ALAM PIKIRAN SOAL KEJAHATAN
Alam Pikiran Soal Kejahatan
Oleh: Ignas Kleden
Gejala ini meluas karena hampir segala lapisan masyarakat, dan khususnya lapisan birokrasi pemerintahan, telah dihinggapi oleh kecenderungan korupsi. Dikatakan meningkat karena korupsi bukanlah sekadar gejala kurangnya pendapatan untuk hidup seseorang atau masalah every man's need, sebagaimana dikatakan M Gandhi, melainkan masalah melemahnya kontrol dan lumpuhnya pengekangan diri atau, dalam kata-kata Gandhi, masalah every man's greed. Meningkatnya praktik korupsi tidak saja terlihat dari kian besarnya dana publik yang dikorupsi, tetapi juga meningkatnya posisi dan status pejabat publik dan politisi yang melakukannya.
Dirumuskan dalam bentuk negatif, meluasnya praktik korupsi adalah identik dengan absennya rasa takut dan hilangnya rasa malu untuk melakukan kejahatan. Orang semakin berani dan nekat berspekulasi melakukan korupsi karena ringannya hukuman untuk koruptor kakap, di samping meluasnya perasaan umum bahwa tertangkap atau tidak tertangkap adalah soal untung-untungan. Tidak semua koruptor ditangkap itu diadili dan dihukum. Hanya yang bernasib sial masuk perangkap hukum, yang kalaupun diadili dan dihukum, hukumannya sering jauh lebih ringan dari besarnya kejahatan yang dilakukannya, sementara kekayaan negara yang dirampas masih dapat dijadikan modal untuk hidup nyaman setelah bebas.
Pemimpin yang baik adalah seorang yang mengakui kerentanannya terhadap kelemahan seorang manusia yang berada dalam kekuasaan, dan siap diawasi dan dikoreksi oleh mereka yang dipimpinnya. Kekuasaan memang selalu cenderung kepada penyelewengan, tetapi rakyat yang matang akan selalu mengawasi bahwa seandainya pun pemimpinnya ingin menyelewengkan kekuasaan, kesempatan penyelewengan itu harus ditutup rapat oleh kontrol sosial. Pemimpin yang baik dan berhasil adalah dia yang membuka diri untuk diawasi, dan kepemimpinan yang diawasi kembali mengilhami dan menggairahkan rakyat yang dipimpinnya.
Oleh: Ignas Kleden
Kehidupan politik di Indonesia saat
ini telah dicederai oleh suatu kejahatan publik yang meluas dan meningkat
cepat, yaitu korupsi.
Gejala ini meluas karena hampir segala lapisan masyarakat, dan khususnya lapisan birokrasi pemerintahan, telah dihinggapi oleh kecenderungan korupsi. Dikatakan meningkat karena korupsi bukanlah sekadar gejala kurangnya pendapatan untuk hidup seseorang atau masalah every man's need, sebagaimana dikatakan M Gandhi, melainkan masalah melemahnya kontrol dan lumpuhnya pengekangan diri atau, dalam kata-kata Gandhi, masalah every man's greed. Meningkatnya praktik korupsi tidak saja terlihat dari kian besarnya dana publik yang dikorupsi, tetapi juga meningkatnya posisi dan status pejabat publik dan politisi yang melakukannya.
Kita dapat menyebut beberapa contoh.
Pejabat publik yang terlibat korupsi atau disangka terlibat. Dari kalangan
legislatif ada anggota DPR, dari kalangan eksekutif ada menteri, wakil menteri,
gubernur, bupati, atau wali kota, serta dari kalangan yudikatif para hakim
(dalam proses pengadilan dipanggil Yang Mulia) dan bahkan Ketua Mahkamah
Konstitusi, yang keputusannya bersifat final dan harus dilaksanakan. Dari
kalangan parpol, beberapa ketua umum partai terlibat dugaan kasus korupsi dalam
ukuran besar.
Bahaya Korupsi
Dirumuskan dalam bentuk negatif, meluasnya praktik korupsi adalah identik dengan absennya rasa takut dan hilangnya rasa malu untuk melakukan kejahatan. Orang semakin berani dan nekat berspekulasi melakukan korupsi karena ringannya hukuman untuk koruptor kakap, di samping meluasnya perasaan umum bahwa tertangkap atau tidak tertangkap adalah soal untung-untungan. Tidak semua koruptor ditangkap itu diadili dan dihukum. Hanya yang bernasib sial masuk perangkap hukum, yang kalaupun diadili dan dihukum, hukumannya sering jauh lebih ringan dari besarnya kejahatan yang dilakukannya, sementara kekayaan negara yang dirampas masih dapat dijadikan modal untuk hidup nyaman setelah bebas.
