BUDI KLEDEN MENGGUGAT KAUM BERAGAMA
Budi Kleden Menggugat Kaum Beragama
Oleh Dr. Phil. Norbertus Jegalus, MA.
Dengan karyanya, "Teologi Terlibat. Politik & Budaya dalam Terang Teologi" (Maumere: Penerbit Ledalero, 2003), sejak itu Dr. Paul Budi Kleden, SVD disebut sebagai teolog muda Indonesia. Dalam buku ini ia memperkenalkan teologi politik, dengan berinspirasi pada Teologi Politik Johann Babtist Metz, dalam konteks sosio-politis Indonesia.
Sejak itu ia menggugat kaum beragama di Indonesia untuk beriman secara dinamis dan sosial. Karena manusia yang beriman itu adalah manusia yang hidup bersama orang lain dalam lingkup budaya dan tatanan politis tertentu, maka beriman akan Allah tidak bisa tidak menyentuh aspek budaya dan politis dari kehidupan manusia.
Katanya, "beriman berarti mengakui keterlibatan Allah dalam kebudayaan dan politik. Namun Allah tidak masuk ke dalam lingkup budaya atau satu instrumen politis, melainkan untuk menerangi dan menjernihkan budaya dan politik dari berbagai kecenderungan dan praktik yang menghalangi manusia mengalami satu kehidupan yang bersahabat dengan diri sendiri, dengan sesama dan lingkungannya."
Menurut Budi Kleden, teologi harus melibatkan diri di dalam pergulatan manusia dan pergulatan yang paling menggetirkan akhir-akhir ini adalah pergulatannya dengan politik, khususnya wajah muram politik kita: Korupsi yang semakin diberantas justru semakin menjadi-jadi; hukum yang tidak adil, maksudnya peradilan kita masih jauh dari tujuan untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat; birokrasi pemerintahan yang lebih banyak melayani diri sendiri daripada melayani kepentingan masyarakat; telah dengan sepenuhnya kita mengakui HAM dunia namun kita hanya setengah hati melaksanakannya sebagaimana tampak dalam banyaknya pelanggaran HAM yang tidak ditangani secara memuaskan.
Singkatnya, praksis politik kita masih sangat jauh dari cerah. Semua kenyataan itu adalah pengalaman kaum beriman. Tetapi, mengapa pengalaman itu tidak diangkat ke tingkat pengalaman yang lebih eksistensial sifatnya yakni ke tingkat pengalaman spiritual-eksistensial manusia dalam kaitan dengan kehidupan beriman kaum agama?
Budi Kleden menjawab dan sekaligus menggugat kaum beriman, khususnya kaum yang menamakan dirinya Kristen, bahwa kaum beriman melakukan suatu penyimpangan besar manakala mereka memisahkan dengan tegas antara wilayah "Yang Suci" dari "yang profan". Agama direduksi menjadi sekadar urusan dengan yang suci tanpa kaitan dengan yang profan. Alhasil, ada dua sikap, yang dengan tegas dibedakan: Pertama, agama hanya berarti melulu keasyikan membaktikan diri kepada yang suci sambil mengabaikan yang profan; kedua, orang mengurus yang profan seakan-akan tidak ada kaitan dengan yang suci. "Agama tenggelam dalam ritualisme, sementara dunia hanyut dalam pragmatisme," kata Budi Kleden.
Pemisahan yang demikian memberikan gambaran bahwa cara kita beragama, cara kita beriman, adalah cara beragama atau beriman yang tidak manusiawi. Karena sebenarnya kita beriman dalam konteks bahwa kita adalah manusia yang hidup di atas dunia ini; kita adalah makhluk badan yang meroh dan roh yang membadan.
Pandangan integral tentang manusia seperti inilah yang memungkinkan kita menghayati agama sebagai pengalaman akan yang suci di tengah dunia yang profan.
Hanya atas dasar pandangan integral tentang manusia beriman inilah kita bisa berbicara tentang integritas religius seorang manusia, seorang warga negara, seorang politisi, seorang birokrat, seorang hakim, seorang jaksa, seorang polisi, seorang gubernur, seorang bupati atau walikota, juga seorang agamawan seperti pastor dan pendeta.
