KETERBUKAAN PADA DIMENSI SIMBOLIK LAMAHOLOT

KETERBUKAAN PADA DIMENSI SIMBOLIK LAMAHOLOT
(Sebuah sisipan kecil pada Festival Lamaholot Flores Timur)
------------


Oleh Anselmus D. Atasoge
UIN Sunan Kalijaga Yogya dan Komunitas Studi Kreatif Larantuka - Flores Timur


Bumi Lamaholot Flores Timur adalah ‘negeri’ yang kaya akan ‘ritual-ritual budaya’. Boleh disebut ‘Negeri Seribu Ritus’. Ritus-ritus pada umumnya tak terbebaskan dari simbol-simbol. Paul Avis bilang bahwa melalui simbol “orang memikirkan sesuatu dalam bentuk yang lain”. Ada dua aspek penting dalam pengertian simbol ini yakni “membayangkan satu hal”  dan “dalam bentuk yang lain”. Hal pertama berkaitan dengan tindakan membayangkan yang berhubungan erat dengan aktivitas imaginatif manusia. Hal kedua berkaitan dengan kemampuan manusia untuk mengabstrasikan sesuatu yang dibayangkan dalam bentuk tertentu.

Pertama, simbol dan imaginasi. Tindakan membuat dan atau membaca simbol membutuhkan imaginasi. Ketika simbol digunakan dan ditanggapi atau dibaca arti dan maknanya, ketika itu pembaca dan penanggapnya membutuhkan imaginasi. Setiap orang atau kelompok yang membuat atau membaca simbol mengerahkan seluruh kekuatan kreatifnya. Tindakan penyimbolan tersebut menuntut sikap aktif dari pencipta dan pembaca simbol. Demikian pula, untuk sampai pada pemahaman yang komprehensif terhadap sebuah simbol, para pencari arti dan makna simbol diharuskan untuk berpartisipasi di dalamnya hingga masuk ke dalam imaginasi tersebut dengan terlibat langsung dan aktif dalam realitas yang diimaginasikan tersebut. Sebab, menurut Avis, imaginasi adalah lingkungan simbolisme.

Kedua, simbol dan bentuk. Bagi Avis, bentuk merupakan kunci untuk simbol. Simbol diabstrasikan dalam bentuk serentak pula mengandung esensi dari simbol. Bentuk membuat simbol menjadi nyata. Bentuk membuat apa yang diimaginasikan dapat diindrai. Di titik ini, Avis membuat penegasan terhadap apa yang pernah digagaskan oleh Susane Langer bahwa kekuatan pemahaman terhadap simbol terdapat pada bentuk yang dapat diindrai atau pada simbol yang mewujud dalam bentuk.

Mengerti dan memahami simbolisme-simbolisme serta menarik pesan-pesan aplikatifnya adalah pekerjaan yang mesti dilakukan agar budaya Lamaholot tidak tinggal sebagai artefak-artefak pada sebuah zaman tempo dulu saja melainkan terus hidup dan bermakna. Hemat saya,  pekerjaan itu merupakan pekerjaan penting ketika masyarakat Lamaholot zaman sekarang yang telah memasuki kehidupan yang multidimensi dapat menemui kembali keberakaran jati dirinya (dari mana dia datang), dapat memposisikan dirinya sebagai manusia Lamaholot (di mana dia berada sekarang) dan dapat menentukan masa depannya (ke mana dia selanjutnya). Hal ini penting sebagai basis eksistensial masyarakat Lamaholot. Selain itu, mengerti dan memahami simbolisme-simbolisme serta menarik pesan-pesan aplikatifnya merupakan juga sebuah usaha untuk mengalami kembali, merekonstruksi apa yang telah dibangun oleh leluhur Lamaholot serentak masuk ke dalam struktur-struktur pemikirannya hingga menemukan makna dan pesan yang tersirat di dalamnya.

Jika ditelusuri, ritual-ritual Lamaholot tak terpisahkan dari konsep mereka tentang realitas metafisik dan realitas fisik. Bagian-bagian ritual seperti ritual-ritual pertanian (sebelum, pada saat dan sesudah menanam serta pasca panen) ditata sedemikian rupa untuk menghadirkan dan memberi tempat kepada ‘yang ilahi’ (Lera Wulan Tana Ekan/Alapet/leluhur) yang berada di dunia metafisik dan juga kepada ‘yang sosial’ (alam semesta dan manusia) yang menempati dunia fisik. Atau, dalam ungkapan Emile Durkheim, sebagai ‘yang sakral’ dan ‘yang profan’. Jika, Durkheim memisahkan secara tegas kedua dunia tersebut, masyarakat Lamaholot sebaliknya melihatnya sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Bagi mereka, keduanya merupakan sebuah entitas yang tak terceraikan.

Saya mencoba menarik beberapa konsekuensi logis dari gagasan tersebut. Pertama, simbolisme dalam ritual-ritual Lamaholot dapat dipandang sebagai sebuah hierofani, yaitu manifestasi dari ‘yang kudus/ilahi’ di dalam dunia sekuler. Menurut Mircea Aliade, simbol dapat meneruskan proses hierofanisasi dan secara khusus simbol dapat menjadi sebuah hierofani tersendiri. Ritual gili bolak, bau lolon, pau kewokot dan Tonu Wujo dalam ritual-ritual pertanian membahasakan konsep proses hierofanisasi Aliade. Hierofani dalam alam pemikiran masyarakat Lamaholot dipengaruhi oleh pandangan mereka tentang ‘yang ilahi/yang kudus’. Melalui ritual-ritual itu ‘yang ilahi’ didekatkan untuk berpartisipasi dan menguasai ruang dan waktu dalam sistem pertanian mereka. Lera Wulan Tana Ekan/Alapet/leluhur yang metafisik yang diyakini memiliki kekuatan yang tak terbatas menjadi pribadi-pribadi yang padanya para petani Lamaholot menggantungkan cita-cita pertanian yakni kesuburan tanaman dan panenan yang melimpah. Karena itu, ritual-ritual mesti dijalankan dalam kerangka pencapaian cita-cita tersebut. Inilah salah satu alasan mengapa masyarakat petani Lamaholot melaksanakan ritual-ritual tersebut.

