BELIS UNTUK BELLA
Belis untuk Bella
Cerpen Berrye Tukan*
Kapal kayu ini asyik bermain dengan gelombang. Aku menyusuri jembatan kayu kecil yang menghubungkan tepi jembatan dengan kapal. Seorang ABK kapal menyodorkan tangan kekarnya padaku. Aku menyambutnya dengan senyuman kecil. “Terima kasih, Om,” kataku.
Aku menyusuri dek kapal bagian atasnya, sementara aku sesekali harus berhenti dan bertahan pada kursi kayu yang berada di kiri dan kanan karena kapal yang bergoyang dimainkan ombak. Seluruh kursi penumpang belum terisi penuh, namun aku lebih memilih duduk di bagian belakang karena tak ada seorang penumpang pun di sana. Kapal kayu seperti ini merupakan satu-satunya modal transportasi yang tersedia untuk menghantarkan penumpang dan barang dari Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur menuju beberapa pulau kecil lainnya yang berada di dalam kabupaten yang sama yakni pulau Adonara dan Solor. Pernah terdengar rencana membangun jembatan yang menghubungkan Larantuka dan Pulau Adonara namun hingga sekarang belum terwujud. Ya, mungkin nantilah.
Aku meletakkan tas punggungku di kursi panjang itu dan bersandar di sana. Tak seempuk kursi pesawat sih, tetapi cukup puas menikmati pemandangan laut dan kesibukan orang-orang di pelabuhan dari jendela kapal; para kondektur yang mencari penumpang dan para pendorong gerobak serta sopir-sopir pick up yang berburu penumpang dan barang muatan demi rupiah. Mesin kapal mulai menderu pertanda kapal segera akan berangkat seiring dengan langkah seorang gadis muda berambut merah kecoklat-coklatan yang datang menuju ke tempat dudukku. Dia tersenyum padaku seolah meminta ijin untuk duduk di sebelahku. Aku membalasa senyumnya sembari menggerakkan tubuhku ke dekat jendela sehingga tersedia ruang yang cukup baginya untuk duduk.
“Kaka, ke Adonara kah?” tanyanya.
“Iya. Ade juga?” jawabku.
Dia hanya mengangguk kecil sembari tersenyum.
“Bella, .. “ katanya kemudian sembari menyodorkan tangannya.
“Oh, saya Maya,” balasku.
Bella, gadis manis asal Adonara ini lalu banyak berbagi ceritanya. Ternyata dia sebentar lagi akan menikah dengan seorang pria asal Adonara juga. Ipung, namanya, yang sekarang bekerja di Jakarta. Kegembiraannya terpancar jelas dari matanya.
“Kami sudah kenalan sejak sekolah. Habis sekolah, kami masing-masing kuliah di kota yang berbeda. Dia ke Jakarta, saya di Kupang saja. Saya sudah selesai kuliah lalu pulang ke kampung dan menjadi guru di kampung. Dia juga sudah selesai, tapi lanjut kerja di pabrik di Jakarta,” ceritanya bersemangat.
“Wah, hebat ya. Jarang sekali sekarang bisa pacaran jarak jauh. Banyak yang gagal,” balasku.
Bella hanya tersenyum membalas.
“Lalu, kaka buat apa ke Adonara?”
“Saya dari sebuah LSM, mau mendata permasalahan rumah tangga di sana. Rencananya kita mau ada program pendampingan untuk wanita-wanita yang mengalami kekerasan rumah tangga dan hidup sebagai single parent di sana, semacam itulah,” kataku.
Dia mengangguk kecil. Kami banyak bercerita hingga kapal akhirnya mencium dermaga Waiwerang. Kami berpisah dengan sebuah senyuman kecil.
***
Seminggu kemudian aku kembali lagi ke Adonara guna melengkapi data-data yang masih kurang dari beberapa kecamatan. Mungkin sebuah kebetulan, aku bertemu Bella lagi.
