HIDUP SETELAH CORONA

Hidup Setelah Corona


Oleh P. Eric Ebot, SVD

Saya membaca status seorang netizen hari ini di facebook, isi statusnya kurang lebih tentang kapan ini virus Corona berakhir: "Sudah lebih dari seminggu hanya tinggal di rumah dan waktu ini terasa lama sekali. Bosan dan jenuh. Mau kembali ke kehidupan normal."

Saya cukup tertegun membaca status ini.  Bukannya mau menghakimi, tapi pertanyaan yang muncul adalah kehidupan normal apa yang mau dijalankan? Apakah kehidupan yang biasa-biasa saja, apakah kehidupan normal itu adalah mengulangi kebiasaan-kebiasaan yang buruk yang sudah dan akan dilakukan: manusia membunuh sesama manusia, manusia merusakkan bumi dengan serampangan.  Atau para politis membuat kebijakan yang menyingkirkan rakyat dan lingkungan hidup dengan pembangunan-pembangunan yang berpihak kepada melulu kepentingan investor. Atau kembali ke kehidupan normal itu adalah mengusahakan hal-hal yang baik, hal-hal yang cukup penting untuk membuat hidup ini punya fungsi untuk diri sendiri pun  orang lain. 

Saya berharap, dunia setelah virus corona adalah dunia yang jauh lebih baik dari sebelum-sebelumnya, dunia yang manusianya belajar untuk tidak hanya mau kembali hidup normal, tapi dunia yang manusianya lebih peduli, lebih empatik dan terutama lebih menjaga bumi ini. Usia manusia bukan hanya deretan umur, tapi juga deretan ruang-ruang potensi yang harus dikembangkan lewat  kualitas-kualitas dan keutamaan yang berguna dan berkontribusi membawa bumi ini menjadi lebih sehat ke depan.

Bagi saya normalitas itu problematis, karena dari sana menguat kecendrungan untuk menjadi seorang manusia yang kerdil, manusia yang hanya tinggal dalam zona kemapanan, kenyamanan serta sekadar mengejar kepentingan-kepentingan diri dalam hidup. Padahal manusia itu adalah mahkluk yang dinamis sekaligus sosial. Ia tidak hanya mengalami pengalaman di luar dirinya, dengan akal budinya, bahkan lebih dari itu, ia merespon pengalaman itu dan memprosesnya sebagai pembelajaran bagi kehidupan sehingga dapat memperkaya dan membuatnya semakin human dan menghargai satu sama lain dalam semangat kemanusiaan.

Karena itu, kita seharusnya tidak berhenti untuk hanya menjadi normal, untuk hanya menjadi seorang 'saya' yang apa adanya, tapi lebih dari itu. Oleh pengalaman menghadapi virus corona, kita tidak dibentuk menjadi manusia takut tapi mampu mengolah ketakutan menjadi satu langkah antisipatif. Mengubah ketakutan menjadi satu peluang untuk lebih memperhatikan hal-hal kecil dalam hidup.

Virus corona ini kecil tapi ketika ada manusia terkapar olehnya, maka dampaknya akan besar dan meluas. Dari fenomena ini kita belajar bahwa kita bukan penguasa segala sesuatu dalam dunia ini. Kita bukanlah mahkluk superior dan mahkluk lain dalam bumi adalah inferior yang pantas dan layak kita kuasai. Konsep dalam agama yang mengatakan manusia boleh menguasai alam dan menggunakan semuanya untuk kepentingan manusia sendiri harus mulai dilepaskan. Karena ketika kita terus tertidur dalam doktrin ini, kita akan menerima balasan yang lebih parah dari sekadar perlawanan balik dari alam yang bisa saja lebih parah dampaknya dari virus corona.

Di hadapan corona, virus yang kecil itu, kita bukanlah siapa-siapa. Kita adalah manusia-manusia lemah yang sombong dan ceroboh, manusia lemah yang tak berdaya dan tak punya kekuatan dan kuasa apa-apa di atas bumi ini. Kita sudah melihat bagaimana virus kecil ini banyak membuat manusia panik, cemas, depresi. Presiden, politisi, profesor, dokter,  jatuh tersungkur dan tak berdaya di hadapan teror virus ini. Tak ada yang menduga bagaimana virus kecil ini bahkan menjebol sekaligus membuka kebobrokan sistem pertahanan kesehatan sebuah negara. Kalau tidak percaya, tanya negara macam China, Amerika, Korea Selatan, Italia juga jangan lupa Indonesia. 

Pada titik ini, kita manusia walaupun punya segalanya, punya teknologi yang canggih, harus berani mengakui kita ini bukanlah apa-apa. Karena itu, tidak ada hal yang seharusnya membuat kita bangga. Sebaliknya kita mesti melihat kembali dan merenungkan bahwa hidup kita sudah sekian sering melancarkan ancaman yang serius terhadap alam kita. Kita tidak pernah menyadari, bahwa semakin canggih kita mengembangkan teknologi untuk kemudian mengeksploitasi alam dan lingkungan kita, semakin sering kita melukai spesies-spesies, maka mahkluk hidup dalam alam serentak semakin hebat pula mereka ini beradaptasi dengan lingkungan dan membentuk mereka lebih kuat dari sebelumnya. Semakin besar kita menghancurkan lingkungan hidup mereka, semakin besarlah luka-luka yang mereka tanggung yang cukup memberikan mereka kekuatan untuk menyerang dan menyakiti kita sesuai dengan apa yang kita lakukan terhadap mereka. 

Saya baru selesai menonton video youtube tentang pandangan Noam Chomsky berkaitan dengan virus corona. Dalam video itu, Noam Chomsky mengatakan bahwa ada banyak hal yang kita bisa refleksikan dari fenomena virus corona ini. Kita dipaksa untuk melihat kembali cara hidup kita di dunia dan bagaimana kita memperlakukan dunia ini.

Virus corona memang menakutkan, tapi ada yang lebih menakutkan dari ancaman dan dampak dari virus ini. Ada tiga hal yang saya catat dari pembicaraan beliau, yaitu: soal Nuklir yang menggunakan senjata kimia, Global warming, dan hancurnya demokrasi.

Bagi Chomsky, tiga hal ini sama-sama memproduksi ketakutan dan dampak yang luar biasa menakutkan dari apa yang dimunculkan Corona saat ini. Dan bagi Chomsky, virus corona adalah warning, awasan atau pengingat, bahwa kalau kita tidak melakukan antisipasi dan negara-negara tidak saling membangun solidaritas global serta  belajar dari dampak virus corona ini, maka kita akan menyaksikan bagaimana tiga bencana yang lebih parah dari Corona akan menghancurkan dunia, bumi kita ini.

Semoga kita kembali normal, kembali kuat dan kembali menjadi lebih peduli dengan dunia kehidupan kita, dengan bumi - ibu kita.


*Rumah Pastoran Waibalun, 29 Maret 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WAIBALUN - JATI DIRI

TERUNTUK PATER BERNAD MULLER, SVD

KRITIK BUDI (Refleksi Singkat untuk HUT Pater Budi Kleden SVD)