PERISTIWA WAIBALUN’: MERANGKAI HIDUP YANG TAK BERKESUDAHAN
‘PERISTIWA WAIBALUN’: MERANGKAI HIDUP YANG TAK BERKESUDAHAN
Oleh Anselmus D. Atasoge
(Komunitas Studi Kreatif Lintas Iman_Larantuka Flotim)
Salam hormat dan salam kemerdekaan bagi kita semua. Terima kasih atas kepercayaan panitia untuk saya boleh hadir di momen bermartabat ini. Pada kesempatan ini saya hendak memberikan satu dua catatan tentang Buku Peristiwa Waibalun.
Pertama, proficiat atas penerbitan karya ini. Kerja penerbitan ini merupakan sebuah pencapaian yang menggembirakan bagi sebuah “komunitas” yang “baru lahir” (Taman Baca Hutan 46 Waibalun). Tentu ada banyak suka dan dukanya dalam “melahirkan” karya ini. Banyak perjumpaan dan diskusi-diskusi awal yang telah dibangun oleh Anak Tanah Waibalun, baik secara langsung maupun lewat media-media sosial hingga lahirnya karya ini yang kita perbincangkan malam ini. Saya kira pilihan untuk berdiskusi pada malam 17 Agustus ini pun menjadi pilihan cerdas yang juga membahasakan salah satu pesan dari buku ini yakni Kemerdekaan Anak-Anak Waibalun di Zaman Milenial. Kemerdekaan itu terajut dalam beberapa aspek antara lain:
a. Gaya bahasa yang lugas namun bersahaja yang dapat membuat para pembaca (termasuk yang tak berlatar budaya Lamaholot) untuk bebas masuk ke-kedalaman pilihan kata-katanya dan menyelami makna-maknanya.
b. Di dalamnya dan bersamanya [atau sekurang-kurangnya terajak oleh keadaan ini], para pembacanya pun diingini untuk boleh BEBAS berlayar bersama karya ini: bebas melihat dirinya apa adanya, bebas mengkritik keseharian hidupnya, bebas bergerak dalam tradisi-tradisinya tanpa paksaan dan tanpa kalkulasi sosial-ekonomis-politis dan kulturnya.
c. Dan, saya kira hal penting lainnya yang hendaknya tak terabaikan adalah karya ini hendak membebaskan tradisi-tradisi lisan masyarakat/Orang-Orang Waibalun dari kepungan budaya milenial yang kini merasuki (atau juga yang merusaki) tradisi-tradisi lokal pada umumnya.
Di titik inilah, kita patut berterima kasih kepada ‘kreativitas anak-anak muda Waibalun’ yang tengah berjuang menjadikan kisah hariannya menjadi bermakna tetapi juga serentak membuat tradisi budayanya tetap berkesinambungan-hidup melalui tulisan-tulisan dalam buku ini.
Kedua, ada sejumlah hal yang bisa dikatakan tentang buku ini:
a. Menampilkan kisah-kisah tentang peristiwa-peristiwa bersahaja yang darinya kita dapat menemui jati diri Orang-Orang Waibalun dalam tiga urutan waktu: dulu, kini dan yang juga akan terus berproses di masa-masa yang akan datang.
b. Kisah-kisah ini adalah kisah-kisah sarat nilai. Nilai-nilai itu ada yang terang-benderang dengan sendirinya. Ada pula yang interpretable yang butuh penafsiran. Penafsiran dibutuhkan tidak hanya untuk menampilkan makna-makna yang mengandung nilai-nilai (pesan-pesan) yang terselip di balik peristiwa-peristiwa itu. Penafsiran yang terus-menerus atas peristiwa-peristiwa ini membuat hidup Orang-Orang Waibalun terutama generasi-generasi muda berkesinambungan dalam tiga urutan waktu tadi.
c. Penafsiran sejatinya menjadikan ‘peristiwa-peristiwa Waibalun’ menjadi tidak stagnat. Peristiwa-peristiwa ini terjadi, berlalu dan selalu terulang dan ada di antaranya menjadi catatan-catatan sejarah, narasi-narasi yang tertinggal dalam jejak-jejak waktu. Namun, dia akan selalu menjadi baru dan hidup dalam seluruh relung hati dan lorong-lorong kehidupan Orang-Orang Waibalun, hic et nunt, kini dan di sini.
Pembaruan dan penghidupan makna dan nilai-nilai dari peristiwa-peristiwa ini terjadi melalui penafsiran-penafsiran itu. Penafsiran itu menjadi makin komplit ketika keseluruhan prosesnya terjadi dalam sebuah keterbukaan perspektif. Artinya, para penafsirnya tidak memiliki orientasi untuk mengunci maknanya sesuai dengan keinginan-keinginan yang sempit semata. Mengaitkannya dengan seluruh bidang kehidupan (interkonektif-integratif) menjadikannya memiliki makna yang integral (interperspektif).