“Wah, sebuah kebetulan lagi, ya” sapaku pada Bella yang kali ini sudah terlebih dahulu menduduki tempat biasa, bagian belakang pada dek atas kapal. Bella membalas dengan senyuman.
“Bagaimana rencana pernikahannya? Jangan lupa kakak juga diundang ya,” kataku.
Bella tak segera menjawab, dia hanya menghela nafas panjang.
“Ternyata, nikah itu ribet ya kak!?”
“Loh kok!?”
“Iya. Urus adatnya yang ribet. Harus ini itu, saya pusing. Benar-benar pusing, harus ikut yang mana,” desahnya.
“Loh memangnya kenapa?”
“Omong belis nih kak. Belake saya minta gading tiga. Keluarga pria belum menyanggupi,” ceritanya.
“Terus?” kejarku mencari tahu.
“keluarga pria hanya bisa beri dua, itupun satunya nanti dikasih setelah menikah,”
“Belake setuju?”
Bella menggeleng.
Aku hanya bisa terdiam, aku tak ingin mencari tahu lebih jauh lagi. Itu masalah privasinya, menurutku. Aku sama sekali tak punya hak untuk turut campur dan memberi pendapatku sendiri. Namun, jelas aku getir, di jaman sekarang, masih ada saja aturan adat yang terasa terlalu berat dan membebani keluarga. Masalah harga diri dan gengsi masih dianggap sebagai hal utama dalam pernikahan, bukan pernikahan itu sendiri. Ah, pantas saja masih banyak keluarga yang bermasalah karena masalah belis setelah menikah. Karena belis pulalah, wanita kemudian diperlakukan semau suaminya atas dasar belis yang sudah lunas dibayar, pikirku.
Aku lalu mengajak Bella bercerita tentang hal-hal lain yang lebih menarik untuk diceritakan di luar masalah pernikahannya yang masih terganjal belis.
“Saya dulu pernah punya pacar loh, ade. Namanya Tinus. Baik orangnya. Kami pacaran cukup lama, tiga tahun lebih. Setelah dapat panggilan kerja di Sumba, dia ke sana. Awalnya semua masih baik-baik saja. Pesan singkat dan telpon masih jalan aman. Lama-lama, dia makin malas dan jarang kirim kabar.”
“Lalu?”
“Satu tahun bekerja di sana, dia pulang liburan. Kami masih sempat bertemu. Tapi, saya merasa ada yang aneh saja. Dia tak seperti dulu lagi. Setelah saya bicara baik-baik akhirnya dia mengaku juga. Dia sudah punya tunangan di sana, dan dia segera menikah,” ceritaku.
“Ha? Terus?”
“Ya, tidak terus-terus lagi. Sudahlah, itu sudah keputusannya,”
“Kaka tidak marah?”
“Awalnya, tapi tak berguna juga lama-lama. Itu memang butuh waktu,”
“Ah, memang kurang ajar tuh orang!” marah Bella.
“Hahah, …. “ aku tertawa. Dia pun demikian.
Kapal tiba di Waiwerang. Kami berpisah lagi.
***
Tiga minggu berselang, aku harus kembali ke Adonara untuk melengkapi beberapa catatan lagi. Ajaibnya, Bella sudah duduk manis di kursi biasanya. Dia tersenyum padaku. Aku membalas. Aku sedikit merindik, bagaimana mungkin kejadian ini terulang lagi. Ya, bisa saja, Flores Timur khan tidak besar-besar amat.
Bella lagi-lagi sudah duduk di sana. Aku ragu untuk duduk bersamanya karena kebetulan ini sepertinya menakutkan. Tapi Bella sudah terlebih dahulu melambaikan tangannya padaku. Aku pun berjalan mendekatinya dan duduk di sampingnya.
“Kok kebetulan terus ya?” tanyaku.
“Iya yah, mungkin sudah demikian, haha … “ tawanya.
“Bagaimana rencana pernikahannya de? Sudah beres soal belisnya?”
