TERIMAKASIH DALAM SYUKUR
TERIMAKASIH DALAM SYUKUR
-----
Oleh Hermien Y. Kleden
Tepat sebulan lalu,saya menulis sebuah tribut pendek di laman ini untuk menyampaikan selamat jalan bagi Kakak Maria Fatima Kleden – Samon, sekandung kami nomor sepuluh, isteri, ibunda tiga putra-putri, kekasih keluarga, yang mangkat pada awal Juni lalu. Berangkat ke Waibalun dan Adonara, Flores Timur, untuk membuat persiapan awal bagi Yubileum Pancawindu Imamat Pater Leo Kleden SVD, sekandung kami nomor enam, Tuhan berkenan membawa Kak Maria, kembali “pada waktuNYA’ ke dalam keabadian.
Hari-hari perkabungan bergerak perlahan, dan kami sekeluarga kini bertegak kembali, melanjutkan perjalanan semata-mata atas berkat Tuhan. Dalam tradisi Lamaholot – Waibalun ada sebuah kata yang yang melukiskan adat perkabungan: do. Ya, do -- sesingkat itu, dan seluas itu pula pengertian yang dikandungnya, tentang “berjalan bersama yang pergi”. Do, adalah tanda berkabung, to mourn over someone who has passed away.
Di masa kanak-kanak, saya teringat betapa ibu dan nenek saya mengenakan “ina miten” -- kain hitam yang dijahit seperti sarung, diselubungkan menutupi tubuh dan lengan. Ketika nenek kami meninggal, Mama mengenakan tanda dukacita ini selama setahun – dan hanya membuka kain hitam itu pada hari-hari tertentu semisal harus menghadiri upacara pernikahan sanak-famili.
Saya pribadi, mengambil waktu do, perkabungan pribadi, selama sebulan. Hari ini, saya melaksanakan, “buka do” – menggenapi tanda perkabungan, dalam syukur, seraya menyimpan seluruh kenangan bahagia bersama MamaOa – begitu kami menyebut Kak Maria, sebagai kekuatan dan peneguhan perjalanan selanjutnya.
Kekuatan itu,sejatinya, tidak lahir dari ruang kosong – melainkan dari penyertaaan keluarga, kerabat, handai-taulan, dan teman-teman sekalian yang telah memberikan dukungannya ketika tribut singkat itu disampaikan di laman FB ini sebulan lampau. Ratusan petikan doa, ucapan belasungkawa, kata-kata penghiburan, mau pun penyertaan simpati melalui emoji, mengalir deras, seperti sebatang sungai yang mengalunkan kesejukan ke atas bara kesusahan,.
Terimakasih limpah-limpah untuk setiap tanda penyertaan yang telah turut memampukan kami sekeluarga besar untuk tegak kembali. Saya tidak dapat menyebut ratusan nama para sahabat dan kerabat satu per satu.
Maka, izinkanlah saya menyampaikan hormat dan terimakasih kami ke segala asal salam, doa, dan penghiburan itu : Waibalun Larantuka, Adonara, Solor, Lembata, Ledalero - Maumere, Jopu, Nggela - Ende- Lio, Bajawa, Manggarai, Kupang, Soe, Mollo, Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang,Yogyakarta, Muntilan, Bogor, Sawangan - Depok, Tangerang, Bali, Riau, Medan, Padang, Palembang, Roma, Brussel, Jenewa, London, Seatle, Houston, Washington DC, Paris, Seoul, Sofia- Bulgaria, India, Jordan, Melbourne, – dan berbagai tempat lain yang, mohon maaf, tak semuanya, tercatat dalam ingatan.
Di sebuah pusara pribadi nan asri-teduh, di Lembah Lambunga, Kak Maria telah dibaringkan dengan kepala mengarah ke Ile Boleng – gunung kesayangan seluruh Tana Adonara. Seturut adat setempat, setiap jasad dikebumikan dengan kepala menghadap gunung yang hijau membiru dalam sunyi itu – di mana arwah para leluhur, dipercaya bersemayam sebelum menyatu kembali dengan Lehuran Tana Ekan, Tuhan Langit dan Bumi.