Dengan integritas religius dimaksud bahwa religiositas seseorang bukan salah satu sektor terpisah dari kepribadiannya melainkan turut menentukan sikap orang itu dalam semua bidang kehidupannya. Integritas religius di satu pihak berarti bahwa seseorang dalam segala apa dilakukannya juga bersikap sesuai dengan kepercayaannya; jadi, tak ada bidang di mana imannya di parkir di luar. Di pihak lain integritas religius menuntut kerendahan hati yang memberikan kebebasan pada orang lain, jadi tidak mau memakai kekuasaan untuk memajukan keyakinan religiusnya.
Memudarnya integritas religius kaum beriman akhir-akhir ini, hingga banyak kaum beriman Kristen jatuh ke dalam dunia kegelapan seperti korupsi, penyalahgunaan wewenang, pelanggaran hak asasi manusia, dalam masing-masing bentuk dan modusnya, sebenarnya bisa dipandang dari persoalan pemisahan antara 'yang suci' dan 'yang profan' itu. Karena, orang Kristen yang melakukan tindakan negatif itu berpikir bahwa mereka melakukan itu bukan dalam konteks urusan dengan 'yang suci' melainkan dalam konteks urusan duniawi. Sampai-sampai lahir kesadaran kaum beriman bahwa kalau mencari rezeki dunia maka carilah dengan cara duniawi pula. Mencari rezeki di dalam dunia berarti mencarinya secara duniawi saja tanpa harus memikirkan tuntutan religiositas. Prinsipnya, parkirkan iman anda di luar sana, kalau anda ingin sukses dalam politik atau ekonomi.
Tetapi, mengapa orang sampai berani 'memarkir imannya di luar' ketika dia melakukan urusan yang berkaitan dengan peran sosio-politisnya di dalam masyarakat? Pertanyaan inilah yang mau dijawab oleh teolog Budi Kleden dalam bukunya: "Di Tebing Waktu. Dimensi Sosio-Politis Perayaan Kristen" (Maumere: Penerbit Ledalero, 2009, setebal 246 halaman).
Menurutnya, perayaan Kristen haruslah berdaya transformatif bagi dunia dan sejarah, dengan kerangka pemikirannya demikian: Karena hidup, kematian dan kebangkitan Kristus memiliki kaitan erat dengan kondisi sosio-politik, maka perayaan-perayaan keagamaan Kristen tidak dapat menutup mata terhadap realitas sosio-politik yang ada sekarang dan di sini. Tanpa memperhatikan dimensi ini dalam merayakan hari besar keagamaan Kristen maka perayaan Kristen menjadi ritualisme belaka. Budi Kleden pun menggugat kaum beragama, bahwa "jika demikian, maka perayaan keagamaan Kristen sebenarnya sedang menjauh dari sumbernya dan perlahan-lahan kehilangan kredibilitasnya."
Judul buku "Di Tebing Waktu" diambilnya dari judul sebuah puisi Ahmad Nurullah. Bagi refleksi teologis atas dimensi sosio-politis perayaan keagamaan Kristen, "tebing adalah tempat dan kesempatan kita mengalami kesadaran secara sangat intensif. Di tebing waktu kita dihadapkan pada keputusan yang menentukan. Melakukan metanoia yang jujur atau terus berkanjang dalam ritualisme yang memunggungi dunia dan sejarah adalah alternatif yang mesti dipilih. Dan pada pilihan itu akan ditentukan kredibilitas keimanan dan keagamaan kita," demikian sang teolog mempertanggungjawabkan judul bukunya.
Semua pemikiran tentang dimensi sosio-politis perayaan Kristen ditempatkan oleh penulis menurut garis waktu hari besar perayaan Kristen dan saat-saat khusus dalam perayaan keagamaan Kristen, seperti Adventus, Natal, Saat Tahun Beralih, Prapaskah, Paskah, Pentekosta dan akhirnya Peringatan Orang-orang yang sudah Meninggal. Semua pemikiran itu lahir 'di tebing waktu', karena setiap refleksi atas perayaan keagamaan Kristen itu dilakukan berdasarkan kondisi riil sosio-politis saat itu. Sebagai teolog, Budi Kleden melihat kondisi itu tidak sebagai kondisi sosio-politis begitu saja, melainkan melihatnya sebagai kondisi sosio-politis yang berdimensi religius karena yang mengalami itu adalah kaum beriman Kristen.
Karena itu, intervensi Allah ke dalam dunia selalu membawa manusia ke tebing waktu. "Hari-hari besar agama Kristen sebagai perayaan kenangan dan harapan akan intervensi Allah pun memiliki makna yang sama: membawa manusia ke tebing waktu agar dia membarui komitmen untuk melibatkan diri sebagai orang beriman di dalam kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan dunia serta sejarah."