“Hmm, sepertinya semua semakin ribet saja kaka. Belake masih kepala batu. Keluarga laki-laki tak bisa dipaksa lagi. Mereka hanya mampu bawa satu gading saja,” desah Bella.
“Bagaimana dengan, siapa nama pacarmu?”
“Ipung, kaka,”
“Ya, Ipung. Bagaimana dengan Ipung sendiri?”
“Sejak Belake bilang harus dua gading, Ipung jadi sedih. Dia seperti tak bersemangat lagi bicara soal menikah. Sekarang dia jarang sekali telpon, atau kirim es em es. Katanya batal saja menikah kalau tiap hari hanya omong soal belis,” cerita Bella.
“Ya, sedih juga ya. Kalau kaka bisa kasih saran, sekarang tinggal kalian berdua saja. Jangan hanya karena masalah belis ini, kalian gagal menikah. Bangun komunikasi yang baik dengan keluarga masing-masing, biar masalah belis bisa dibicarakan dengan baik. Intinya, menikah harus menjadi komitmen bersama yang saling membahagiakan bukan saja antara kamu dengan Ipung, namun dua keluarga besar kalian,” pesanku, berusaha menenangkannya.
Bella cukup tersenyum. Entahlah apa artinya. Semoga kata-kataku bisa berarti buatnya. Dua titik air mata mengalir dari dua bola matanya. Aku memeluknya, layaknya sang kakak yang berusaha menenangkan sang adik. Bella bergelayut di pundakku, dan ada ketenangan yang kurasakan di sana.
Kami sempat bertukar nomor telpon dan akun fesbuk sebelum kami berpisah di dermaga Waiwerang.
***
Dua minggu kemudian, aku harus kembali lagi ke Adonara untuk menyelesaikan laporan dari beberapa desa yang belum berhasil aku kunjungi. Apakah aku akan bertemu Bella lagi? Entahlah. Aku memilih tempat duduk favoritku, dek atas kursi belakang, dekat jendela. Kapal melaju meninggalkan pelabuhan, dan Bella masih tak kelihatan. Aku yakin ini hanyalah sebuah kebetulan. Lalu angin sepoi dari jendela kapal membuatku ngantuk. Aku tertidur di atas kapal, dan entah bagaimana aku bermimpi. Bella datang dalam mimpiku, tanpa sepatah kata. Diam, dengan wajah yang lesu, kusut dan layu. Aku berusaha menggapainya namun dia seolah menjauh. Dia menatapku lama, masih dengan tatapan yang sama. Aku masih menunggu kalimat yang mungkin terucap dari mulutnya.
“Kaka, kaka, tiket, … “ kata laki-laki berkumis tebal yang membangunkanku dari mimpi.
Aku tergopoh-gopoh membuka dompet dan membayar.
“Sendiri atau dengan ade nona yang tadi?”
“Nona yang tadi? Siapa?”
“Nona yang biasa sama-sama naik kapal ini, yang rambutnya agak merah-merah itu, tadi dia ke WC, kayaknya,”
Aku kaget. “Tidak, saya sendiri!”
Laki-laki itu lalu memberikan uang kembaliannya padaku.
“Makasih,” kataku sembari mencari-cari sosok yang dikatakan laki-laki tadi. Mungkinkah Bella berada di atas kapal ini, berlayar bersama, dan duduk di samping saya selama saya tidur? Aku mencoba mencari tasnya. Tak ada. Aku menunggu saja, mungkin dia berada di WC, seperti kata laki-laki tadi.
Bella tak muncul juga. Aku tak bisa menunggu lagi, aku bangun menuju ke WC. Di sana, WC terbuka tanpa orang! Aku semakin bingung. Apa yang sedang terjadi?
