ANTARA AKU, DUA WANITA DAN 'PEER GYNTS'

Antara Aku, Dua Wanita dan 'Peer Gynts'
----


Cerpen oleh Berrye Tukan

Larantuka, aku kembali lagi setelah hampir lebih dari lima tahun aku tak kembali ke sini. Ternyata banyak yang tak berubah. Semua hampir sama saja. Kota kecil nan tua dengan segala kesibukkannya. Dari pelabuhan dengan sampah yang masih menggenang kala kapal-kapal kayu dari seberang mampir. Taman kota yang masih nampak bersih dan terawat. Kemacetan-kemacetan kecil yang semakin menjadi di kawasan pertokoan akibat kendaraan yang diparkir bebas dan material bangunan yang teronggok di pinggir trotoar. Serta gereja Katedral dengan tembok pembatas yang dibangun semakin tinggi.

Kalau bukan karena ibu, mungkin aku tak kembali ke Larantuka secepat ini.

Pulanglah sebentar nak. Bapa sudah tiada, ibu hanya punya kamu. Kakak-kakakmu sudah menikah dan tinggal di tempat lain, sementara ibu hanya ditemani Nina,” rayu ibu untuk sekian kalinya, yang akhirnya membuat aku kalah dan sejenak pulang ke sini dengan mengambil jatah cuti tahunanku tentunya. Sejak ayah meninggal beberapa tahun lalu, praktis ibu tinggal sendirian. Beruntung Nina, salah satu cucunya menemaninya di rumah.

Aku tak ingin cepat-cepat kembali ke sini, aku tak ingin semua cerita itu kembali terputar kembali dalam otakku lalu aku menyaksikan semua kepedihan itu tanpa bisa kuhentikan.

Ibu sudah tua, jalan juga sudah diseret-seret. Ibu tak tahu sampai kapan ibu bisa bertahan sementara kaki ibu terasa semakin berat saja setiap hari. Sebelum ibu meninggal, ..” ujarnya ketika kami berdua menikmati sore di belakang rumah.

Ah ibu, jangan terlalu mendramatisirlah. Sakit itu tidak ada hubungannya dengan kematian”, potongku.

Dan, kematian bisa datang kapan saja, seperti pencuri. Dan sebelum ibu dicuri oleh kematian, ibu akan sangat senang apabila bisa melihatmu menikah”, sambungnya.

Kami terdiam, hanya bunyi angin menohok kami berdua.
Ibu tahu, kamu masih sedih dengan Gyna. Sudahlah, dia pasti bukan jodohmu. Kalau dia jodohmu, pasti semua itu tidak akan terjadi. Tapi, semua semua sudah terjadi”, lanjutnya.

Aku sebenarnya tak ingin cepat-cepat kembali ke sini lagi bu. Lima tahun bagiku seperti baru kemarin. Luka dan sakit hati ini sepertinya belum terobati sungguh”, balasku.

Ibu berusaha berdiri dengan tongkat kayunya. Sedikit memaksa untuk tegak berdiri. Dia berusaha melangkah. “Kamu laki-laki, nak. Seharusnya kamu lebih tangguh dari ibu!”, ucapnya sebelum berjalan melangkah masuk ke kamar. Ibu tahu perasaanku, namun sepertinya ibu juga tak mau lagi berkompromi dengan waktu. Bisa saja ini menjadi permintaan terbaiknya sepanjang hidupnya.

Gyna, ya Gyna. Gadis manis itu sepertinya tak pernah jera bermain dengan perasaanku. Gadis yang gagal kunikahi karena persoalan belis atau mas kawin. Aku sungguh mencintainya, mungkin hingga saat ini. Enam tahun lalu, kami nyaris saja menikah kalau saja aku bisa menyanggupi belis yang mereka minta. Ayah yang sakit-sakitan, ibu yang sibuk menjaga ayah kala sakit membuat semua usaha memenuhi persyaratan belis itu tak pernah berhasil. Hingga akhirnya, di tengah usahaku memenuhi tuntuan belis itu, Gyna justru memutuskan untuk menikahi Johan, anak pak lurah yang juga dikenal sebagai pemilik beberapa kapal ikan. Aku hancur?!? Ya, tentu saja. Dan, aku harus pergi dari Larantuka. Lima tahun berjuang di Jakarta, dan akhirnya cukup berhasil. Paling tidak aku sudah bisa memiliki rumah sendiri di sana dan membantu ibu memperbaiki rumah kami di Larantuka yang sudah keropos dimakan usia.