Satu hal yang menarik bagi saya yang membidangi Filsafat Politik adalah pandangan Budi Kleden tentang pendekatan pro-eksistensi yang ditempatkannya di samping pendekatan yang sudah umum dikenal selama ini ialah pendekatan ko-eksistensi. Dengan bertolak dari seruan Filsuf Hans Jonas: "Bukalah matamu, dan engkau akan mengetahui", ia mengedepankan pendekatan pro-eksistensi. Membuka mata berarti melepaskan kita dari konsentrasi pada diri sendiri dan lalu mengarahkan pandangan kepada yang lain. Kalau kita hanya berkonsentrasi pada diri sendiri meski tidak merusakkan atau mengganggu yang lain, namun cara hidup yang demikian hanya akan membentuk orang untuk tenggelam dalam sejarah diri sendiri dan akhirnya menjadi tidak peka terhadap keadaan orang lain.
Menurut Budi Kleden, dan saya sepakat dengan itu, bahwa ungkapan Hans Jonas itu merupakan satu kritik tajam bagi agama-agama yang mengajarkan umatnya untuk mengatupkan mata, berkonsentrasi pada diri dan kelompoknya saja. Agama-agama seharusnya mendorong umatnya untuk beriman secara mendalam dan dengan mata terbuka.
Dalam kekusukan beriman, seperti dalam tindakan berdoa, kita memang bisa mengatupkan mata, tetapi itu hanya salah satu bentuk tindakan keberimanan. Karena, beriman yang matang, kalau kita tempatkan dalam pandangan Budi Kleden, adalah beriman bukan dengan mata tertutup melainkan dengan mata terbuka. Beriman dengan mata terbuka berarti kita tidak hanya ingat diri sendiri melainkan juga ingat akan sesama yang lain. Beriman dengan mata terbuka berarti kita tanggap akan sesama, tanggap akan apa yang dihadapi dan dibutuhkan oleh sesama kita, entah itu seagama ataupun tidak.
Dengan pandangan seperti ini teologi Kristen menjadi lebih berdimensi sosial dan bersifat inklusif karena memberi dasar bagi pendekatan pro-existence yang ditandai tidak saja oleh semangat hidup berdampingan secara damai tetapi juga oleh semangat hidup untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh kelompok lain.
Sedangkan pendekatan co-existence ditandai oleh adanya semangat hidup menghormati sesama atau kelompok lain, karena ada selalu merupakan ada bersama yang lain, bersama dengan kelompok lain. Jadi, setiap kelompok mendapat tempat yang sama dalam masyarakat. Adapun kelebihan pendekatan pro-existence terletak dalam kenyataan bahwa dari kelompok-kelompok itu tidak hanya dituntut sekadar hidup berdampingan secara damai melainkan juga dituntut agar kelompok-kelompok itu tanggap terhadap kelompok lain. Kalau pendekatan pro-eksistensi ini dikenakan kepada kelompok agama-agama, maka itu berarti agama-agama tidak dapat hanya berkonsentrasi pada diri sendiri dan menutup mata terhadap agama lain, melainkan juga memperhatikan kelompok agama lainnya.
Refleksi teologi politis yang demikian kita perlu pahami dalam konteks Teologi Terlibat yang dikembangkan oleh Dr. Paul Budi Kleden, SVD selama ini dalam kerangka studi filsafat-teologi di STFK Ledalero. Teologi Terlibat adalah relfeksi atas iman yang terlibat. Di sana sang teolog memandang Allah tidak hanya dalam kontemplasi diriNya yang statis melainkan memandang Allah dalam dinamikaNya sebagai Allah untuk manusia. Adapun dasar paham tentang Allah yang dinamis itu adalah pandangan Kurt Marti, teolog Protestan berkebangsaan Swiss.
Menurut Marti, Allah bukanlah kata benda melainkan kata kerja. "Tuhan adalah sebuah kata kerja", kata Marti. Pandangan ini menunjukkan bahwa Allah yang kita imani itu dan yang kita rayakan dalam hari-hari besar keagamaan sepanjang tahun itu adalah Allah yang aktif, Allah yang dinamis. Atas dasar paham keaktifan dan kedinamisan Allah itulah, Budi Kleden merefleksikan pengalaman sosio-politis kaum beriman dalam seluruh perayaan Gereja sepanjang tahun.