Aku kembali ke kursi dan meraih ponselku, membuka aplikasi fesbuk. Aku mencari nama Bella di sana, dan serasa tak percaya melihat status dan gambar-gambar di sana. Sekian banyak status tertulis di dinding akun fesbuknya. ‘Selamat jalan, Bella. Bella, semoga tenang dalam keabadian, Oh Bella, kenapa secepat ini engkau pergi?’, demikian bunyi status-status itu, lengkap dengan foto-foto Bella yang sudah terbujur kaku dalam peti. Tangan dan kakiku serasa lemas dan kehilangan separuh tenaga untuk menopang tubuhku. Degup jantungku berdetak lebih cepat. Ah, Bella yang malang!
Aku memberanikann diri menelpon Bella, mungkin saja bisa mendapat jawaban atas semua pertanyaan ini. Telepon tersambung, terdengar nada sambung. Ketakutan menggerayangiku, memaksaku untuk memutuskan telpon, namun tiba-tiba sebuah suara terdengar di sana. Ternyata, itu adalah suara saudara Bella. Setelah aku menjelaskan semuanya, saudara Bella mulai terbuka untuk bercerita.
“Bella jatuh sakit setelah rencana pernikahannya batal. Perseteruan antara keluarga tentang belis membuat pernikahan semakin jauh dari harapan. Puncaknya, Ipung memutuskannya. Bella kehilangan harapan, sakit-sakitan, lalu meninggal tadi malam,” ceritanya.
Aku meletakkan ponselku. Aku berusaha menguasai diriku yang mulai kehilangan konsentrasi. Sejenak, semua terasa kabur.
Kapal segera merapat di dermaga Waiwerang, namun pikiranku masih kalut. Dari jendela kapal, aku melihat puluhan orang dengan aktifitas yang sudah biasa. Sopir, kondektur, pendorong gerobak bekerja memburu rupiah. Di antara kerumunan orang yang menunggu penumpang turun, sesosok gadis muda berambut kemerah-merahan muncul di antara mereka.
Dia menatap langsung padaku, melambaikan tangan, lalu menghilang!
(Foto: Berrye Tukan)
Cerpen Berrye Tukan*
Kapal kayu ini asyik bermain dengan gelombang. Aku menyusuri jembatan kayu kecil yang menghubungkan tepi jembatan dengan kapal. Seorang ABK kapal menyodorkan tangan kekarnya padaku. Aku menyambutnya dengan senyuman kecil. “Terima kasih, Om,” kataku.
Aku menyusuri dek kapal bagian atasnya, sementara aku sesekali harus berhenti dan bertahan pada kursi kayu yang berada di kiri dan kanan karena kapal yang bergoyang dimainkan ombak. Seluruh kursi penumpang belum terisi penuh, namun aku lebih memilih duduk di bagian belakang karena tak ada seorang penumpang pun di sana. Kapal kayu seperti ini merupakan satu-satunya modal transportasi yang tersedia untuk menghantarkan penumpang dan barang dari Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur menuju beberapa pulau kecil lainnya yang berada di dalam kabupaten yang sama yakni pulau Adonara dan Solor. Pernah terdengar rencana membangun jembatan yang menghubungkan Larantuka dan Pulau Adonara namun hingga sekarang belum terwujud. Ya, mungkin nantilah.
Aku meletakkan tas punggungku di kursi panjang itu dan bersandar di sana. Tak seempuk kursi pesawat sih, tetapi cukup puas menikmati pemandangan laut dan kesibukan orang-orang di pelabuhan dari jendela kapal; para kondektur yang mencari penumpang dan para pendorong gerobak serta sopir-sopir pick up yang berburu penumpang dan barang muatan demi rupiah. Mesin kapal mulai menderu pertanda kapal segera akan berangkat seiring dengan langkah seorang gadis muda berambut merah kecoklat-coklatan yang datang menuju ke tempat dudukku. Dia tersenyum padaku seolah meminta ijin untuk duduk di sebelahku. Aku membalasa senyumnya sembari menggerakkan tubuhku ke dekat jendela sehingga tersedia ruang yang cukup baginya untuk duduk.