Tatkala Ekaristi “Tujuh Hari” dilangsungkan pada 10 Juni lalu, halaman rumah Keluarga Kakak Frans Samon -- suami mendiang Kak Maria – dipadati seribu lebih umat. Pater Leo Kleden SVD memimpin misa konselebrasi bagi arwah saudarinya -- dengan altar utama di depan pusara. Koor misa membahana, meledakkan kesunyian lembah bersuhu 16 – 18 derajat Celcius -- pada malam hari ---melalui paduan sopran, alto, tenor, bas – menaikkan pujian berlanggam etnik Adonara
Paduan suara penduduk Desa Lambunga pada malam itu, seperti mengantarkan kesayangan hati di atas perahu menuju matahari terbenam, menembangkan kenangan ke segala sudut hati yang tengah berjuang memulihkan retak, merengkuh pulang para leluhur untuk turut hadir dalam perjamuan suci - 10 Juni 2019.
Hampir separuh peserta misa konselebrasi malam itu adalah saudara-saudari kami yang muslim dan muslimah: para sepupu, paman-bibi, adik-kakak, sanak-kerabat, warga desa, dari pertalian darah keluarga Adonara.
Itulah sebuah malam yang patut dikenang tatkala sukacita diintegrasikan ke dalam dukacita, ketika pujian Requiem berpadu di Langit Tuhan bersama Al-Fatihah…di bawah cahaya bintang bulan Juni.
Kami sekeluarga besar, tak mampu , tak akan pernah mampu, membalas kebaikan dan penghiburan dari setiap sahabat yang telah menyatakan kehadirannya pada hari-hari berat itu. Kiranya, Sang Alfa - Omega, Tuhan Awal dan Akhir, mengganjar kebaikanmu sekalian, dengan limpah, dengan berganda-ganda, kini dan kelak.
-----
Oleh Hermien Y. Kleden
Tepat sebulan lalu,saya menulis sebuah tribut pendek di laman ini untuk menyampaikan selamat jalan bagi Kakak Maria Fatima Kleden – Samon, sekandung kami nomor sepuluh, isteri, ibunda tiga putra-putri, kekasih keluarga, yang mangkat pada awal Juni lalu. Berangkat ke Waibalun dan Adonara, Flores Timur, untuk membuat persiapan awal bagi Yubileum Pancawindu Imamat Pater Leo Kleden SVD, sekandung kami nomor enam, Tuhan berkenan membawa Kak Maria, kembali “pada waktuNYA’ ke dalam keabadian.
Hari-hari perkabungan bergerak perlahan, dan kami sekeluarga kini bertegak kembali, melanjutkan perjalanan semata-mata atas berkat Tuhan. Dalam tradisi Lamaholot – Waibalun ada sebuah kata yang yang melukiskan adat perkabungan: do. Ya, do -- sesingkat itu, dan seluas itu pula pengertian yang dikandungnya, tentang “berjalan bersama yang pergi”. Do, adalah tanda berkabung, to mourn over someone who has passed away.
Di masa kanak-kanak, saya teringat betapa ibu dan nenek saya mengenakan “ina miten” -- kain hitam yang dijahit seperti sarung, diselubungkan menutupi tubuh dan lengan. Ketika nenek kami meninggal, Mama mengenakan tanda dukacita ini selama setahun – dan hanya membuka kain hitam itu pada hari-hari tertentu semisal harus menghadiri upacara pernikahan sanak-famili.
Saya pribadi, mengambil waktu do, perkabungan pribadi, selama sebulan. Hari ini, saya melaksanakan, “buka do” – menggenapi tanda perkabungan, dalam syukur, seraya menyimpan seluruh kenangan bahagia bersama MamaOa – begitu kami menyebut Kak Maria, sebagai kekuatan dan peneguhan perjalanan selanjutnya.