Om Noel, malam ini kita ke taman kota ya? Ada pertunjukkan teater di sana. Judulnya Peer Gynts di Larantuka. Pemainnya dari luar negeri om, dari Jepang dan Sri Lanka”, celetuk Nina yang tiba-tiba muncul begitu saja di balik pintu.

Oh ya? Menarik nih. Siap Tuan Putri”, jawabku sedikit bercanda dengan Nina, ponakanku yang selama ini menemani ibu di rumah. Nina lalu masuk kamar.

Ponselku berdering. Sebuah pesan WA masuk: ‘Mas, aku kangen. Cepat pulang ya', demikian pesannya. Pesan yang terasa begitu alay dari Dita, menurutku. Gadis Bandung itu sudah kupacari sejak setahun yang lalu, teman sekantorku. Manis, cantik, ramah dan mandiri. Aku ingin menikahinya suatu saat nanti. Namun entahlah, Gyna masih begitu menggenang di kepalaku meski aku tahu dan sadar betul, Gyna sudah menikah. “Ah, perasaan yang aneh”, gumamku selalu.


***
Taman Kota Larantuka malam ini begitu ramai dipadati orang-orang. Pertunjukan pun belum dimulai, namun hawa dingin sudah mulai menyergap dari ujung kaki hingga ke ubun-ubun kepala. Tak lama berselang, acarapun dimulai. Fanfare - sebuah kelompok musik yang sudah cukup tua di Larantuka dan Geleda Wato Nering - sebuah kelompok musik tradisional dari Solor mengawali acara malam ini. Aku memperhatikan orang-orang yang lewat begitu saja di depanku dan tak banyak yang aku kenal. “Sebegitu lamakah lima tahun itu sehingga aku tak pernah bisa menemui orang-orang yang aku kenal di sini malam ini?”, gumamku heran.

Pentas baru dimulai ketika sebuah pesan WA kembali menggedor ponselku: ‘Mas, lagi di mana? Aku kangen, cepat pulang ya'. Lagi-lagi Dita terserang rindu padaku. Ah, nanti saja balasnya, pikirku dalam hati. Di atas panggung, para pemain teater terlihat sangat sempurna melakoni perannya. Syair-syair adat yang diucapkan terdengar serasi dan mistis kala berpadu dengan dentingan permainan gambus yang pelan mengiringi. Micari, seniman asal Jepang dan Veronika Makin, seorang seniman wanita asal Flores Timur melanjutkan pentas. Micari berteatrikal sembari duduk lalu berdiri diiringi narasi dari Veronika. Aku menikmati sekali pementasan malam ini karena menurutku ini merupakan sebuah pentas yang cukup sempurna dengan tata panggung dan cahaya serta suara yang sangat sempurna. Lalu, muncullah aktor utamanya, Peer Gynts yang diragakan oleh Takao Kawaguchi, salah seorang seniman dari Jepang. Tingkahnya benar-benar menghidupi karakter Peer yang sering ceroboh. Ditemani beberapa pelakon lainnya, Takao lalu menyambung cerita lakon itu. Kemudian Venuri Perera, seniman dari Sri Lanka berperan sebagai Anitra - pemimpin sebuah suku tempat Peer terdampar. Venuri terlihat lincah bergerak ke sana ke mari.

Pentas belum mencapai klimaks namun sesosok wanita berjaket biru yang nampak berdiri menyampingiku telah mencuri perhatianku. Aku masih dengan jelas mengenalnya. Rambutnya yang lurus. Tinggi badannya yang semampai. Hidungnya yang tak mancung. Dan tubuhnya yang jelas masih sama. Gyna, gadis yang pernah mengisi ruang hatiku. Bermain-main di dalamnya lalu pergi tanpa menutup pintunya.

