'LE PESTE' DAN CORONA
'LE PESTE' DAN CORONA
Oleh Juan Kromen*
Corona hari-hari ini jadi ketakutan terbesar warga dunia. Seperti tamu tak diundang, ia datang sekonyong-konyong mengetuk pintu rumah siapa saja yang mau ia singgahi, lalu tanpa tahu malu ia perlahan-lahan membunuh sang tuan rumah. Ia tentu saja tak pandang bulu, siapa tuan rumah yang bakal jadi korbannya keganasannya. Ya, ia adalah kebhatilan (the Evil, le Mal) yang bernama Corona (Covid-19).
Dalam karya (novel) termasyhurnya 'Le Peste' (Paris: Gallimard, 1947), kebhatilan dalam wujud sampar jadi ide cerita Sang Absurdist, Albert Camus. Konon, Camus dengan tekun melakukan riset melalui penelusuran naskah Kitab Suci, manuskrip, teks, dan buku-buku dari era Yunani Kuno hingga Abad Pertengahan juga laporan-laporan termutakhir zamannya mengenai wabah sampar untuk mengulik novel itu. Karena karya ini, Camus diganjar Nobel Sastra di tahun 1957. Versi terjemahan bah. Indonesia 'Le peste' digarap oleh sastrawati Nh. Dini yang terbit di tahun 1985 dengan judul 'Sampar' (Yayasan Obor Indonesia).
Menarik untuk membandingkan kisah 'Le peste' (Sampar) dan situasi sekarang ihwal beragam reaksi manusia dalam usahanya 'terlibat' sekaligus 'melibati' Corona. Dengan tingkat penyebarannya yang mencengangkan, Corona barangkali bisa menghadirkan pertanyaan eksistensial: bagaimana reaksi kita ketika berhadapan dengan pandemi dan kematian?
Berbagai karakter yang dihadirkan oleh Camus di dalam 'Le peste' (Sampar) bisa jadi cerminan reaksi manusia saat ini. Romo Paneloux seorang Pastor Jesuit yang betugas di kota Oran di mana wabah sampar merajalela dan merenggut nyawa, mewakili reaksi orang-orang yang menganggap bahwa wabah penyakit adalah hukuman Tuhan. Bagi tipikal orang seperti Romo Paneloux, wabah penyakit diyakini sebagai murka Tuhan atas dosa-dosa manusia. Berdoa dan memohon ampun-Nya adalah cara paling ampuh untuk memohon belas kasihan-Nya sehingga wabah itu segera berlalu. Lagipula penderitaan akan diganjar oleh kehidupan yang lebih baik di 'dunia sana'.
Di berbagai belahan dunia pun di Indonesia, tipikal orang-orang seperti Romo Paneloux tentu saja banyak. Orang-orang seperti ini kerap menghubungkan berbagai fenomena entah itu bencana, penderitaan, atau kematian dengan alasan dan pembenaran yang sifatnya metafisis-religius. Dalam banyak kasus, pembenaran yang 'abstrak' ini digaungkan sebagai satu-satunya upaya justifikasi agar apa yang ia yakini serta-merta mendapatkan jawaban yang 'menenangkan'. Dalam terminologi Teologis orang-orang seperti ini terjebak dalam 'fideisme': beriman secara membabi-buta, yang penting beriman, asal percaya, dan dogmatis. Bukankah iman juga mencari pengetahuan (fides quarens intellectum)? kata Anselmus dari Canterbury.
Beriman tanpa nalar (meskipun ratio itu terbatas) adalah pengingkaran eksistensial terhadap dimensi transendental manusia. Karena itu dihadapan wabah dan penyakit, usaha dan upaya rasional diperlukan. Apa gunanya otak jika tidak berpikir? Tentu saja nalar pun punya batas. Jadi, beriman tanpa menutup rapat-rapat ratio. Dalam kaitannya dengan Corona, berdoa diimbangi pula dengan upaya-upaya antisipatif guna meminimalisir penyebaran virus keparat itu.
