GURU OLLA DAN SEKOLAH YANG DITUTUP
GURU OLLA DAN SEKOLAH YANG DITUTUP
----------
Cerpen oleh Berrye Tukan
“Wah ini ponsel paling baru nih, pak guru. Kameranya bagus dan jernih hasil fotonya,” kata salah satu anak muridnya.
“Iya pak guru. Bapak saya juga punya ponsel seperti itu. Harganya mahal sekali, belinya juga lewat online,” tambah yang lain.
“Ini juga sudah bisa online di internet. Bisa fesbuk dan youtube,” timpal yang lain.
Pak guru Olla yang biasa disapa Guru Olla itu nampak membolak-balik ponsel barunya. Ponsel itu tidak dibeli sendiri olehnya namun dihadiahi oleh salah seorang anak muridnya yang kini bekerja di kota besar.
“Ponsel ini pasti mahal sekali. Bentuknya saja bagus sekali, halus dan ringan. Licin pula, bisa-bisa jatuh kalau tidak dipegang dengan erat,” celetuknya sambil tertawa. Anak-anak sekolah yang memenuhi teras rumahnya itu pun ikut tertawa.
***
Ceritanya panjang sekali hingga Guru Olla mendapatkan ponsel itu. Dua minggu yang lalu, sekolah dasar tempatnya mengajar ditutup paksa oleh Pak Umar, seorang mantan calon kepala desa yang gagal memenangkan pemilihan kepala desa di desa itu. Pagi itu, bersama kerabatnya, mereka mengusir anak-anak beserta para gurunya untuk keluar dari sekolah itu. Kepala sekolah yang mencoba menahan aksi mereka justru diancam dengan parang di lehernya. Melihat gelagat yang kurang baik, Kepala Sekolah lalu memulangkan anak-anak sekolah ke rumah mereka masing-masing.
“Anak-anak tidak boleh menyaksikan aksi kekerasan dalam bentuk apapun,” terangnya pada guru-gurunya termasuk Guru Olla sesaat setelah sekolah dipalang oleh Pak Umar dan kerabatnya.
“Tanah ini milik nenek moyang kami. Diberikan kepada kampung ini untuk dijadikan sekolah. Sejak dulu keluarga kami sudah berbuat banyak untuk kampung ini, tapi apa yang kami dapat? Cuih! Tak ada!” marah Pak Umar sembari meninggalkan halaman sekolah.
Sejak saat itu, sekolah praktis tidak bisa melaksanakan aktifitas belajar mengajarnya. Sepi! Pohon nangka tua di ujung halaman sekolah sudah memenuhi halaman sekolah dengan daun-daunnya. Lantai-lantai pun mulai berdebu. Beberapa anak sekolah yang bermain di sekolah pada sore hari, diam-diam membersihkannya. Mungkin mereka merindukan untuk kembali bersekolah. Beberapa pejabat dari kabupaten dan kecamatan sudah datang meninjau dan mencoba mencari solusi namun sia-sia. Pak Umar dan kerabatnya bersikeras untuk menutup sekolah itu. Mereka malah mengancam akan merubuhkan sekolah itu. Selama ini sekolah itupun belum mengantongi sertifikat tanah dari pemerintah. Hal inilah yang membuat masalahnya menjadi tak terselesaikan.
***
Satu minggu tanpa aktifitas mengajar membuat Guru Olla tak betah di rumah. Sekitar tiga tahun lagi Guru Olla pensiun, namun itu tak membuatnya menjadi enggan untuk memikirkan anak-anak muridnya yang tak bisa belajar di sekolah seperti saat ini. Di minggu kedua setelah sekolah itu ditutup paksa, Guru Olla mencari anak muridnya dari rumah mereka masing-masing.
“Mulai besok, kita belajar di rumah pak guru saja. Bawa alat tulis kalian, pakai baju biasa saja,” pesannya kepada setiap anak muridnya. Anak-anak pun menyambut rencana itu dengan gembira. Meski tidak di ruangan kelas, mereka masih bisa belajar dan bertemu teman-teman mereka lainnya.
Sekolah teras pun jadi. Guru Olla membentangkan tikar di atas lantai terasnya. Anak-anak pun berjejer di tepi tembok dan mulai menulis. Papan bekas di samping rumahnya disulap menjadi papan tulis. Guru Olla pun terpaksa mengeluarkan uangnya sendiri untuk membeli kapur tulis. "Ah tidak apa-apa, yang penting anak-anak bisa belajar", batinnya.