Merasa sering diperhatikan, Gyna pun lalu menoleh padaku.
Noel? Kamu, kamu, kamu kapan datang?”, ujarnya kaget sedikit gugup sembari mendekat.
Gyna, kamu makin ....“, aku gugup.
Degup jantungku berat.
Makin apa? Jelek? Kurus? Jerawatan?”, sergahnya.
Hmm, entahlah. Aku, aku, ... ah...”, aku blepotan.
Aku tarik napas panjang. Dan, seketika semuanya mengalir. Cerita dan kenangan.
Perlahan aku bisa menguasi diri dan akhirnya bisa bercerita dengannya meski jantungku tetap berdegup, entah gugup atau karena rindu dan cinta yang masih tersisa.


Di atas panggung, pentas itu hampir berakhir. Peer sudah kembali ke kampungnya namun ditemukanya Solveig yang sudah tua dan buta.

Di akhir pentas, seniman-seniman Flores Timur seperti Silvester Hurit, Inno Koten, Dominikus Dei, Lidvina Lito Kellen, Aloysius Wadan Gawang, Veronika Ratumakin, Philipus Tukan, Magdalena Oa Eda Tukan dan Rusmin Kopong Hoda sudah berkumpul di atas panggung, saling bersahutan meneriakkan dialog-dialog yang syarat makna. Namun, aku masih terjebak bersama Gyna dan sekeping cintaku yang sepertinya mulai membangkitkan keinginan yang paling nakal malam ini. Kupandangi bibir tipisnya. Bibir yang dahulu sering kunikmati ranumnya. Ah, malam dingin yang telah mengundang setan ke dalam kepalaku.

Johan, suamiku, baru sore tadi pergi melaut. Biasanya tiga hari baru pulang. Tapi uangnya tidak, selalu hampir habis di kafe-kafe atau mabuk bersama teman-temannya”, ceritanya.

“Kamu sendirian di rumah?
Ya, selalu sendirian. Tanpa anak sejak menikah”, jawabnya.

Pentas sudah berakhir tepat ketika ponselku berbunyi. Pesan WA lagi dari Dita:
Mas, udah balik ke rumah? Nanti telpon ya!", pesannya singkat.

Nina menghampiriku, “Om ayo pulang. Oma nanti marah-marah kalau pulangnya terlambat", seru Nina tanpa menghiraukan Gyna yang berada di sampingku. Aku jelas bingung. Gyna atau Dita, semua dipertaruhkan malam ini.

Gyna perlahan memegang tanganku, semakin erat dan dingin.
Ikutlah bersamaku, sebentar saja”, bisiknya sangat pelan.
Maaf Gyna. Aku harus pulang. Dita menunggu telpon dari aku”, ungkapku memberanikan diri.
Dita? Dita siapa?”, tanyanya.
Calon istriku”, ucapku tegas. Dan aku pergi seturut tangan Nina yang menarikku keras.

Ah, aku tidak mau seperti Peer Gynts yang ceroboh. Aku tak mau kecerobohanku malam ini bersama Gyna membuatku buta. Aku tak mau Dita menjadi seperti Solveig, kekasih Peer yang tua dan buta menunggu Peer yang terlena pada kenikmatan-kenikmatan semu”, batinku.

Di tengah jalan, aku membuka kembali pesan WA Dita. Aku mulai mengetik pesan balasan:

Aku Segera Pulang dan Kita Akan Menikah!'

Kirim. Centang dua. Terkirim.



Ruang Privat
Waibalun, 10/07/2019
(foto-foto: Berrye T -
Pementasan Teatrikal: 'Peer Gynts' Kisah Pengelana dari Asia, Larantuka 06 Juli 2019)






Komentar

  1. Wah menarik sekali ceritanya dan baguslah sepertinya drama percintaan yg anda tonton bawa pengaruh yg baik...berhsl...mengakhiri petualangan Anda..good!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

WAIBALUN - JATI DIRI

TERUNTUK PATER BERNAD MULLER, SVD

KRITIK BUDI (Refleksi Singkat untuk HUT Pater Budi Kleden SVD)