“Kaka, ke Adonara kah?” tanyanya.
“Iya. Ade juga?” jawabku.
Dia hanya mengangguk kecil sembari tersenyum.
“Bella, .. “ katanya kemudian sembari menyodorkan tangannya.
“Oh, saya Maya,” balasku.
Bella, gadis manis asal Adonara ini lalu banyak berbagi ceritanya. Ternyata dia sebentar lagi akan menikah dengan seorang pria asal Adonara juga. Ipung, namanya, yang sekarang bekerja di Jakarta. Kegembiraannya terpancar jelas dari matanya.
“Kami sudah kenalan sejak sekolah. Habis sekolah, kami masing-masing kuliah di kota yang berbeda. Dia ke Jakarta, saya di Kupang saja. Saya sudah selesai kuliah lalu pulang ke kampung dan menjadi guru di kampung. Dia juga sudah selesai, tapi lanjut kerja di pabrik di Jakarta,” ceritanya bersemangat.
“Wah, hebat ya. Jarang sekali sekarang bisa pacaran jarak jauh. Banyak yang gagal,” balasku.
Bella hanya tersenyum membalas.
“Lalu, kaka buat apa ke Adonara?”
“Saya dari sebuah LSM, mau mendata permasalahan rumah tangga di sana. Rencananya kita mau ada program pendampingan untuk wanita-wanita yang mengalami kekerasan rumah tangga dan hidup sebagai single parent di sana, semacam itulah,” kataku.
Dia mengangguk kecil. Kami banyak bercerita hingga kapal akhirnya mencium dermaga Waiwerang. Kami berpisah dengan sebuah senyuman kecil.
***
Seminggu kemudian aku kembali lagi ke Adonara guna melengkapi data-data yang masih kurang dari beberapa kecamatan. Mungkin sebuah kebetulan, aku bertemu Bella lagi.
“Wah, sebuah kebetulan lagi, ya” sapaku pada Bella yang kali ini sudah terlebih dahulu menduduki tempat biasa, bagian belakang pada dek atas kapal. Bella membalas dengan senyuman.
“Bagaimana rencana pernikahannya? Jangan lupa kakak juga diundang ya,” kataku.
Bella tak segera menjawab, dia hanya menghela nafas panjang.
“Ternyata, nikah itu ribet ya kak!?”
“Loh kok!?”
“Iya. Urus adatnya yang ribet. Harus ini itu, saya pusing. Benar-benar pusing, harus ikut yang mana,” desahnya.
“Loh memangnya kenapa?”
“Omong belis nih kak. Belake saya minta gading tiga. Keluarga pria belum menyanggupi,” ceritanya.
“Terus?” kejarku mencari tahu.
“keluarga pria hanya bisa beri dua, itupun satunya nanti dikasih setelah menikah,”
“Belake setuju?”
Bella menggeleng.
Aku hanya bisa terdiam, aku tak ingin mencari tahu lebih jauh lagi. Itu masalah privasinya, menurutku. Aku sama sekali tak punya hak untuk turut campur dan memberi pendapatku sendiri. Namun, jelas aku getir, di jaman sekarang, masih ada saja aturan adat yang terasa terlalu berat dan membebani keluarga. Masalah harga diri dan gengsi masih dianggap sebagai hal utama dalam pernikahan, bukan pernikahan itu sendiri. Ah, pantas saja masih banyak keluarga yang bermasalah karena masalah belis setelah menikah. Karena belis pulalah, wanita kemudian diperlakukan semau suaminya atas dasar belis yang sudah lunas dibayar, pikirku.
Aku lalu mengajak Bella bercerita tentang hal-hal lain yang lebih menarik untuk diceritakan di luar masalah pernikahannya yang masih terganjal belis.