“Pak guru, punggung kami sakit karena harus merunduk terus,” keluh salah satu anak muridnya.
“Iya pak. Badan saya rasanya pegel semua kalau harus merunduk terus,” timpal yang lain.
“Yah, nanti pak guru usahakan pinjam kursi dari balai desa supaya kalian bisa duduk di kursi saja,” jawab Guru Olla.
Seorang warga kampung yang melihat perjuangan Guru Olla itu lalu memotret suasana ketika Guru Olla mengajar anak muridnya di teras rumahnya, lalu foto diupload ke media sosial. Beragam komentar dan simpati lalu berdatangan, termasuk dari salah seorang anak muridnya yang kini sudah sukses dan bekerja di kota besar. Dia menghadiahi Guru Olla dengan sebuah ponsel baru yang cukup mahal. “Tetap semangat pak guruku. Kalian luar biasa!” komentarnya di media sosial.
Namun, Guru Olla tak cukup bahagia dengan ponsel barunya. Ponsel baru itu, menurutnya tidak bisa memecahkan masalah ini; anak-anak masih tetap belajar di teras rumahnya dan sekolah masih ditutup.
***
Sudah sore, dan anak-anak harus pulang ke rumah mereka. Guru Olla bergegas mandi dan setelah makan malam, lelaki enam puluh tahunan itu menghabiskan waktunya di teras rumahnya dengan ponsel barunya. "Ini mungkin luar biasa, namun sayang, anak-anak masih belum bisa belajar di kelas", batinnya sambil membolak-balik ponselnya.
Dicobanya pula kamera ponsel itu. "Wow, hasilnya seperti pakai kamera biasa, bersih dan jernih, bahkan di malam sekalipun dan dizoom dari jarak yang paling jauh sekalipun", gumamnya. "Tokh, sekali lagi, bukan ini yang saya mau", lirihnya merintih.
Malam semakin gelap, dan kampung semakin sunyi. Guru Olla mematikan lampu di teras rumahnya dan hendak meninggalkan teras rumahnya saat dia mendengar mesin sepeda motor yang berhenti di ujung lorong. Dia tak segera masuk ke rumahnya. Di balik pohon mangga besar yang memisahkan rumahnya dengan Umi Etti, seorang janda muda yang ditinggal suaminya merantau ke Malaysia, Guru Olla melihat sesosok bayangan mengendap-endap di balik pagar bunga itu dan menuju ke pintu rumah Umi Etti.
"Ah, siapa itu?", tanyanya dalam hati.
Sebelum sosok di seberang itu masuk ke dalam rumah, Umi Etti nampak keluar dari rumahnya dan segera menarik tangan sosok lelaki itu dan hilang di balik pintu rumah. Namun Guru Olla sempat mengambil ponsel barunya dan mengambil gambarnya. Jepret!
Lampu rumah Umi Etti lalu mati, dan kembali sunyi memeluk kampung. Guru Olla masuk ke dalam rumah dan melihat kembali hasil jepretannya! Wajahnya segera berubah, mungkin heran ataupun kaget ketika melihat dengan jelas sosok yang ada dalam hasil foto kameranya. "Tidak salah lagi, kamu kena batunya!" gumamnya keras.
“Ada apa Pa?” tanya Ina Mellan, sang istri yang terbangun.
“Ah tidak apa-apa. Ini kameranya bagus sekali. Kamu tidur saja lagi!” jawabnya.
***
Pagi-pagi benar Guru Olla sudah bangun lalu sibuk sendiri. Dipinjamnya printer dari teman gurunya, lalu membeli kertas foto di kios sebelah. Rencananya seperti sangat rapih tersusun. Foto hasil jepretannya semalam segera ditransfer ke laptopnya dan, bingo! Printer itu mencetak foto dari laptop Guru Olla dengan hasil yang menawan. Guru Olla tersenyum girang. Foto itu lalu dimasukan ke dalam sebuah map besar beserta sepucuk surat, semacam surat pengantar.
Guru Olla tak sabar menunggu malam tiba. Setelah selesai mengajar anak-anak di teras rumahnya, Guru Olla lalu duduk di teras rumah sembari menunggu malam berlalu. Kampung menjadi teramat sunyi. Dan, perlahan Guru Olla melangkah pergi meninggalkan teras rumahnya menuju sebuah rumah di tengah kampung sembari menenteng map berisi foto itu. Rumah yang ditujunya pun sudah di depan matanya dan dengan setengah mengendap-endap, perlahan-lahan Guru Olla memasukan map itu di bawah pintu rumah, lalu bergegas meninggalkan rumah itu dengan perasaan yang was-was. "Aman. Makan tuh foto", makinya dalam hati.