Karakter lainnya di dalam 'Le peste' (Sampar) seperti Garcia, Gonzalez, dan Cottard pun banyak kita jumpai saat ini ketika Corona menyebar. Alih-alih meminimalisir penyebaran, ada saja oknum-oknum yang mengeruk untung dengan menimbun masker, hand-sanitizer, dan menyebarkan hoax. Di tengah kegamangan massal, ada saja oknum-oknum tanpa empati yang berusaha sedemikian rupa untuk memburu rupiah. Para politisi pun berlomba-lomba mengkapitalisasi Corona sebagai komoditas politik, tentu saja dengan tujuan politis.
Tipikal lain yang bisa kita temui saat ini adalah karakter-karakter seperti dokter Rieux (sang narator novel), Rambert, dan Tarrou. Meski datang dengan motivasi yang berbeda-beda toh pada akhirnya semua bahu-membahu untuk melawan sampar yang melanda kota Oran. Meskipun di dalam 'Le peste' (Sampar), Camus menyisipkan gagasan utamanya mengenai 'Absurditas' (sesuatu yang tanpa alasan dan tanpa tujuan, namun hadir begitu saja), namun moralitas keterlibatan sebagai usaha bersama untuk melawan wabah jadi poin krusial yang bisa kita timba.
Semangat kolektif-kolegial seperti inilah yang kita butuhkan saat ini. Memang di hadapan pandemi Corona, tak banyak yang mampu kita perbuat. Upaya-upaya seperti social distancing, dan memperhatikan kebersihan adalah hal-hal kecil yang dapat kita lakukan, minimal meminimalisir penyebaran Corona. Saling menyemangati dan mendukung satu sama lain dengan landasan kemanusiaan pun harus digaungkan.
Di samping itu desakan kepada Pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan konkret dalam rangka mengantisipasi lonjakan penyebaran Corona yang signifikan harus segera diumumkan. Imbauan dan sosialisasi tidaklah cukup. Kebijakan konkret Pemerintah adalah bukti bahwa Negara benar-benar bertanggung jawab dan konsern terhadap warga negaranya. Kita berharap bahwa kebijakan itu pun mampu menyasar seluruh warga negara khususnya masyarakat kecil yang secara ekonomis sulit mengakses fasilitas kesehatan di tengah-tengah pandemi ini.
Semoga pandemi Covid -19 ini segera berlalu.
Salam...
Oleh Juan Kromen*
Corona hari-hari ini jadi ketakutan terbesar warga dunia. Seperti tamu tak diundang, ia datang sekonyong-konyong mengetuk pintu rumah siapa saja yang mau ia singgahi, lalu tanpa tahu malu ia perlahan-lahan membunuh sang tuan rumah. Ia tentu saja tak pandang bulu, siapa tuan rumah yang bakal jadi korbannya keganasannya. Ya, ia adalah kebhatilan (the Evil, le Mal) yang bernama Corona (Covid-19).
Dalam karya (novel) termasyhurnya 'Le Peste' (Paris: Gallimard, 1947), kebhatilan dalam wujud sampar jadi ide cerita Sang Absurdist, Albert Camus. Konon, Camus dengan tekun melakukan riset melalui penelusuran naskah Kitab Suci, manuskrip, teks, dan buku-buku dari era Yunani Kuno hingga Abad Pertengahan juga laporan-laporan termutakhir zamannya mengenai wabah sampar untuk mengulik novel itu. Karena karya ini, Camus diganjar Nobel Sastra di tahun 1957. Versi terjemahan bah. Indonesia 'Le peste' digarap oleh sastrawati Nh. Dini yang terbit di tahun 1985 dengan judul 'Sampar' (Yayasan Obor Indonesia).
Menarik untuk membandingkan kisah 'Le peste' (Sampar) dan situasi sekarang ihwal beragam reaksi manusia dalam usahanya 'terlibat' sekaligus 'melibati' Corona. Dengan tingkat penyebarannya yang mencengangkan, Corona barangkali bisa menghadirkan pertanyaan eksistensial: bagaimana reaksi kita ketika berhadapan dengan pandemi dan kematian?
