KEBANGKITAN HATI
Kebangkitan Hati
(Renungan Harian, Selasa 31 Maret 2020 - Bilangan 21:4-9)
Oleh P. Erik Ebot, SVD*
Bacaan pertama dari Kitab Bilangan mengisahkan rute perjalanan Bangsa Israel keluar dari Mesir. Perjalanan begitu panjang, melelahkan, penuh kecemasan dan ketakutan akan kondisi yang tidak pasti. Kondisi bangsa Israel yang demikian melahirkan kekecewaan. Kekecewaan ini pula membantu melahirkan pertentangan terhadap Musa. Melawan Musa berarti pula menentang kehendak Allah.
Saat ini kita juga menemukan diri kita berada dalam ketakutan dan kecemasan seperti bangsa Israel yang merasa Allah menjauh dari hidup mereka. Perasaan seperti ini lahir dari nostalgia kenyamanan semu hidup yang mereka dapatkan selama berada di Mesir. Di Mesir meski bangsa Israel di jajah, mereka masih bisa makan enak, sedangkan bersama Allah di tengah ketiadaan dalam perjalanan hidup mereka terancam binasa.
Seperti bangsa Israel, kita juga bernostalgia dengan kenyamana hidup kita sebelum virus corona ini muncul. Sadar atau tidak kita, menjadi pengikut kristus yang larut dalam kesenangan semu, riuh-riah kegembiraan dunia, yang membutakan kita untuk menemukan apa yang bermakna dalam hidup sebenarnya? Kita sebelum virus corona adalah pengikut kristus yang sering kehilangan arah dalam mencari kehendak Allah.
Satu hal yang orang Israel lupakan di tengah nostalgia semu mereka adalah, bahwa di Mesir, mereka makan dari meja perbudakan yang memberikan kepada mereka jaminan hidup yang terbatas, selebihnya hidup mereka tidak bebas dan dikontrol oleh orang lain, dikontrol oleh ketakutan yang orang Mesir timpahkan kepada mereka. Bangsa Israel terus membiarkan dirinya tenggelam dalam mental budak di hadapan Bangsa Mesir sebagai Tuan yang kejam, menindas dan tidak memberikan mereka ruang untuk menjadi tuan atas hidup mereka.
Kita juga, dalam hidup, banyak kali merasa hidup yang kita jalani sudah jauh dari cukup. Kita diperbudak gaya hidup modern yang menjanjikan kebahagian semu dan tanpa batas. Kita merasa itu sudah merupakan jaminan abadi bagi hidup kita. Akan tetapi kita gagal memahami bahwa semua itu adalah terbatas, dapat diambil kapanpun dari kita. Semua itu membuat kita nyaman. Padahal tidak ada sesuatu yang hebat datang dari kenyamanan semu yang kita pelihara. Pola hidup modern menjadi Tuan yang mengendalikan hidup kita dan kita sulit terbebas dari belenggu kehidupan modern yang memberikan kenikmatan tapi juga kecemasan secara bersamaan karena dalam proses itu kita perlahan sadar kita mulai kehilangan diri, keaslian penghayatan budaya, nilai-nilai agama pun kebiasaan sosial dalam masyarakat kita.
Kisah perjalanan bangsa Israel dalam bacaan ini, tidak melulu buruk. Pada satu titik dan dengan kehadiran Musa yang memberikan mereka pencerahan dan motivasi, mereka pun dituntun kepada pertobatan dan pembaharuan hidup.
Mereka sadar ketika berjalan bersama Allah, mereka memperoleh kebebasannya sebagai manusia merdeka. Memang berada bersama Allah tidak selalu memberikan jaminan bahwa kita bisa memperoleh segalanya, tapi ada dan bersama Allah dalam perjalanan membantu mereka untuk paham bahwa, hidup yang sejati bukan tentang mengikuti kehendak pribadi, tapi makna hidup yang sepenuhnya adalah membiarkan Allah memegang kendali atau kontrol atas hidup kita. Maka bersama Santo Agustinus kita mengakui dengan rendah hati,”gelisah hatiku ya Tuhan selama belum istirahat padaMu, bilakah aku akan jumpa dan memandang wajah-Mu”.
