan Muller bahwa "muro wana" akan hilang. Keraguan saya terjabar sebagai berikut: 1) Secara metodis: keraguan saya ada (sebagai akibat), maka fenomena "muro wana" yang katanya akan hilang itu harus ada terlebih dahulu (sebagai sebab). Karena seperti Descartes bilang, tidak mungkin saya meragukan sesuatu yang tidak ada. 2) Secara empiris: fenomena "muro wana" yang akan hilang itu ada (sebagai sebab), maka keraguan saya bahwa ia akan hilang itu juga ada (sebagai akibat).

Saya meragukan akan hilangnya budaya "muro wana", sebab sebagai budaya yg sudah tertanam sejak bertahun-tahun lamanya, "muro wana" tdk semudah itu hilang. Yang hilang, "mungkin" adalah semangat internalisasi dan penghayatan masyarakat akan "muro wana" itu sendiri (selain karena banyak faktor luar yang tak bisa ditolak begitu saja). Namun hilangnya penghayatan masyarakat akan "muro wana" tidak serta-merta menghilangkan budaya "muro wana" itu sendiri.

Kendati pun orang bisa saja tidak menerapkan perkawinan "muro wana", saya masih yakin dan optimis kalau ada orang yang tetap setia menjaga warisan berharga ini. Segala sesuatu di muka bumi memang akan berubah, tapi -- menolak Panta Rhei nya Herakleitos -- ada juga sesuatu yang tinggal tetap. "Muro wana" akan benar-benar hilang kalau misalnya seluruh generasi masyarakat Waibalun sekarang (tua-muda) serentak 'meninggal' lalu mulai tumbuh generasi baru Waibalun dari nol. "Muro wana" akan hilang jikalau usaha membangun Waibalun dari kekosongan tersebut dilakukan tanpa memasukkan "muro wana" dalam tubuh Waibalun yang baru.

Kedua, keraguan tuan Muller kalau dibaca secara saksama menyiratkan sebuah kekhawatiran yang tidak biasa. Mengapa harus khawatir? Yah untuk hal-hal dan kebiasaan-kebiasaan baik dari hidup yang perlahan menghilang, rasa was-was dan khawatir perlu bahkan harus ada. Di sini keraguan menjadi penting dan mendesak untuk digugat, karena ia tidak lagi berjalan sendiri, ada kekhawatiran yang mengalir di dalamnya, berjalan bersamanya.

Oleh sebab itu, keraguan dan kekhawatiran tuan Muller semata-mata tidak diperuntukkan bagi dirinya sendiri, tetapi untuk sebuah 'tanah asing' bernama Waibalun; tanah tempat ia jatuh cinta pada orang-orangnya yang tentu juga mencintainya. Ia dengan demikian menitipkan tanda kata berharga untuk 'tanah asing' ini agar selanjutnya orang-orang di tanah asing tersebut bisa membaca dan mengingatnya kembali.

Lalu saya - menyambung mimpi tersirat tuan Muller - berani berharap, kiranya nilai-nilai budaya "muro wana" dan nilai-nilai budaya Waibalun lainnya selalu menjadi kegelisahan bersama dari generasi ke generasi. Artinya, penanaman nilai-nilai budaya di Waibalun menjadi semakin mendesak dan tidak bisa diabaikan begitu saja. Jodoh, pasangan dan perkawinan memang merupakan sesuatu yang bersifat privat, tidak bisa dicampuri oleh orang bersama; tapi toh kemudian saya membacanya lebih jauh. Sebetulnya ada semacam keyakinan kuat dari tuan Muller sendiri untuk mengokohkan kembali marwah warisan budaya ini.

Dalam hati, Tuan Muller bisa saja berujar, "Semua perkawinan tentu saja baik, tapi perkawinan "muro wana" bisa jadi lebih baik. Maka, lestarikanlah!"


*Ruang Kamar, 18 Maret 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WAIBALUN - JATI DIRI

TERUNTUK PATER BERNAD MULLER, SVD

KRITIK BUDI (Refleksi Singkat untuk HUT Pater Budi Kleden SVD)