SOLE OHA
“SOLE OHA”
---------------
Anselmus D. Atasoge
UIN SUKA JOGYA
Komunitas Studi Kreatif Flores
Minggu, 15 September 2019, saya menjumpai Yohanes Nama (52 tahun), asal Lewobunga, di Karing Lamalouk, Adonara Timur. Kepada saya, dia berkisah tentang Sole Oha. Baginya, Sole Oha merupakan tarian milik orang Lamaholot yang syarat nuansa edukatifnya.
Bagi masyarakat Adonara, Sole Oha merupakan sebuah tarian tradisional yang dibawakan secara komunal dalam momen-momen tertentu seperti pada saat pembuatan rumah adat, pesta perkawinan, pesta imam baru (Katolik) dan pesta Haji. Tidak seperti tarian-tarian pada umumnya, inti Sole Oha adalah pada pantun-pantun yang didendangkan dalam tarian tersebut.
Isi pantun disesuaikan dengan tema perayaan. Ketika dibawakan dalam syukuran pembangunan rumah adat, pantun Sole Oha mengisahkan tentang seluruh proses ritual pembangunan rumah adat. Biasanya juga disertai dengan pantun-pantun yang menuturkan tentang sejarah lahirnya kampung dan suku-suku yang mendiami kampung tersebut. Pantun-pantun Sole Oha dalam pesta perkawinan berisikan kisah cinta para muda-mudi ala tradisional. Pria dan wanita muda yang terlibat dalam Sole Oha juga bisa saling berbalas pantun. Dahulu, pria dan wanita akan memulai kisah percintaan mereka bermula dari saling berbalas pantun dalam Sole Oha. Pantun Sole Oha yang dibawakan dalam perayaan syukur imam baru dan haji berisikan kisah perjalanan seseorang dari lahir sampai dia menggapai cita-cita sebagai imam Katolik dan perjuangan seseorang hingga ziarah ke Tanah Suci (Haji). Sole Oha juga dibawakan dalam perayaan perdamaian pasca konflik antarsuku atau antarkampung. Yohanes Nama berkisah bahwa pasca warga desa Lewobunga dan Narasaosina ‘perang’, Sole Oha digelar. Di dalamnya, para pemantun mendendangkan syair-syair perdamaian. Saat itu, narasi-narasi tentang sejarah persaudaraan kedua desa tersebut didendangkan. Di dalamnya juga dimunculkan tentang sebab-musabab terjadinya konflik hingga pelbagai usaha untuk mendamaikan keduanya.
“Mela tabe hode limat,
Sare tabe gawak jalet
Pai buaret, teka tenu”
[Mari berbaik, jabat tangan sambil berpeluk.
Mari makan dan minum bersama]
“Pana pai pupu taan tou
Gawe haka lekat taan ehan”
[Mari berkumpul bersatu, bekerja bersama.
Datang kemari kita bercampur bersama].
Demikianlah sepenggal syair pantun dalam Sole Oha yang mengajak para pihak yang berkonflik, yang sedang bermusuhan untuk berbaik dan berdamai kembali. Demikianlah, Sole Ola menjadi media yang membangkitkan kesadaran masyarakat Lamaholot yang sedang bertikai, berkonflik untuk membuka kembali tali-tali persaudaraan dalam semangat kekeluargaan. Pantun-pantun dengan pesan serupa disampaikan pula oleh Pankrasius Lamatokan, seorang seniman Sole Oha dari Desa Honihama, Witihama, Adonara, saat saya menjumpainya di Karing Lamalouk, ditemani sejumlah seniman Sole Oha (Yohanes Kopong Lamatokan, Agustinus Boro Jadi, Yulius Narek Ola, David Daton Wara dan Bernardus Geli).
“Pana pai pupu oneket taan tou”
“Gere haka anin yonet taan tou”.
Pantun-pantun dalam Sole Oha adalah pantun-pantun yang lahir dengan sendirinya dalam pikiran para pemantun ketika mereka terinspirir oleh orang pertama yang membuka pantun dalam Sole Oha. Tak ada teks yang disiapkan sebelumnya. Teks akan lahir dengan sendirinya ketika konteks telah mengusai diri mereka. Konteks utama adalah tema perayaan yang disole-ohakan. Karena itu, diakui bahwa tidak semua orang bisa saling berbalas pantun dalam Sole Oha. Para pemantun adalah pribadi-pribadi khusus (pada umumnya para tetua) yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang ritual tertentu atau suku, kampung atau pribadi-pribadi tertentu atau peristiwa sejarah tertentu yang menjadi tema yang disoroti dalam Sole Oha.
Mereka menyebutnya dengan istilah pantun, tapi sesungguhnya itu bukan pantun pada umumnya yang memiliki rumus-rumusnya, melainkan tuturan kisah naratif tentang sepenggal kehidupan seseorang atau suku atau kampung. Namun, kisah-kisah naratif itu mengandung bahasa-bahasa simbolik sastrawi sehingga tak muda dipahami dengan sendirinya. Pilihan katanya bernuansa konotatif, asosiatif dengan majas-majas perbandingan yang panjang-panjang. Meski demikian, pantun-pantun serentak dipandang sebagai ‘koda’ (sabda para leluhur) yang disampaikan melalui mulut para pemantun. Karena itu, mereka meyakini bahwa ‘koda’ dalam Sole Oha wajib dituruti.
Sole Oha tergolong tarian berdurasi panjang. Semalam suntuk dia bisa ditarikan. Semalam suntuk itu pula lahir ribuan ‘koda’ dengan pesan-pesan tematisnya. Di Karing Lamalouk, Minggu, 15 September 2019, saya menyaksikannya semalam suntuk. Tak ada kelelahan yang nampak pada wajah para penarinya, apalagi para pemantunnya. Semakin larut pantun semakin berbalas hingga mentari pagi mulai memerah dan menyelinap di balik dedaunan kemiri di punggung-punggung bukit Lamalouk.