Di tengah ujian pandemi corona, dalam refleksi saya lahir dari pola hidup modern yang terlalu menguatkan ego dan superioritas manusia atas segala sesuatu dalam alam semesta ini, yang kita alami saat ini banyak kali cemas, takut panik. Apalagi dengan berita yang kita baca dan nonton selalu tentang virus corona turut menambah ketakutan kita akan virus ini. Dengan itu, ketakutan, kecemasan dan berbagai perasaan negatif kemudian mengontrol dan mengendalikan hidup kita. Kita menjadi semakin takut, terbebani dan secara psikologis mental kita jadi drop. Kita sulit tidur aman dan tenang.
Dalam ketakutan dan kepanikan ini, kita diajak untuk tetap tenang dan berefleksi kenapa semua ini terjadi dan menjadi begitu mencemaskan? Tapi soalnya adalah, kita agak sulit untuk berpikir dan bijaksana bagaimana menangani dampak dari virus ini bagi hidup dan masa depan kita ktika kita terlampau takut dan cemas dalam menghadapi situasi ini.
Sebagai umat beriman, tidak seharusnya ketakutan dari luar mengontrol hidup kita. Kita mesti belajar percaya dan menyerahkan ketakutan kita kepada yesus Yesus yang menjamin dan melindungi kita. Kalau kita percaya bahwa Yesus andalan kita, maka saya mengajak kita semua, untuk ambil kendali atas semua ketakutan kecemasan dan kepanikan kita. Dengan menjadi tuan atas ketakutan itu, kita mampu berpikir jernih dan mengambil langkah yang bijak untuk membanting stir kehidupan kita yang selama ini mungkin terlalu ambil jarak, terlampau mengikuti hasrat dan kepentingan ego pribadi dari pada mencari kehendak Tuhan, membenci sesama dari pada mencoba memahami situasi sesama, terhadap lingkungan, tumbuhan dan hewan di sekiar, kita terlalu merasa hebat sendiri sampai lupa merangkul mereka sebagai sesama ciptaan hidup yang saling membutuhkan.
Mari kita membangun optimisme dan tetap bijak di tengah ketakutan dan kpanikan akibat badai virus corona ini, dengan demikian bukan hanya sistem imun tubuh kita yang akan kuat menahan virus corona, tapi juga komitmen kita kepada Yesus sekaligus juga iman kita kepada-Nya turut menguatkan kita dan menghantar kita kepada kebangkitan hati serentak pembaharuan hidup. Semoga.
Amin!
(Renungan Harian, Selasa 31 Maret 2020 - Bilangan 21:4-9)
Oleh P. Erik Ebot, SVD*
Bacaan pertama dari Kitab Bilangan mengisahkan rute perjalanan Bangsa Israel keluar dari Mesir. Perjalanan begitu panjang, melelahkan, penuh kecemasan dan ketakutan akan kondisi yang tidak pasti. Kondisi bangsa Israel yang demikian melahirkan kekecewaan. Kekecewaan ini pula membantu melahirkan pertentangan terhadap Musa. Melawan Musa berarti pula menentang kehendak Allah.
Saat ini kita juga menemukan diri kita berada dalam ketakutan dan kecemasan seperti bangsa Israel yang merasa Allah menjauh dari hidup mereka. Perasaan seperti ini lahir dari nostalgia kenyamanan semu hidup yang mereka dapatkan selama berada di Mesir. Di Mesir meski bangsa Israel di jajah, mereka masih bisa makan enak, sedangkan bersama Allah di tengah ketiadaan dalam perjalanan hidup mereka terancam binasa.
Seperti bangsa Israel, kita juga bernostalgia dengan kenyamana hidup kita sebelum virus corona ini muncul. Sadar atau tidak kita, menjadi pengikut kristus yang larut dalam kesenangan semu, riuh-riah kegembiraan dunia, yang membutakan kita untuk menemukan apa yang bermakna dalam hidup sebenarnya? Kita sebelum virus corona adalah pengikut kristus yang sering kehilangan arah dalam mencari kehendak Allah.
Satu hal yang orang Israel lupakan di tengah nostalgia semu mereka adalah, bahwa di Mesir, mereka makan dari meja perbudakan yang memberikan kepada mereka jaminan hidup yang terbatas, selebihnya hidup mereka tidak bebas dan dikontrol oleh orang lain, dikontrol oleh ketakutan yang orang Mesir timpahkan kepada mereka. Bangsa Israel terus membiarkan dirinya tenggelam dalam mental budak di hadapan Bangsa Mesir sebagai Tuan yang kejam, menindas dan tidak memberikan mereka ruang untuk menjadi tuan atas hidup mereka.