Rupanya sudah waktunya
mempertanyakan dengan sungguh-sungguh mengapa korupsi tidak dianggap bahaya
yang dapat menjadi ancaman terhadap negara. Ini tidak saja gejala masa
Reformasi, tetapi sudah berlangsung jauh sebelumnya. Dalam masa Orde Baru, setiap
gerakan politik dalam ukuran yang kecil saja, seperti Gerakan Soewito atau
Petisi 50, dihadapi dan ditindak langsung oleh Presiden Soeharto, sering kali
dengan menghilangkan hak-hak sipil dari mereka yang dianggap terlibat. Dalam
masa sekarang, tiap pernyataan yang merugikan citra Presiden SBY ditanggapi
secara cepat, keras, dan publik seperti kasus Bunda Putri.
Sebaliknya, kasus korupsi Ketua MK
hanya membuat Presiden terkejut meski peristiwa itu jelas membuat kepastian
hukum goyah dan limbung. Hukuman mati yang mengancam 265 TKI di luar negeri tak
membuat Presiden dan seluruh jajaran pemerintah risau, tertantang, dan
mengambil tindakan cepat untuk menyelamatkan warganya yang sering dislogankan
sebagai pahlawan devisa.
Pada titik ini, terlihat apa yang
dianggap berbahaya dalam politik Indonesia adalah tindakan yang merugikan
kekuasaan politik, mengancam ketenangan penguasa, serta menyinggung kewibawaan
dan legitimasi pemerintahan. Sementara, kita tahu, eksistensi suatu negara dan
solidnya suatu bangsa tak hanya ditentukan oleh kelangsungan yang aman dari
kekuasaan politik, tetapi juga dari kesejahteraan rakyat yang dipimpin,
perbaikan kondisi dan taraf hidup mereka, keyakinan bahwa mereka diperlakukan
secara adil dan bermartabat, yang pada gilirannya akan mengundang kepercayaan
rakyat terhadap keabsahan dan kemampuan kekuasaan yang memerintah mereka dan
terhadap penggunaan kekuasaan secara bertanggung jawab oleh pemegang kekuasaan.
Politik Indonesia disibukkan oleh
perlombaan gila-gilaan untuk memperoleh kekuasaan dengan mengeluarkan biaya
besar, tetapi tak ada kompetisi untuk memperlihatkan kemampuan menggunakan
kekuasaan atas cara yang menguntungkan rakyat. Yang lebih sering terdengar,
kekuasaan yang sudah diperoleh kemudian digunakan sebagai alat mempertukarkan
kekuasaan politik dengan keuntungan ekonomi bagi seorang pemegang jabatan
publik.Orang tak perlu mempelajari Sosiologi Pierre Bourdieu untuk memahami
bahwa modal politik dapat dipertukarkan dengan modal ekonomi sehingga politikus
dapat memperoleh keuntungan ekonomi dan seorang pengusaha dapat memperoleh
keuntungan politik. Namun, tidak setiap pertukaran adalah transaksi yang halal.
Dalam kasus kolusi, yang terjadi adalah pertukaran yang berlangsung dalam pasar
gelap tanpa pengawasan dari mana pun dan tanpa berpegang pada norma mana pun.
Korupsi dan kejahatan ekonomi lain,
seperti suap, mark up, kolusi, dan permainan alokasi anggaran dalam birokrasi,
barangkali saja tak langsung menyinggung keamanan kekuasaan politik, tidak
membahayakan posisi penguasa secara langsung dan karena itu tak segera
memancing reaksi cepat dan keras dari penguasa dan tak dihukum berat oleh
pengadilan. Di sini praktik korupsi tak dipersepsikan sebagai ancaman terhadap
negara, tetapi dilihat sebagai kekacauan administrasi atau penyelewengan
disipliner. Namun, jelas bahwa kejahatan ekonomi dalam bentuk apa pun akan
merugikan kesejahteraan umum, melukai rasa keadilan dalam masyarakat dengan
memperbesar kesenjangan antara kemakmuran yang tak wajar segelintir elite dan
kemiskinan yang juga tak wajar dari rakyat yang berhak hidup layak dalam suatu
negara merdeka yang harus melindunginya.
Alam pikiran ini, yaitu pandangan
bahwa yang dianggap sebagai kejahatan adalah perbuatan yang menentang kekuasaan
yang sah, serta pelanggaran dan penyelewengan tak lain artinya dari tindakan
yang tak menghormati martabat penguasa, rupanya merupakan suatu sistem
pengetahuan dan sistem kepercayaan dalam budaya politik Indonesia, sebagai
peninggalan dari patrimonialisme masa lalu, tatkala yang diperlakukan sebagai
subyek hanyalah patron, sementara rakyat atau para kawula hanya harta milik
atau paling banter hamba dan pelayan patronnya, dan nasib mereka tergantung
kebaikan atau kemurkaan sang patron.