***
“Pak guru, pak guru, hari ini sekolah sudah dibuka kembali. Kita bisa belajar di kelas lagi. Ayo pak guru,” teriak salah satu anak muridnya di depan rumahnya pagi-pagi. Guru Olla yang masih menghabiskan makan paginya segera meninggalkan meja makannya dan berjalan menuju teras rumahnya.
“Kenapa? Ada apa?” tanyanya.
“Kami disuruh Pak Kepala Sekolah untuk datang memberitahu pak guru. Sekolah sudah dibuka lagi! Ayo pak guru!” teriak mereka gembira.
Guru Olla segera bergegas ke sekolah.
“Tadi Pak Umar datang ke rumah pagi-pagi. Dia bilang sekolah bisa dibuka lagi. Dia bahkan minta maaf karena sudah bikin anak-anak susah belajar. Aneh memang, tapi ah sudahlah, mungkin Pak Umar sudah berubah,” cerita Kepala Sekolah.
Guru Olla nampak tersenyum, sedikit tertawa.
“Kenapa Pak Olla? Ada yang lucu kah?”
“Ah tidak apa-apa pak. Saya cuman kecewa saja,”
“Kecewa kenapa pak?”
“Kalau sekolah dibuka lagi, saya tidak dapat hadiah lagi, seperti ponsel itu,” balasnya sambil tertawa.
Sang Kepala Sekolah pun ikut tertawa.
Di saat yang sama, Pak Umar geram di kamarnya sambil memandang foto yang ada di depannya. Di dalam foto itu, nampak jelas dirinya sedang ditarik oleh Umi Etti masuk ke dalam rumahnya. Sepucuk kertas di bawah foto itupun ikut-ikutan membuatnya gusar dan marah. Dia pun membaca lagi isinya: "Kalau besok sekolah tidak kau buka, foto ini akan ada di setiap rumah di kampung ini. Saya tidak main-main!"
----------
Cerpen oleh Berrye Tukan
“Wah ini ponsel paling baru nih, pak guru. Kameranya bagus dan jernih hasil fotonya,” kata salah satu anak muridnya.
“Iya pak guru. Bapak saya juga punya ponsel seperti itu. Harganya mahal sekali, belinya juga lewat online,” tambah yang lain.
“Ini juga sudah bisa online di internet. Bisa fesbuk dan youtube,” timpal yang lain.
Pak guru Olla yang biasa disapa Guru Olla itu nampak membolak-balik ponsel barunya. Ponsel itu tidak dibeli sendiri olehnya namun dihadiahi oleh salah seorang anak muridnya yang kini bekerja di kota besar.
“Ponsel ini pasti mahal sekali. Bentuknya saja bagus sekali, halus dan ringan. Licin pula, bisa-bisa jatuh kalau tidak dipegang dengan erat,” celetuknya sambil tertawa. Anak-anak sekolah yang memenuhi teras rumahnya itu pun ikut tertawa.
***
Ceritanya panjang sekali hingga Guru Olla mendapatkan ponsel itu. Dua minggu yang lalu, sekolah dasar tempatnya mengajar ditutup paksa oleh Pak Umar, seorang mantan calon kepala desa yang gagal memenangkan pemilihan kepala desa di desa itu. Pagi itu, bersama kerabatnya, mereka mengusir anak-anak beserta para gurunya untuk keluar dari sekolah itu. Kepala sekolah yang mencoba menahan aksi mereka justru diancam dengan parang di lehernya. Melihat gelagat yang kurang baik, Kepala Sekolah lalu memulangkan anak-anak sekolah ke rumah mereka masing-masing.
“Anak-anak tidak boleh menyaksikan aksi kekerasan dalam bentuk apapun,” terangnya pada guru-gurunya termasuk Guru Olla sesaat setelah sekolah dipalang oleh Pak Umar dan kerabatnya.
“Tanah ini milik nenek moyang kami. Diberikan kepada kampung ini untuk dijadikan sekolah. Sejak dulu keluarga kami sudah berbuat banyak untuk kampung ini, tapi apa yang kami dapat? Cuih! Tak ada!” marah Pak Umar sembari meninggalkan halaman sekolah.