Kita juga, dalam hidup, banyak kali merasa hidup yang kita jalani sudah jauh dari cukup. Kita diperbudak gaya hidup modern yang menjanjikan kebahagian semu dan tanpa batas. Kita merasa itu sudah merupakan jaminan abadi bagi hidup kita. Akan tetapi kita gagal memahami bahwa semua itu adalah terbatas, dapat diambil kapanpun dari kita. Semua itu membuat kita nyaman. Padahal tidak ada sesuatu yang hebat datang dari kenyamanan semu yang kita pelihara. Pola hidup modern menjadi Tuan yang mengendalikan hidup kita dan kita sulit terbebas dari belenggu kehidupan modern yang memberikan kenikmatan tapi juga kecemasan secara bersamaan karena dalam proses itu kita perlahan sadar kita mulai kehilangan diri, keaslian penghayatan budaya, nilai-nilai agama pun kebiasaan sosial dalam masyarakat kita.
Kisah perjalanan bangsa Israel dalam bacaan ini, tidak melulu buruk. Pada satu titik dan dengan kehadiran Musa yang memberikan mereka pencerahan dan motivasi, mereka pun dituntun kepada pertobatan dan pembaharuan hidup.
Mereka sadar ketika berjalan bersama Allah, mereka memperoleh kebebasannya sebagai manusia merdeka. Memang berada bersama Allah tidak selalu memberikan jaminan bahwa kita bisa memperoleh segalanya, tapi ada dan bersama Allah dalam perjalanan membantu mereka untuk paham bahwa, hidup yang sejati bukan tentang mengikuti kehendak pribadi, tapi makna hidup yang sepenuhnya adalah membiarkan Allah memegang kendali atau kontrol atas hidup kita. Maka bersama Santo Agustinus kita mengakui dengan rendah hati,”gelisah hatiku ya Tuhan selama belum istirahat padaMu, bilakah aku akan jumpa dan memandang wajah-Mu”.
Di tengah ujian pandemi corona, dalam refleksi saya lahir dari pola hidup modern yang terlalu menguatkan ego dan superioritas manusia atas segala sesuatu dalam alam semesta ini, yang kita alami saat ini banyak kali cemas, takut panik. Apalagi dengan berita yang kita baca dan nonton selalu tentang virus corona turut menambah ketakutan kita akan virus ini. Dengan itu, ketakutan, kecemasan dan berbagai perasaan negatif kemudian mengontrol dan mengendalikan hidup kita. Kita menjadi semakin takut, terbebani dan secara psikologis mental kita jadi drop. Kita sulit tidur aman dan tenang.
Dalam ketakutan dan kepanikan ini, kita diajak untuk tetap tenang dan berefleksi kenapa semua ini terjadi dan menjadi begitu mencemaskan? Tapi soalnya adalah, kita agak sulit untuk berpikir dan bijaksana bagaimana menangani dampak dari virus ini bagi hidup dan masa depan kita ktika kita terlampau takut dan cemas dalam menghadapi situasi ini.
Sebagai umat beriman, tidak seharusnya ketakutan dari luar mengontrol hidup kita. Kita mesti belajar percaya dan menyerahkan ketakutan kita kepada yesus Yesus yang menjamin dan melindungi kita. Kalau kita percaya bahwa Yesus andalan kita, maka saya mengajak kita semua, untuk ambil kendali atas semua ketakutan kecemasan dan kepanikan kita. Dengan menjadi tuan atas ketakutan itu, kita mampu berpikir jernih dan mengambil langkah yang bijak untuk membanting stir kehidupan kita yang selama ini mungkin terlalu ambil jarak, terlampau mengikuti hasrat dan kepentingan ego pribadi dari pada mencari kehendak Tuhan, membenci sesama dari pada mencoba memahami situasi sesama, terhadap lingkungan, tumbuhan dan hewan di sekiar, kita terlalu merasa hebat sendiri sampai lupa merangkul mereka sebagai sesama ciptaan hidup yang saling membutuhkan.
Mari kita membangun optimisme dan tetap bijak di tengah ketakutan dan kpanikan akibat badai virus corona ini, dengan demikian bukan hanya sistem imun tubuh kita yang akan kuat menahan virus corona, tapi juga komitmen kita kepada Yesus sekaligus juga iman kita kepada-Nya turut menguatkan kita dan menghantar kita kepada kebangkitan hati serentak pembaharuan hidup. Semoga.
Amin!
Rumah Pastoran Waibalun, 31 Maret 2020
Komentar
Posting Komentar