Oleh Dr. Phil. Norbertus Jegalus, MA.
Dengan karyanya, "Teologi Terlibat. Politik & Budaya dalam Terang Teologi" (Maumere: Penerbit Ledalero, 2003), sejak itu Dr. Paul Budi Kleden, SVD disebut sebagai teolog muda Indonesia. Dalam buku ini ia memperkenalkan teologi politik, dengan berinspirasi pada Teologi Politik Johann Babtist Metz, dalam konteks sosio-politis Indonesia.
Sejak itu ia menggugat kaum beragama di Indonesia untuk beriman secara dinamis dan sosial. Karena manusia yang beriman itu adalah manusia yang hidup bersama orang lain dalam lingkup budaya dan tatanan politis tertentu, maka beriman akan Allah tidak bisa tidak menyentuh aspek budaya dan politis dari kehidupan manusia.
Katanya, "beriman berarti mengakui keterlibatan Allah dalam kebudayaan dan politik. Namun Allah tidak masuk ke dalam lingkup budaya atau satu instrumen politis, melainkan untuk menerangi dan menjernihkan budaya dan politik dari berbagai kecenderungan dan praktik yang menghalangi manusia mengalami satu kehidupan yang bersahabat dengan diri sendiri, dengan sesama dan lingkungannya."
Menurut Budi Kleden, teologi harus melibatkan diri di dalam pergulatan manusia dan pergulatan yang paling menggetirkan akhir-akhir ini adalah pergulatannya dengan politik, khususnya wajah muram politik kita: Korupsi yang semakin diberantas justru semakin menjadi-jadi; hukum yang tidak adil, maksudnya peradilan kita masih jauh dari tujuan untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat; birokrasi pemerintahan yang lebih banyak melayani diri sendiri daripada melayani kepentingan masyarakat; telah dengan sepenuhnya kita mengakui HAM dunia namun kita hanya setengah hati melaksanakannya sebagaimana tampak dalam banyaknya pelanggaran HAM yang tidak ditangani secara memuaskan.
Singkatnya, praksis politik kita masih sangat jauh dari cerah. Semua kenyataan itu adalah pengalaman kaum beriman. Tetapi, mengapa pengalaman itu tidak diangkat ke tingkat pengalaman yang lebih eksistensial sifatnya yakni ke tingkat pengalaman spiritual-eksistensial manusia dalam kaitan dengan kehidupan beriman kaum agama?
Budi Kleden menjawab dan sekaligus menggugat kaum beriman, khususnya kaum yang menamakan dirinya Kristen, bahwa kaum beriman melakukan suatu penyimpangan besar manakala mereka memisahkan dengan tegas antara wilayah "Yang Suci" dari "yang profan". Agama direduksi menjadi sekadar urusan dengan yang suci tanpa kaitan dengan yang profan. Alhasil, ada dua sikap, yang dengan tegas dibedakan: Pertama, agama hanya berarti melulu keasyikan membaktikan diri kepada yang suci sambil mengabaikan yang profan; kedua, orang mengurus yang profan seakan-akan tidak ada kaitan dengan yang suci. "Agama tenggelam dalam ritualisme, sementara dunia hanyut dalam pragmatisme," kata Budi Kleden.
Pemisahan yang demikian memberikan gambaran bahwa cara kita beragama, cara kita beriman, adalah cara beragama atau beriman yang tidak manusiawi. Karena sebenarnya kita beriman dalam konteks bahwa kita adalah manusia yang hidup di atas dunia ini; kita adalah makhluk badan yang meroh dan roh yang membadan.
Pandangan integral tentang manusia seperti inilah yang memungkinkan kita menghayati agama sebagai pengalaman akan yang suci di tengah dunia yang profan.
Hanya atas dasar pandangan integral tentang manusia beriman inilah kita bisa berbicara tentang integritas religius seorang manusia, seorang warga negara, seorang politisi, seorang birokrat, seorang hakim, seorang jaksa, seorang polisi, seorang gubernur, seorang bupati atau walikota, juga seorang agamawan seperti pastor dan pendeta.
Dengan integritas religius dimaksud bahwa religiositas seseorang bukan salah satu sektor terpisah dari kepribadiannya melainkan turut menentukan sikap orang itu dalam semua bidang kehidupannya. Integritas religius di satu pihak berarti bahwa seseorang dalam segala apa dilakukannya juga bersikap sesuai dengan kepercayaannya; jadi, tak ada bidang di mana imannya di parkir di luar. Di pihak lain integritas religius menuntut kerendahan hati yang memberikan kebebasan pada orang lain, jadi tidak mau memakai kekuasaan untuk memajukan keyakinan religiusnya.