Berbagai karakter yang dihadirkan oleh Camus di dalam 'Le peste' (Sampar) bisa jadi cerminan reaksi manusia saat ini. Romo Paneloux seorang Pastor Jesuit yang betugas di kota Oran di mana wabah sampar merajalela dan merenggut nyawa, mewakili reaksi orang-orang yang menganggap bahwa wabah penyakit adalah hukuman Tuhan. Bagi tipikal orang seperti Romo Paneloux, wabah penyakit diyakini sebagai murka Tuhan atas dosa-dosa manusia. Berdoa dan memohon ampun-Nya adalah cara paling ampuh untuk memohon belas kasihan-Nya sehingga wabah itu segera berlalu. Lagipula penderitaan akan diganjar oleh kehidupan yang lebih baik di 'dunia sana'.
Di berbagai belahan dunia pun di Indonesia, tipikal orang-orang seperti Romo Paneloux tentu saja banyak. Orang-orang seperti ini kerap menghubungkan berbagai fenomena entah itu bencana, penderitaan, atau kematian dengan alasan dan pembenaran yang sifatnya metafisis-religius. Dalam banyak kasus, pembenaran yang 'abstrak' ini digaungkan sebagai satu-satunya upaya justifikasi agar apa yang ia yakini serta-merta mendapatkan jawaban yang 'menenangkan'. Dalam terminologi Teologis orang-orang seperti ini terjebak dalam 'fideisme': beriman secara membabi-buta, yang penting beriman, asal percaya, dan dogmatis. Bukankah iman juga mencari pengetahuan (fides quarens intellectum)? kata Anselmus dari Canterbury.
Beriman tanpa nalar (meskipun ratio itu terbatas) adalah pengingkaran eksistensial terhadap dimensi transendental manusia. Karena itu dihadapan wabah dan penyakit, usaha dan upaya rasional diperlukan. Apa gunanya otak jika tidak berpikir? Tentu saja nalar pun punya batas. Jadi, beriman tanpa menutup rapat-rapat ratio. Dalam kaitannya dengan Corona, berdoa diimbangi pula dengan upaya-upaya antisipatif guna meminimalisir penyebaran virus keparat itu.
Karakter lainnya di dalam 'Le peste' (Sampar) seperti Garcia, Gonzalez, dan Cottard pun banyak kita jumpai saat ini ketika Corona menyebar. Alih-alih meminimalisir penyebaran, ada saja oknum-oknum yang mengeruk untung dengan menimbun masker, hand-sanitizer, dan menyebarkan hoax. Di tengah kegamangan massal, ada saja oknum-oknum tanpa empati yang berusaha sedemikian rupa untuk memburu rupiah. Para politisi pun berlomba-lomba mengkapitalisasi Corona sebagai komoditas politik, tentu saja dengan tujuan politis.
Tipikal lain yang bisa kita temui saat ini adalah karakter-karakter seperti dokter Rieux (sang narator novel), Rambert, dan Tarrou. Meski datang dengan motivasi yang berbeda-beda toh pada akhirnya semua bahu-membahu untuk melawan sampar yang melanda kota Oran. Meskipun di dalam 'Le peste' (Sampar), Camus menyisipkan gagasan utamanya mengenai 'Absurditas' (sesuatu yang tanpa alasan dan tanpa tujuan, namun hadir begitu saja), namun moralitas keterlibatan sebagai usaha bersama untuk melawan wabah jadi poin krusial yang bisa kita timba.
Semangat kolektif-kolegial seperti inilah yang kita butuhkan saat ini. Memang di hadapan pandemi Corona, tak banyak yang mampu kita perbuat. Upaya-upaya seperti social distancing, dan memperhatikan kebersihan adalah hal-hal kecil yang dapat kita lakukan, minimal meminimalisir penyebaran Corona. Saling menyemangati dan mendukung satu sama lain dengan landasan kemanusiaan pun harus digaungkan.
Di samping itu desakan kepada Pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan konkret dalam rangka mengantisipasi lonjakan penyebaran Corona yang signifikan harus segera diumumkan. Imbauan dan sosialisasi tidaklah cukup. Kebijakan konkret Pemerintah adalah bukti bahwa Negara benar-benar bertanggung jawab dan konsern terhadap warga negaranya. Kita berharap bahwa kebijakan itu pun mampu menyasar seluruh warga negara khususnya masyarakat kecil yang secara ekonomis sulit mengakses fasilitas kesehatan di tengah-tengah pandemi ini.
Semoga pandemi Covid -19 ini segera berlalu.
Salam...
Ruang Privat, 20 Maret 2020
Komentar
Posting Komentar