Ketiga, ‘Peristiwa-Peristiwa Waibalun’, hemat saya sedang mempromosikan beberapa hal berikut ini:
a. Penghormatan dan penghargaan atas kemanusiaan serentak terhadap kehidupan (yang satu menghargai-menghormati yang lain. Dalam penghormatan dan penghargaan, martabat manusia dimuliakan, kehidupan dihargai).
b. Penghargaan atas alam lingkungan hidup sebagai Ibu Kehidupan.
c. Penghidupan Tradisi Tulis dengan tidak mengabaikan Tradisi Lisan yang adalah kekhasan Orang-Orang Lamaholot.
Saya tutup perbincangan saya dengan kata-kata Pater Paul Budi Kleden, dalam kata pengantar buku ini. Bahwasanya, narasi-narasi (cerita-cerita) dalam buku ini perlu disambung. Saya menambahkan: Sambungan yang paling utama adalah menghidupkan kisah-kisah ini dalam keseharian dengan selalu memberi makna-makna baru atasnya secara kreatif sehingga tradisi-tradisi yang pada umumnya dipandang statis-kaku boleh dibabtis menjadi sebuah sisi kehidupan yang menghidupkan, dinamis dan berdaya-guna serta berdaya-sapa bagi kehidupan.
Syarat untuk mencapai impian itu adalah membaca kembali secara berkesinambungan tradisi-tradisi yang sudah hidup di tengah masyarakat. Mengawinkan tradisi dan kreativitas adalah jalan-jalan kecil dari proses pemaknaan atas tradisi budaya yang oleh sebagian orang dipandang sebagai serba ketertinggalan. Ketika proses itu dengan serius dijalani, tradisi menjadi ‘hidup’ sebab dia akan mendapatkan sentuhan kontekstualisasi. Di situlah tradisi budaya menjadi bernilai dan bermanfaat bagi kehidupan. Dia tidak tinggal saja sebagai sebuah warisan melainkan dia akan menjelma menjadi spritualitas yang menghidupkan orang-orang zaman sekarang. Dia akan selalu menjadi kiblat peradaban kemanusiaan!
Oleh Anselmus D. Atasoge
(Komunitas Studi Kreatif Lintas Iman_Larantuka Flotim)
Salam hormat dan salam kemerdekaan bagi kita semua. Terima kasih atas kepercayaan panitia untuk saya boleh hadir di momen bermartabat ini. Pada kesempatan ini saya hendak memberikan satu dua catatan tentang Buku Peristiwa Waibalun.
Pertama, proficiat atas penerbitan karya ini. Kerja penerbitan ini merupakan sebuah pencapaian yang menggembirakan bagi sebuah “komunitas” yang “baru lahir” (Taman Baca Hutan 46 Waibalun). Tentu ada banyak suka dan dukanya dalam “melahirkan” karya ini. Banyak perjumpaan dan diskusi-diskusi awal yang telah dibangun oleh Anak Tanah Waibalun, baik secara langsung maupun lewat media-media sosial hingga lahirnya karya ini yang kita perbincangkan malam ini. Saya kira pilihan untuk berdiskusi pada malam 17 Agustus ini pun menjadi pilihan cerdas yang juga membahasakan salah satu pesan dari buku ini yakni Kemerdekaan Anak-Anak Waibalun di Zaman Milenial. Kemerdekaan itu terajut dalam beberapa aspek antara lain:
a. Gaya bahasa yang lugas namun bersahaja yang dapat membuat para pembaca (termasuk yang tak berlatar budaya Lamaholot) untuk bebas masuk ke-kedalaman pilihan kata-katanya dan menyelami makna-maknanya.
b. Di dalamnya dan bersamanya [atau sekurang-kurangnya terajak oleh keadaan ini], para pembacanya pun diingini untuk boleh BEBAS berlayar bersama karya ini: bebas melihat dirinya apa adanya, bebas mengkritik keseharian hidupnya, bebas bergerak dalam tradisi-tradisinya tanpa paksaan dan tanpa kalkulasi sosial-ekonomis-politis dan kulturnya.
c. Dan, saya kira hal penting lainnya yang hendaknya tak terabaikan adalah karya ini hendak membebaskan tradisi-tradisi lisan masyarakat/Orang-Orang Waibalun dari kepungan budaya milenial yang kini merasuki (atau juga yang merusaki) tradisi-tradisi lokal pada umumnya.