Sejak saat itu, sekolah praktis tidak bisa melaksanakan aktifitas belajar mengajarnya. Sepi! Pohon nangka tua di ujung halaman sekolah sudah memenuhi halaman sekolah dengan daun-daunnya. Lantai-lantai pun mulai berdebu. Beberapa anak sekolah yang bermain di sekolah pada sore hari, diam-diam membersihkannya. Mungkin mereka merindukan untuk kembali bersekolah. Beberapa pejabat dari kabupaten dan kecamatan sudah datang meninjau dan mencoba mencari solusi namun sia-sia. Pak Umar dan kerabatnya bersikeras untuk menutup sekolah itu. Mereka malah mengancam akan merubuhkan sekolah itu. Selama ini sekolah itupun belum mengantongi sertifikat tanah dari pemerintah. Hal inilah yang membuat masalahnya menjadi tak terselesaikan.
***
Satu minggu tanpa aktifitas mengajar membuat Guru Olla tak betah di rumah. Sekitar tiga tahun lagi Guru Olla pensiun, namun itu tak membuatnya menjadi enggan untuk memikirkan anak-anak muridnya yang tak bisa belajar di sekolah seperti saat ini. Di minggu kedua setelah sekolah itu ditutup paksa, Guru Olla mencari anak muridnya dari rumah mereka masing-masing.
“Mulai besok, kita belajar di rumah pak guru saja. Bawa alat tulis kalian, pakai baju biasa saja,” pesannya kepada setiap anak muridnya. Anak-anak pun menyambut rencana itu dengan gembira. Meski tidak di ruangan kelas, mereka masih bisa belajar dan bertemu teman-teman mereka lainnya.
Sekolah teras pun jadi. Guru Olla membentangkan tikar di atas lantai terasnya. Anak-anak pun berjejer di tepi tembok dan mulai menulis. Papan bekas di samping rumahnya disulap menjadi papan tulis. Guru Olla pun terpaksa mengeluarkan uangnya sendiri untuk membeli kapur tulis. "Ah tidak apa-apa, yang penting anak-anak bisa belajar", batinnya.
“Pak guru, punggung kami sakit karena harus merunduk terus,” keluh salah satu anak muridnya.
“Iya pak. Badan saya rasanya pegel semua kalau harus merunduk terus,” timpal yang lain.
“Yah, nanti pak guru usahakan pinjam kursi dari balai desa supaya kalian bisa duduk di kursi saja,” jawab Guru Olla.
Seorang warga kampung yang melihat perjuangan Guru Olla itu lalu memotret suasana ketika Guru Olla mengajar anak muridnya di teras rumahnya, lalu foto diupload ke media sosial. Beragam komentar dan simpati lalu berdatangan, termasuk dari salah seorang anak muridnya yang kini sudah sukses dan bekerja di kota besar. Dia menghadiahi Guru Olla dengan sebuah ponsel baru yang cukup mahal. “Tetap semangat pak guruku. Kalian luar biasa!” komentarnya di media sosial.
Namun, Guru Olla tak cukup bahagia dengan ponsel barunya. Ponsel baru itu, menurutnya tidak bisa memecahkan masalah ini; anak-anak masih tetap belajar di teras rumahnya dan sekolah masih ditutup.
***
Sudah sore, dan anak-anak harus pulang ke rumah mereka. Guru Olla bergegas mandi dan setelah makan malam, lelaki enam puluh tahunan itu menghabiskan waktunya di teras rumahnya dengan ponsel barunya. "Ini mungkin luar biasa, namun sayang, anak-anak masih belum bisa belajar di kelas", batinnya sambil membolak-balik ponselnya.
Dicobanya pula kamera ponsel itu. "Wow, hasilnya seperti pakai kamera biasa, bersih dan jernih, bahkan di malam sekalipun dan dizoom dari jarak yang paling jauh sekalipun", gumamnya. "Tokh, sekali lagi, bukan ini yang saya mau", lirihnya merintih.
Malam semakin gelap, dan kampung semakin sunyi. Guru Olla mematikan lampu di teras rumahnya dan hendak meninggalkan teras rumahnya saat dia mendengar mesin sepeda motor yang berhenti di ujung lorong. Dia tak segera masuk ke rumahnya. Di balik pohon mangga besar yang memisahkan rumahnya dengan Umi Etti, seorang janda muda yang ditinggal suaminya merantau ke Malaysia, Guru Olla melihat sesosok bayangan mengendap-endap di balik pagar bunga itu dan menuju ke pintu rumah Umi Etti.