Dalam kaitan itu, penerapan
demokrasi dalam politik membawa perubahan yang amat mendasar yang
menjungkirbalikkan pandangan lama secara radikal. Kedudukan patron dan
rakyatnya disetarakan oleh hukum. Kekuasaan patron dianggap tak berasal dari
sumber-sumber di luar dunia, tetapi berasal dari rakyat yang mendelegasikannya
kepada pemimpin mereka. Dengan demikian, pelanggaran dan kejahatan terhadap
kesejahteraan dan hak-hak rakyat sama berbahayanya dengan pelanggaran terhadap
kekuasaan politik. Konsep kepemimpinan pun turut berubah. Pemimpin yang baik
bukanlah seorang panutan yang punya bakat dan kebajikan etis yang lebih banyak
dari rakyat yang dipimpinnya serta membawa dalam dirinya suatu superioritas
moral yang membuatnya jadi pribadi panutan yang harus dicontoh begitu saja oleh
rakyatnya. Dalam demokrasi, pemimpin bukanlah manusia unggul, melainkan manusia
biasa yang dipercaya rakyat untuk memimpin mereka, dan kualitas kepemimpinannya
sangat tergantung interaksinya dengan mereka yang dipimpinnya.
Kontrol Sosial
Pemimpin yang baik adalah seorang yang mengakui kerentanannya terhadap kelemahan seorang manusia yang berada dalam kekuasaan, dan siap diawasi dan dikoreksi oleh mereka yang dipimpinnya. Kekuasaan memang selalu cenderung kepada penyelewengan, tetapi rakyat yang matang akan selalu mengawasi bahwa seandainya pun pemimpinnya ingin menyelewengkan kekuasaan, kesempatan penyelewengan itu harus ditutup rapat oleh kontrol sosial. Pemimpin yang baik dan berhasil adalah dia yang membuka diri untuk diawasi, dan kepemimpinan yang diawasi kembali mengilhami dan menggairahkan rakyat yang dipimpinnya.
Pandangan baru ini memerlukan waktu
untuk diterima dalam penghayatan publik dan membutuhkan sosialisasi yang
terus-menerus. Namun, sosialisasi itu tidak cukup hanya berupa pengetahuan baru
yang diperoleh melalui ceramah, kursus, dan nasihat-nasihat, tetapi harus
dialami dalam praksis politik. Masyarakat perlu mengalami dalam kenyataan
politik bahwa subversi ekonomi melalui korupsi dan penyelewengan ekonomi sama
berbahayanya untuk negara dibandingkan dengan subversi politik, yang bertujuan
menggulingkan pemerintahan yang sah. Karena, subversi ekonomi mengkhianati
kesejahteraan dan kepentingan rakyat, melukai keadilan umum, memperlemah
kepercayaan rakyat terhadap kemampuan dan kesungguhan pemegang kekuasaan, dan
atas cara itu membuat legitimasi politik menjadi rapuh, cepat atau lambat.
Salah satu sosialisasi yang efektif
adalah bentuk dan beratnya hukuman terhadap koruptor dan calon koruptor. Usul
menghukum koruptor dengan memotong jari tangan tak ada manfaatnya untuk
masyarakat yang dirugikan, kecuali memberi sedikit kepuasan emosional. Hukuman
yang bermanfaat dapat mengambil dua bentuk. Pertama, korupsi dan penyelewengan
dana publik perlu dihadapi dengan sanksi ekonomi bagi pelaku dengan prosedur
pemiskinan melalui putusan pengadilan, dengan cara melipatgandakan ganti rugi
bagi uang negara yang dikorupsi. Seorang yang korupsi Rp 1 miliar harus
membayar kembali 2-3 tiga kali lipat dari dana yang telah diambilnya.
Pelipatgandaan ganti rugi itu bertujuan mengembalikan uang negara yang dikorupsi
dan membayar kerugian nonmateril yang timbul karena tiap tindakan korupsi
dengan sendirinya menyebarluaskan kebiasaan buruk di antara warga negara.
Kedua, berkurangnya kesejahteraan
masyarakat karena perbuatan korupsi harus dikompensasi oleh "kerja
bakti" untuk memulihkan kesejahteraan masyarakat, dengan kegiatan yang
bermanfaat bagi masyarakat yang dirugikan, tanpa menerima bayaran. Mereka bisa
disuruh membersihkan jalan-jalan dalam kota, mengangkut sampah dari pasar,
membersihkan gorong-gorong dan parit, merapikan taman kota, mengecat
gedung-gedung pemerintah yang telah lusuh catnya, memperbaiki kabel listrik dan
kabel telepon yang rusak dan beragam pekerjaan lain yang bermanfaat bagi
masyarakat. Kerja sosial ini diharap dapat menghidupkan kembali rasa malu (dan
rasa bersalah) dalam diri para koruptor, melalui demonstration effect
hukumannya. Korupsi yang meluas secara ganas hanya dapat dihadapi dengan
tindakan punitif yang sama kerasnya. Kalau tidak, dia akan hidup subur dalam
suatu impunitas karena tiadanya kemauan dan keberanian politik untuk
menghentikannya.
Ignas Kleden, Ketua Badan Pengurus
Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
Kamis, 17 Oktober 2013
Komentar
Posting Komentar