Di titik inilah, kita patut berterima kasih kepada ‘kreativitas anak-anak muda Waibalun’ yang tengah berjuang menjadikan kisah hariannya menjadi bermakna tetapi juga serentak membuat tradisi budayanya tetap berkesinambungan-hidup melalui tulisan-tulisan dalam buku ini.
Kedua, ada sejumlah hal yang bisa dikatakan tentang buku ini:
a. Menampilkan kisah-kisah tentang peristiwa-peristiwa bersahaja yang darinya kita dapat menemui jati diri Orang-Orang Waibalun dalam tiga urutan waktu: dulu, kini dan yang juga akan terus berproses di masa-masa yang akan datang.
b. Kisah-kisah ini adalah kisah-kisah sarat nilai. Nilai-nilai itu ada yang terang-benderang dengan sendirinya. Ada pula yang interpretable yang butuh penafsiran. Penafsiran dibutuhkan tidak hanya untuk menampilkan makna-makna yang mengandung nilai-nilai (pesan-pesan) yang terselip di balik peristiwa-peristiwa itu. Penafsiran yang terus-menerus atas peristiwa-peristiwa ini membuat hidup Orang-Orang Waibalun terutama generasi-generasi muda berkesinambungan dalam tiga urutan waktu tadi.
c. Penafsiran sejatinya menjadikan ‘peristiwa-peristiwa Waibalun’ menjadi tidak stagnat. Peristiwa-peristiwa ini terjadi, berlalu dan selalu terulang dan ada di antaranya menjadi catatan-catatan sejarah, narasi-narasi yang tertinggal dalam jejak-jejak waktu. Namun, dia akan selalu menjadi baru dan hidup dalam seluruh relung hati dan lorong-lorong kehidupan Orang-Orang Waibalun, hic et nunt, kini dan di sini.
Pembaruan dan penghidupan makna dan nilai-nilai dari peristiwa-peristiwa ini terjadi melalui penafsiran-penafsiran itu. Penafsiran itu menjadi makin komplit ketika keseluruhan prosesnya terjadi dalam sebuah keterbukaan perspektif. Artinya, para penafsirnya tidak memiliki orientasi untuk mengunci maknanya sesuai dengan keinginan-keinginan yang sempit semata. Mengaitkannya dengan seluruh bidang kehidupan (interkonektif-integratif) menjadikannya memiliki makna yang integral (interperspektif).
Ketiga, ‘Peristiwa-Peristiwa Waibalun’, hemat saya sedang mempromosikan beberapa hal berikut ini:
a. Penghormatan dan penghargaan atas kemanusiaan serentak terhadap kehidupan (yang satu menghargai-menghormati yang lain. Dalam penghormatan dan penghargaan, martabat manusia dimuliakan, kehidupan dihargai).
b. Penghargaan atas alam lingkungan hidup sebagai Ibu Kehidupan.
c. Penghidupan Tradisi Tulis dengan tidak mengabaikan Tradisi Lisan yang adalah kekhasan Orang-Orang Lamaholot.
Saya tutup perbincangan saya dengan kata-kata Pater Paul Budi Kleden, dalam kata pengantar buku ini. Bahwasanya, narasi-narasi (cerita-cerita) dalam buku ini perlu disambung. Saya menambahkan: Sambungan yang paling utama adalah menghidupkan kisah-kisah ini dalam keseharian dengan selalu memberi makna-makna baru atasnya secara kreatif sehingga tradisi-tradisi yang pada umumnya dipandang statis-kaku boleh dibabtis menjadi sebuah sisi kehidupan yang menghidupkan, dinamis dan berdaya-guna serta berdaya-sapa bagi kehidupan.
Syarat untuk mencapai impian itu adalah membaca kembali secara berkesinambungan tradisi-tradisi yang sudah hidup di tengah masyarakat. Mengawinkan tradisi dan kreativitas adalah jalan-jalan kecil dari proses pemaknaan atas tradisi budaya yang oleh sebagian orang dipandang sebagai serba ketertinggalan. Ketika proses itu dengan serius dijalani, tradisi menjadi ‘hidup’ sebab dia akan mendapatkan sentuhan kontekstualisasi. Di situlah tradisi budaya menjadi bernilai dan bermanfaat bagi kehidupan. Dia tidak tinggal saja sebagai sebuah warisan melainkan dia akan menjelma menjadi spritualitas yang menghidupkan orang-orang zaman sekarang. Dia akan selalu menjadi kiblat peradaban kemanusiaan!
*Dipresentasikan pada acara Peluncuran dan Diskusi Buku "Peristiwa Waibalun" di Waibalun, 17 Agustus 2018.
Komentar
Posting Komentar