Memudarnya integritas religius kaum beriman akhir-akhir ini, hingga banyak kaum beriman Kristen jatuh ke dalam dunia kegelapan seperti korupsi, penyalahgunaan wewenang, pelanggaran hak asasi manusia, dalam masing-masing bentuk dan modusnya, sebenarnya bisa dipandang dari persoalan pemisahan antara 'yang suci' dan 'yang profan' itu. Karena, orang Kristen yang melakukan tindakan negatif itu berpikir bahwa mereka melakukan itu bukan dalam konteks urusan dengan 'yang suci' melainkan dalam konteks urusan duniawi. Sampai-sampai lahir kesadaran kaum beriman bahwa kalau mencari rezeki dunia maka carilah dengan cara duniawi pula. Mencari rezeki di dalam dunia berarti mencarinya secara duniawi saja tanpa harus memikirkan tuntutan religiositas. Prinsipnya, parkirkan iman anda di luar sana, kalau anda ingin sukses dalam politik atau ekonomi.
Tetapi, mengapa orang sampai berani 'memarkir imannya di luar' ketika dia melakukan urusan yang berkaitan dengan peran sosio-politisnya di dalam masyarakat? Pertanyaan inilah yang mau dijawab oleh teolog Budi Kleden dalam bukunya: "Di Tebing Waktu. Dimensi Sosio-Politis Perayaan Kristen" (Maumere: Penerbit Ledalero, 2009, setebal 246 halaman).
Menurutnya, perayaan Kristen haruslah berdaya transformatif bagi dunia dan sejarah, dengan kerangka pemikirannya demikian: Karena hidup, kematian dan kebangkitan Kristus memiliki kaitan erat dengan kondisi sosio-politik, maka perayaan-perayaan keagamaan Kristen tidak dapat menutup mata terhadap realitas sosio-politik yang ada sekarang dan di sini. Tanpa memperhatikan dimensi ini dalam merayakan hari besar keagamaan Kristen maka perayaan Kristen menjadi ritualisme belaka. Budi Kleden pun menggugat kaum beragama, bahwa "jika demikian, maka perayaan keagamaan Kristen sebenarnya sedang menjauh dari sumbernya dan perlahan-lahan kehilangan kredibilitasnya."
Judul buku "Di Tebing Waktu" diambilnya dari judul sebuah puisi Ahmad Nurullah. Bagi refleksi teologis atas dimensi sosio-politis perayaan keagamaan Kristen, "tebing adalah tempat dan kesempatan kita mengalami kesadaran secara sangat intensif. Di tebing waktu kita dihadapkan pada keputusan yang menentukan. Melakukan metanoia yang jujur atau terus berkanjang dalam ritualisme yang memunggungi dunia dan sejarah adalah alternatif yang mesti dipilih. Dan pada pilihan itu akan ditentukan kredibilitas keimanan dan keagamaan kita," demikian sang teolog mempertanggungjawabkan judul bukunya.
Semua pemikiran tentang dimensi sosio-politis perayaan Kristen ditempatkan oleh penulis menurut garis waktu hari besar perayaan Kristen dan saat-saat khusus dalam perayaan keagamaan Kristen, seperti Adventus, Natal, Saat Tahun Beralih, Prapaskah, Paskah, Pentekosta dan akhirnya Peringatan Orang-orang yang sudah Meninggal. Semua pemikiran itu lahir 'di tebing waktu', karena setiap refleksi atas perayaan keagamaan Kristen itu dilakukan berdasarkan kondisi riil sosio-politis saat itu. Sebagai teolog, Budi Kleden melihat kondisi itu tidak sebagai kondisi sosio-politis begitu saja, melainkan melihatnya sebagai kondisi sosio-politis yang berdimensi religius karena yang mengalami itu adalah kaum beriman Kristen.
Karena itu, intervensi Allah ke dalam dunia selalu membawa manusia ke tebing waktu. "Hari-hari besar agama Kristen sebagai perayaan kenangan dan harapan akan intervensi Allah pun memiliki makna yang sama: membawa manusia ke tebing waktu agar dia membarui komitmen untuk melibatkan diri sebagai orang beriman di dalam kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan dunia serta sejarah."