***
---------------
UIN SUKA JOGYA
Komunitas Studi Kreatif Flores
Minggu, 15 September 2019, saya menjumpai Yohanes Nama (52 tahun), asal Lewobunga, di Karing Lamalouk, Adonara Timur. Kepada saya, dia berkisah tentang Sole Oha. Baginya, Sole Oha merupakan tarian milik orang Lamaholot yang syarat nuansa edukatifnya.
Bagi masyarakat Adonara, Sole Oha merupakan sebuah tarian tradisional yang dibawakan secara komunal dalam momen-momen tertentu seperti pada saat pembuatan rumah adat, pesta perkawinan, pesta imam baru (Katolik) dan pesta Haji. Tidak seperti tarian-tarian pada umumnya, inti Sole Oha adalah pada pantun-pantun yang didendangkan dalam tarian tersebut.
(Foto: Disparbud Flotim)
Isi pantun disesuaikan dengan tema perayaan. Ketika dibawakan dalam syukuran pembangunan rumah adat, pantun Sole Oha mengisahkan tentang seluruh proses ritual pembangunan rumah adat. Biasanya juga disertai dengan pantun-pantun yang menuturkan tentang sejarah lahirnya kampung dan suku-suku yang mendiami kampung tersebut. Pantun-pantun Sole Oha dalam pesta perkawinan berisikan kisah cinta para muda-mudi ala tradisional. Pria dan wanita muda yang terlibat dalam Sole Oha juga bisa saling berbalas pantun. Dahulu, pria dan wanita akan memulai kisah percintaan mereka bermula dari saling berbalas pantun dalam Sole Oha. Pantun Sole Oha yang dibawakan dalam perayaan syukur imam baru dan haji berisikan kisah perjalanan seseorang dari lahir sampai dia menggapai cita-cita sebagai imam Katolik dan perjuangan seseorang hingga ziarah ke Tanah Suci (Haji). Sole Oha juga dibawakan dalam perayaan perdamaian pasca konflik antarsuku atau antarkampung. Yohanes Nama berkisah bahwa pasca warga desa Lewobunga dan Narasaosina ‘perang’, Sole Oha digelar. Di dalamnya, para pemantun mendendangkan syair-syair perdamaian. Saat itu, narasi-narasi tentang sejarah persaudaraan kedua desa tersebut didendangkan. Di dalamnya juga dimunculkan tentang sebab-musabab terjadinya konflik hingga pelbagai usaha untuk mendamaikan keduanya.
“Mela tabe hode limat,
Sare tabe gawak jalet
Pai buaret, teka tenu”
[Mari berbaik, jabat tangan sambil berpeluk.
Mari makan dan minum bersama]
“Pana pai pupu taan tou
Gawe haka lekat taan ehan”
[Mari berkumpul bersatu, bekerja bersama.
Datang kemari kita bercampur bersama].
Demikianlah sepenggal syair pantun dalam Sole Oha yang mengajak para pihak yang berkonflik, yang sedang bermusuhan untuk berbaik dan berdamai kembali. Demikianlah, Sole Ola menjadi media yang membangkitkan kesadaran masyarakat Lamaholot yang sedang bertikai, berkonflik untuk membuka kembali tali-tali persaudaraan dalam semangat kekeluargaan. Pantun-pantun dengan pesan serupa disampaikan pula oleh Pankrasius Lamatokan, seorang seniman Sole Oha dari Desa Honihama, Witihama, Adonara, saat saya menjumpainya di Karing Lamalouk, ditemani sejumlah seniman Sole Oha (Yohanes Kopong Lamatokan, Agustinus Boro Jadi, Yulius Narek Ola, David Daton Wara dan Bernardus Geli).
“Pana pai pupu oneket taan tou”
“Gere haka anin yonet taan tou”.
Pantun-pantun dalam Sole Oha adalah pantun-pantun yang lahir dengan sendirinya dalam pikiran para pemantun ketika mereka terinspirir oleh orang pertama yang membuka pantun dalam Sole Oha. Tak ada teks yang disiapkan sebelumnya. Teks akan lahir dengan sendirinya ketika konteks telah mengusai diri mereka. Konteks utama adalah tema perayaan yang disole-ohakan. Karena itu, diakui bahwa tidak semua orang bisa saling berbalas pantun dalam Sole Oha. Para pemantun adalah pribadi-pribadi khusus (pada umumnya para tetua) yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang ritual tertentu atau suku, kampung atau pribadi-pribadi tertentu atau peristiwa sejarah tertentu yang menjadi tema yang disoroti dalam Sole Oha.
Mereka menyebutnya dengan istilah pantun, tapi sesungguhnya itu bukan pantun pada umumnya yang memiliki rumus-rumusnya, melainkan tuturan kisah naratif tentang sepenggal kehidupan seseorang atau suku atau kampung. Namun, kisah-kisah naratif itu mengandung bahasa-bahasa simbolik sastrawi sehingga tak muda dipahami dengan sendirinya. Pilihan katanya bernuansa konotatif, asosiatif dengan majas-majas perbandingan yang panjang-panjang. Meski demikian, pantun-pantun serentak dipandang sebagai ‘koda’ (sabda para leluhur) yang disampaikan melalui mulut para pemantun. Karena itu, mereka meyakini bahwa ‘koda’ dalam Sole Oha wajib dituruti.
(Foto: Disparbud Flotim)
***
Komentar
Posting Komentar