"Ah, siapa itu?", tanyanya dalam hati.
Sebelum sosok di seberang itu masuk ke dalam rumah, Umi Etti nampak keluar dari rumahnya dan segera menarik tangan sosok lelaki itu dan hilang di balik pintu rumah. Namun Guru Olla sempat mengambil ponsel barunya dan mengambil gambarnya. Jepret!
Lampu rumah Umi Etti lalu mati, dan kembali sunyi memeluk kampung. Guru Olla masuk ke dalam rumah dan melihat kembali hasil jepretannya! Wajahnya segera berubah, mungkin heran ataupun kaget ketika melihat dengan jelas sosok yang ada dalam hasil foto kameranya. "Tidak salah lagi, kamu kena batunya!" gumamnya keras.
“Ada apa Pa?” tanya Ina Mellan, sang istri yang terbangun.
“Ah tidak apa-apa. Ini kameranya bagus sekali. Kamu tidur saja lagi!” jawabnya.
***
Pagi-pagi benar Guru Olla sudah bangun lalu sibuk sendiri. Dipinjamnya printer dari teman gurunya, lalu membeli kertas foto di kios sebelah. Rencananya seperti sangat rapih tersusun. Foto hasil jepretannya semalam segera ditransfer ke laptopnya dan, bingo! Printer itu mencetak foto dari laptop Guru Olla dengan hasil yang menawan. Guru Olla tersenyum girang. Foto itu lalu dimasukan ke dalam sebuah map besar beserta sepucuk surat, semacam surat pengantar.
Guru Olla tak sabar menunggu malam tiba. Setelah selesai mengajar anak-anak di teras rumahnya, Guru Olla lalu duduk di teras rumah sembari menunggu malam berlalu. Kampung menjadi teramat sunyi. Dan, perlahan Guru Olla melangkah pergi meninggalkan teras rumahnya menuju sebuah rumah di tengah kampung sembari menenteng map berisi foto itu. Rumah yang ditujunya pun sudah di depan matanya dan dengan setengah mengendap-endap, perlahan-lahan Guru Olla memasukan map itu di bawah pintu rumah, lalu bergegas meninggalkan rumah itu dengan perasaan yang was-was. "Aman. Makan tuh foto", makinya dalam hati.
***
“Pak guru, pak guru, hari ini sekolah sudah dibuka kembali. Kita bisa belajar di kelas lagi. Ayo pak guru,” teriak salah satu anak muridnya di depan rumahnya pagi-pagi. Guru Olla yang masih menghabiskan makan paginya segera meninggalkan meja makannya dan berjalan menuju teras rumahnya.
“Kenapa? Ada apa?” tanyanya.
“Kami disuruh Pak Kepala Sekolah untuk datang memberitahu pak guru. Sekolah sudah dibuka lagi! Ayo pak guru!” teriak mereka gembira.
Guru Olla segera bergegas ke sekolah.
“Tadi Pak Umar datang ke rumah pagi-pagi. Dia bilang sekolah bisa dibuka lagi. Dia bahkan minta maaf karena sudah bikin anak-anak susah belajar. Aneh memang, tapi ah sudahlah, mungkin Pak Umar sudah berubah,” cerita Kepala Sekolah.
Guru Olla nampak tersenyum, sedikit tertawa.
“Kenapa Pak Olla? Ada yang lucu kah?”
“Ah tidak apa-apa pak. Saya cuman kecewa saja,”
“Kecewa kenapa pak?”
“Kalau sekolah dibuka lagi, saya tidak dapat hadiah lagi, seperti ponsel itu,” balasnya sambil tertawa.
Sang Kepala Sekolah pun ikut tertawa.
Di saat yang sama, Pak Umar geram di kamarnya sambil memandang foto yang ada di depannya. Di dalam foto itu, nampak jelas dirinya sedang ditarik oleh Umi Etti masuk ke dalam rumahnya. Sepucuk kertas di bawah foto itupun ikut-ikutan membuatnya gusar dan marah. Dia pun membaca lagi isinya: "Kalau besok sekolah tidak kau buka, foto ini akan ada di setiap rumah di kampung ini. Saya tidak main-main!"
Waibalun, 25/02/2020
Komentar
Posting Komentar