Satu hal yang menarik bagi saya yang membidangi Filsafat Politik adalah pandangan Budi Kleden tentang pendekatan pro-eksistensi yang ditempatkannya di samping pendekatan yang sudah umum dikenal selama ini ialah pendekatan ko-eksistensi. Dengan bertolak dari seruan Filsuf Hans Jonas: "Bukalah matamu, dan engkau akan mengetahui", ia mengedepankan pendekatan pro-eksistensi. Membuka mata berarti melepaskan kita dari konsentrasi pada diri sendiri dan lalu mengarahkan pandangan kepada yang lain. Kalau kita hanya berkonsentrasi pada diri sendiri meski tidak merusakkan atau mengganggu yang lain, namun cara hidup yang demikian hanya akan membentuk orang untuk tenggelam dalam sejarah diri sendiri dan akhirnya menjadi tidak peka terhadap keadaan orang lain.
Menurut Budi Kleden, dan saya sepakat dengan itu, bahwa ungkapan Hans Jonas itu merupakan satu kritik tajam bagi agama-agama yang mengajarkan umatnya untuk mengatupkan mata, berkonsentrasi pada diri dan kelompoknya saja. Agama-agama seharusnya mendorong umatnya untuk beriman secara mendalam dan dengan mata terbuka.
Dalam kekusukan beriman, seperti dalam tindakan berdoa, kita memang bisa mengatupkan mata, tetapi itu hanya salah satu bentuk tindakan keberimanan. Karena, beriman yang matang, kalau kita tempatkan dalam pandangan Budi Kleden, adalah beriman bukan dengan mata tertutup melainkan dengan mata terbuka. Beriman dengan mata terbuka berarti kita tidak hanya ingat diri sendiri melainkan juga ingat akan sesama yang lain. Beriman dengan mata terbuka berarti kita tanggap akan sesama, tanggap akan apa yang dihadapi dan dibutuhkan oleh sesama kita, entah itu seagama ataupun tidak.
Dengan pandangan seperti ini teologi Kristen menjadi lebih berdimensi sosial dan bersifat inklusif karena memberi dasar bagi pendekatan pro-existence yang ditandai tidak saja oleh semangat hidup berdampingan secara damai tetapi juga oleh semangat hidup untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh kelompok lain.
Sedangkan pendekatan co-existence ditandai oleh adanya semangat hidup menghormati sesama atau kelompok lain, karena ada selalu merupakan ada bersama yang lain, bersama dengan kelompok lain. Jadi, setiap kelompok mendapat tempat yang sama dalam masyarakat. Adapun kelebihan pendekatan pro-existence terletak dalam kenyataan bahwa dari kelompok-kelompok itu tidak hanya dituntut sekadar hidup berdampingan secara damai melainkan juga dituntut agar kelompok-kelompok itu tanggap terhadap kelompok lain. Kalau pendekatan pro-eksistensi ini dikenakan kepada kelompok agama-agama, maka itu berarti agama-agama tidak dapat hanya berkonsentrasi pada diri sendiri dan menutup mata terhadap agama lain, melainkan juga memperhatikan kelompok agama lainnya.
Refleksi teologi politis yang demikian kita perlu pahami dalam konteks Teologi Terlibat yang dikembangkan oleh Dr. Paul Budi Kleden, SVD selama ini dalam kerangka studi filsafat-teologi di STFK Ledalero. Teologi Terlibat adalah relfeksi atas iman yang terlibat. Di sana sang teolog memandang Allah tidak hanya dalam kontemplasi diriNya yang statis melainkan memandang Allah dalam dinamikaNya sebagai Allah untuk manusia. Adapun dasar paham tentang Allah yang dinamis itu adalah pandangan Kurt Marti, teolog Protestan berkebangsaan Swiss.
Menurut Marti, Allah bukanlah kata benda melainkan kata kerja. "Tuhan adalah sebuah kata kerja", kata Marti. Pandangan ini menunjukkan bahwa Allah yang kita imani itu dan yang kita rayakan dalam hari-hari besar keagamaan sepanjang tahun itu adalah Allah yang aktif, Allah yang dinamis. Atas dasar paham keaktifan dan kedinamisan Allah itulah, Budi Kleden merefleksikan pengalaman sosio-politis kaum beriman dalam seluruh perayaan Gereja sepanjang tahun.
POS KUPANG, Rabu, 14 April 2010 13:31
Komentar
Posting Komentar