Kekuatan itu,sejatinya, tidak lahir dari ruang kosong – melainkan dari penyertaaan keluarga, kerabat, handai-taulan, dan teman-teman sekalian yang telah memberikan dukungannya ketika tribut singkat itu disampaikan di laman FB ini sebulan lampau. Ratusan petikan doa, ucapan belasungkawa, kata-kata penghiburan, mau pun penyertaan simpati melalui emoji, mengalir deras, seperti sebatang sungai yang mengalunkan kesejukan ke atas bara kesusahan,.
Terimakasih limpah-limpah untuk setiap tanda penyertaan yang telah turut memampukan kami sekeluarga besar untuk tegak kembali. Saya tidak dapat menyebut ratusan nama para sahabat dan kerabat satu per satu.
Maka, izinkanlah saya menyampaikan hormat dan terimakasih kami ke segala asal salam, doa, dan penghiburan itu : Waibalun Larantuka, Adonara, Solor, Lembata, Ledalero - Maumere, Jopu, Nggela - Ende- Lio, Bajawa, Manggarai, Kupang, Soe, Mollo, Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang,Yogyakarta, Muntilan, Bogor, Sawangan - Depok, Tangerang, Bali, Riau, Medan, Padang, Palembang, Roma, Brussel, Jenewa, London, Seatle, Houston, Washington DC, Paris, Seoul, Sofia- Bulgaria, India, Jordan, Melbourne, – dan berbagai tempat lain yang, mohon maaf, tak semuanya, tercatat dalam ingatan.
Di sebuah pusara pribadi nan asri-teduh, di Lembah Lambunga, Kak Maria telah dibaringkan dengan kepala mengarah ke Ile Boleng – gunung kesayangan seluruh Tana Adonara. Seturut adat setempat, setiap jasad dikebumikan dengan kepala menghadap gunung yang hijau membiru dalam sunyi itu – di mana arwah para leluhur, dipercaya bersemayam sebelum menyatu kembali dengan Lehuran Tana Ekan, Tuhan Langit dan Bumi.
Tatkala Ekaristi “Tujuh Hari” dilangsungkan pada 10 Juni lalu, halaman rumah Keluarga Kakak Frans Samon -- suami mendiang Kak Maria – dipadati seribu lebih umat. Pater Leo Kleden SVD memimpin misa konselebrasi bagi arwah saudarinya -- dengan altar utama di depan pusara. Koor misa membahana, meledakkan kesunyian lembah bersuhu 16 – 18 derajat Celcius -- pada malam hari ---melalui paduan sopran, alto, tenor, bas – menaikkan pujian berlanggam etnik Adonara
Paduan suara penduduk Desa Lambunga pada malam itu, seperti mengantarkan kesayangan hati di atas perahu menuju matahari terbenam, menembangkan kenangan ke segala sudut hati yang tengah berjuang memulihkan retak, merengkuh pulang para leluhur untuk turut hadir dalam perjamuan suci - 10 Juni 2019.
Hampir separuh peserta misa konselebrasi malam itu adalah saudara-saudari kami yang muslim dan muslimah: para sepupu, paman-bibi, adik-kakak, sanak-kerabat, warga desa, dari pertalian darah keluarga Adonara.
Itulah sebuah malam yang patut dikenang tatkala sukacita diintegrasikan ke dalam dukacita, ketika pujian Requiem berpadu di Langit Tuhan bersama Al-Fatihah…di bawah cahaya bintang bulan Juni.
Kami sekeluarga besar, tak mampu , tak akan pernah mampu, membalas kebaikan dan penghiburan dari setiap sahabat yang telah menyatakan kehadirannya pada hari-hari berat itu. Kiranya, Sang Alfa - Omega, Tuhan Awal dan Akhir, mengganjar kebaikanmu sekalian, dengan limpah, dengan berganda-ganda, kini dan kelak.
Jakarta, 8 Juli 2019.
Foto-foto, courtessy Katharina Samon & Emil Ola Kleden
***
Komentar
Posting Komentar