Salah satu bacaan lanjutan dari gagasan ini adalah bahwa melalui ritual simbolik Lamaholot dapat ditelusuri struktur konseptual keagamaan masyarakat. Dengan mengikuti alur pemikiran Geerzt, ritual-ritual simbolik dapat dipandang sebagai wahana yang mensintesiskan dan mengintegrasikan dunia nyata dan dunia yang dibayangkan. Menurutnya, melalui simbol, apa yang dibayangkan oleh para penganut agama sebagai yang jauh, yang suci, yang transenden memperoleh perwujudannya dan dengan demikian simbol memberi bantuan bagi para penganut agama untuk menambah kekuatan kepercayaan mereka terhadap yang jauh, yang suci, yang transenden. Atau, dalam ungkapan Eliade, simbolisme dapat menciptakan solidaritas tetap antara manusia dan ‘yang kudus’. Konsepsi tradisional antropomorfistis dikonstruksi untuk melukiskan realitas ‘yang ilahi’. ‘Yang ilahi’ yang tak terjangkau oleh indra dikonsepsikan dalam realitas ‘yang sosial’ melalui benda-benda alami dan juga benda-benda ciptaan manusia. Benda-benda itu menjadi simbol ‘yang ilahi’. Dalam dan melalui benda-benda itu, ‘yang ilahi’ dipikirkan dan dimaknai. Karenanya, ide tentang ‘yang ilahi’ tak terlepaskan dari elemen-elemen dan konsep-konsep antropomorfis.

Kedua, ritual-ritual tersebut melukiskan karakter sosial masyarakat Lamaholot. Masyarakat Lamaholot adalah masyarakat komunal. Kesatuan kesukuan (kelompok marga) sangat dominan tanpa mengabaikan posisi dan peran individu dalam kesukuan. Nuansa komunalnya lahir dari pandangan mereka tentang manusia. Dalam ungkapan Lamaholot, manusia disebut atadiken, yang berarti orang baik (Ata berarti orang, diken berarti baik). Manusia-manusia yang baik ini diyakini pula sebagai manusia yang berasal dari seorang bapa dan seorang ibu yang sama (mereka menyebutnya dengan ungkapan ina tou, ama ehan), yang kemudian dikelompokkan dalam suku, kampung dan seterusnya. Pandangan tentang manusia sebagai satu-kesatuan menjadi salah satu point kunci untuk memahami kebersatuan masyarakat komunal Lamaholot dalam ritual-ritualnya.

Ritual-ritual Lamaholot pun dapat dipandang sebagai simbol kesatuan. Durkheim menyakini bahwa totemisme masyarakat Arunda Australia terkait erat dengan bentuk paling sederhana dari organisasi sosial yakni klan di mana dia hadir sebagai simbol yang menciptakan harmoni dalam organisasi tersebut. Ritual-ritual masyarakat Lamaholot pun mengandung intensi tersebut. Atau, dari sudut pandang Firth, simbol mempunyai peranan penting sebagai penegak tatanan sosial. Firth memandang simbol sebagai sarana yang membantu manusia menata dan menafsirkan realitas serta merekonstruksi kehidupannya.

Hal serupa ditegaskan pula oleh Mary Douglas yang meletakkan keyakinannya akan peran simbol-simbol dalam masyarakat. Baginya, simbol berperan menata masyarakat serentak mengungkapkan kosmologi masyarakat pencipta dan pengguna simbol. Douglas menyimbolkan masyarakat sebagai tubuh manusia. Sebagaimana tubuh manusia terdiri atas unsur-unsur yang membangunnya dan selanjutnya manusia berusaha menciptakan tatanan dalam dirinya serta mengendalikan tatanan itu agar berjalan sesuai fungsi dan perannya, demikianpun manusia menciptakan pelbagai sarana dan kategori-kategori sosialnya untuk menata kehidupan bersamanya sebagai masyarakat. Douglas menekankan pemerkaitan relasional antara satu organisme (manusia) dengan sebuah keseluruhan (masyarakat).


Akan tetapi, nuansa komunal masyarakat Lamaholot yang terlahir dan terkandung dari dan dalam ritual-ritual yang berakar pada konsep-konsep tentang ketuhanan dan kemanusiaannya patut diberi catatan bahwasanya dia tidak muncul dengan sendirinya. Penulis melihat bahwa ritual simbolik dengan semua tata aturannya dan kewajiban yang harus dilalui sebagai syarat mutlak akan jaminan kemapananlah yang menjadi faktor  dominan komunalitas Lamaholot. Dengan itu, ritual dihadirkan sebagai paradigma komunal yang koersif berkenaan dengan sisi normatifnya tersebut. Sementara itu, idealisme simbol sebagai sarana penata dan penafsir realitas dan rekonstruksi atasnya merupakan dampak lanjutannya. Kita berharap idealisme-idealisme semacam ini tidak terlewatkan dalam setiap momen festival budaya Lamaholot!


Ruang Privat
Lebao, 12 September 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WAIBALUN - JATI DIRI

TERUNTUK PATER BERNAD MULLER, SVD

KRITIK BUDI (Refleksi Singkat untuk HUT Pater Budi Kleden SVD)