“Saya dulu pernah punya pacar loh, ade. Namanya Tinus. Baik orangnya. Kami pacaran cukup lama, tiga tahun lebih. Setelah dapat panggilan kerja di Sumba, dia ke sana. Awalnya semua masih baik-baik saja. Pesan singkat dan telpon masih jalan aman. Lama-lama, dia makin malas dan jarang kirim kabar.”
“Lalu?”
“Satu tahun bekerja di sana, dia pulang liburan. Kami masih sempat bertemu. Tapi, saya merasa ada yang aneh saja. Dia tak seperti dulu lagi. Setelah saya bicara baik-baik akhirnya dia mengaku juga. Dia sudah punya tunangan di sana, dan dia segera menikah,” ceritaku.
“Ha? Terus?”
“Ya, tidak terus-terus lagi. Sudahlah, itu sudah keputusannya,”
“Kaka tidak marah?”
“Awalnya, tapi tak berguna juga lama-lama. Itu memang butuh waktu,”
“Ah, memang kurang ajar tuh orang!” marah Bella.
“Hahah, …. “ aku tertawa. Dia pun demikian.
Kapal tiba di Waiwerang. Kami berpisah lagi.
***
Tiga minggu berselang, aku harus kembali ke Adonara untuk melengkapi beberapa catatan lagi. Ajaibnya, Bella sudah duduk manis di kursi biasanya. Dia tersenyum padaku. Aku membalas. Aku sedikit merindik, bagaimana mungkin kejadian ini terulang lagi. Ya, bisa saja, Flores Timur khan tidak besar-besar amat.
Bella lagi-lagi sudah duduk di sana. Aku ragu untuk duduk bersamanya karena kebetulan ini sepertinya menakutkan. Tapi Bella sudah terlebih dahulu melambaikan tangannya padaku. Aku pun berjalan mendekatinya dan duduk di sampingnya.
“Kok kebetulan terus ya?” tanyaku.
“Iya yah, mungkin sudah demikian, haha … “ tawanya.
“Bagaimana rencana pernikahannya de? Sudah beres soal belisnya?”
“Hmm, sepertinya semua semakin ribet saja kaka. Belake masih kepala batu. Keluarga laki-laki tak bisa dipaksa lagi. Mereka hanya mampu bawa satu gading saja,” desah Bella.
“Bagaimana dengan, siapa nama pacarmu?”
“Ipung, kaka,”
“Ya, Ipung. Bagaimana dengan Ipung sendiri?”
“Sejak Belake bilang harus dua gading, Ipung jadi sedih. Dia seperti tak bersemangat lagi bicara soal menikah. Sekarang dia jarang sekali telpon, atau kirim es em es. Katanya batal saja menikah kalau tiap hari hanya omong soal belis,” cerita Bella.
“Ya, sedih juga ya. Kalau kaka bisa kasih saran, sekarang tinggal kalian berdua saja. Jangan hanya karena masalah belis ini, kalian gagal menikah. Bangun komunikasi yang baik dengan keluarga masing-masing, biar masalah belis bisa dibicarakan dengan baik. Intinya, menikah harus menjadi komitmen bersama yang saling membahagiakan bukan saja antara kamu dengan Ipung, namun dua keluarga besar kalian,” pesanku, berusaha menenangkannya.
Bella cukup tersenyum. Entahlah apa artinya. Semoga kata-kataku bisa berarti buatnya. Dua titik air mata mengalir dari dua bola matanya. Aku memeluknya, layaknya sang kakak yang berusaha menenangkan sang adik. Bella bergelayut di pundakku, dan ada ketenangan yang kurasakan di sana.
Kami sempat bertukar nomor telpon dan akun fesbuk sebelum kami berpisah di dermaga Waiwerang.
***
Dua minggu kemudian, aku harus kembali lagi ke Adonara untuk menyelesaikan laporan dari beberapa desa yang belum berhasil aku kunjungi. Apakah aku akan bertemu Bella lagi? Entahlah. Aku memilih tempat duduk favoritku, dek atas kursi belakang, dekat jendela. Kapal melaju meninggalkan pelabuhan, dan Bella masih tak kelihatan. Aku yakin ini hanyalah sebuah kebetulan. Lalu angin sepoi dari jendela kapal membuatku ngantuk. Aku tertidur di atas kapal, dan entah bagaimana aku bermimpi. Bella datang dalam mimpiku, tanpa sepatah kata. Diam, dengan wajah yang lesu, kusut dan layu. Aku berusaha menggapainya namun dia seolah menjauh. Dia menatapku lama, masih dengan tatapan yang sama. Aku masih menunggu kalimat yang mungkin terucap dari mulutnya.
“Kaka, kaka, tiket, … “ kata laki-laki berkumis tebal yang membangunkanku dari mimpi.
Aku tergopoh-gopoh membuka dompet dan membayar.
“Sendiri atau dengan ade nona yang tadi?”
“Nona yang tadi? Siapa?”
“Nona yang biasa sama-sama naik kapal ini, yang rambutnya agak merah-merah itu, tadi dia ke WC, kayaknya,”
Aku kaget. “Tidak, saya sendiri!”
Laki-laki itu lalu memberikan uang kembaliannya padaku.
“Makasih,” kataku sembari mencari-cari sosok yang dikatakan laki-laki tadi. Mungkinkah Bella berada di atas kapal ini, berlayar bersama, dan duduk di samping saya selama saya tidur? Aku mencoba mencari tasnya. Tak ada. Aku menunggu saja, mungkin dia berada di WC, seperti kata laki-laki tadi.
Bella tak muncul juga. Aku tak bisa menunggu lagi, aku bangun menuju ke WC. Di sana, WC terbuka tanpa orang! Aku semakin bingung. Apa yang sedang terjadi?
Aku kembali ke kursi dan meraih ponselku, membuka aplikasi fesbuk. Aku mencari nama Bella di sana, dan serasa tak percaya melihat status dan gambar-gambar di sana. Sekian banyak status tertulis di dinding akun fesbuknya. ‘Selamat jalan, Bella. Bella, semoga tenang dalam keabadian, Oh Bella, kenapa secepat ini engkau pergi?’, demikian bunyi status-status itu, lengkap dengan foto-foto Bella yang sudah terbujur kaku dalam peti. Tangan dan kakiku serasa lemas dan kehilangan separuh tenaga untuk menopang tubuhku. Degup jantungku berdetak lebih cepat. Ah, Bella yang malang!
Aku memberanikann diri menelpon Bella, mungkin saja bisa mendapat jawaban atas semua pertanyaan ini. Telepon tersambung, terdengar nada sambung. Ketakutan menggerayangiku, memaksaku untuk memutuskan telpon, namun tiba-tiba sebuah suara terdengar di sana. Ternyata, itu adalah suara saudara Bella. Setelah aku menjelaskan semuanya, saudara Bella mulai terbuka untuk bercerita.
“Bella jatuh sakit setelah rencana pernikahannya batal. Perseteruan antara keluarga tentang belis membuat pernikahan semakin jauh dari harapan. Puncaknya, Ipung memutuskannya. Bella kehilangan harapan, sakit-sakitan, lalu meninggal tadi malam,” ceritanya.
Aku meletakkan ponselku. Aku berusaha menguasai diriku yang mulai kehilangan konsentrasi. Sejenak, semua terasa kabur.
Kapal segera merapat di dermaga Waiwerang, namun pikiranku masih kalut. Dari jendela kapal, aku melihat puluhan orang dengan aktifitas yang sudah biasa. Sopir, kondektur, pendorong gerobak bekerja memburu rupiah. Di antara kerumunan orang yang menunggu penumpang turun, sesosok gadis muda berambut kemerah-merahan muncul di antara mereka.
Dia menatap langsung padaku, melambaikan tangan, lalu menghilang!
Waibalun, 2019.
note: Pernah dimuat di Pos Kupang, 22/12/2019
Komentar
Posting Komentar