LAGE AE NIKU KOLA
LAGE AE NIKU KOLA
(Tribute Untuk Almarhum Bapak Bernardus Kudi Balun – Raja Tuan Lewo Waibalun)
------
Oleh Karolus Banda Larantukan*
Sabtu, 27 Juli 2019 bertempat di rumah sakit Hillers Maumere, Bapak Bernardus Kudi Balun – Raja Tuan Lewo Waibalun dipanggil Tuhan dalam usia 62 tahun. Lewo Waibalun berduka atas kepergian beliau. Ucapan duka mengalir penuh di berbagai status facebook. Ata Waibalun di mana pun berada mengucapkan belasungkawa tak berhingga. Kidung duka ini seakan menghentak budi dan hati Ata Waibalun di mana mereka berada. Berita duka ini seakan menjadi menarik kembali Ata Waibalun untuk berhenti sejenak mengheningkan cipta untuk Lewo Waibalun. Berita duka ini pun seakan menjadi nazar yang menguatkan dan menyatukan Ata Waibalun di mana pun berada untuk mengingat, mencintai dan tidak melupakan Lewo – Kampung Halamannya. Berita duka ini, bagi saya adalah madah Lewo Waibalun: “Lage Ae Niku Kola” (baca: melangkah maju, menoleh ke belakang). Oleh karena itu, saya persembahkan tulisan ini sebagai sebuah penghormatan dan cinta anak-anak Waibalun – Jong Kudi Waibalun – kepada bapak Bernardus Kudi Balun – Raja Tuan Lewo Waibalun.
Semboyan “Lage Ae Niku Kola” terpampang jelas pada gapura gerbang masuk Lango Belen Waibalun (Rumah Adat Waibalun). Semboyan ini dapat terbaca dengan jelas pada gapura tersebut. Semboyan ini mau mengungkapkan bahwa Ata (manusia) dan Lewo Waibalun harus terus berjalan maju – Lage Ae, namun sekaligus harus juga menoleh dan menengok ke belakang – Niku Kola. Bahwa hidup terus bergerak dan mengalir, dan karenanya manusia pun harus terus bergerak dan mengalir. Oleh karena dinamisnya kehidupan dan manusia tidak mampu untuk mengelak daripadanya sebaliknya harus merestuinya, maka dibutuhkan sebuah pegangan yang kokoh agar manusia menjadi kuat dan penuh lalu menjadi mulia dalam keberadaannya.
Pegangan itu adalah Lera Wulan Tana Ekan (baca: matahari, bulan dan bumi) – Tuhan dalam kepercayaan agama asli masyarakat Waibalun dan Lamaholot umumnya. Marianus Kleden (2008) menjelaskan bahwa penyebutan nama Tuhan ini berwatak panteistik, sebuah worldview yang memandang Tuhan sebagai sebuah kekuatan, sebuah Ordo atau keteraturan yang meresapi segala sesuatu. Manusia boleh merayakan kehidupan di tengah dunia sebagai makhluk imanen, namun sekaligus ia harus selalu mengusahakan dalam diri untuk kembali dan tertuju pada Yang Trensenden. Manusia harus berusaha menyelaraskan peruntungan hidupnya dengan keteraturan purba dan abadi itu. Persatuan atau penyatuan diri dengan roh kolektif ini akan menimbulkan perlindungan yang luar biasa, yang dalam bahasa Lamaholot-Waibalun disebut Ike Kewaat. Setiap Ata Waibalun (baca: manusia Waibalun) sungguh menyadari dan menghayati perlindungan yang luar biasa ini dalam dirinya. Dan karenanya semboyan “Lage Ae Niku Kola” sekaligus menjadi madah peringatan sekaligus pengingatan.
Semboyan di atas terus memanggil Ata Waibalun untuk pulang ke rahimnya: “ Oh Waibalun, Oh Waibalun! Goe Hukut Moe, Goe Gelupa Moe Hala” (baca: oh Waibalun, Oh Waibalun! Saya Mencintai Engkau, Saya Tidak akan Melupakan Engkau). Ini adalah sepenggal syair lagu berjudul “Tite Ata Waibalun” karya Pater Sigoama Letor, SVD. Lagu ini kemudian seakan menjadi lagu mars bagi Lewo (kampung) Waibalun. Lagu ini pun menjadi makna pemersatu sekaligus menjadi identitas Ata Waibalun. Identitas inilah yang dihidupi ‘oleh’, ‘dari’ dan’untuk’ Lewo Waibalun. Setiap Ata Waibalun tahu dan harus selalu menyanyikan lagu ini untuk mengenang sekaligus menguatkan ke-Waibalunannya. Saya mau mengutip kembali lirik lagu ini: “Tite Ata Waibalun” – Cipta: P. Anton S. Letor, SVD.
Intro:
Oh Waibalun… Oh Waibalun Goe Hukut Moe, Goe Gelupa Moe Hala
Solo:
Pi dunia tana ekan wi, Goe koi nukor mor
Pi Goe koi kae pi’in, Goe ne lewo
Oh Waibalun, Oh Waibalun… Goe hukut Moe, Goe gelupa Moe hala
Prae dein Ile Mandiri, plau Nuha Waibalun
Pi tukan rama dein, Lewuk belen Waibalun
Oh Waibalun, Oh Waibalun… Goe hukut Moe, Goe gelupa Moe hala
Reff:
Tite Ana-ana Waibalun, Tite mesti hukut wekit
Dore perenta Bapa Kepala, jaga aturan adat Waibalun
Kalau musuh lawan Waibalun, Tite pi dein te eret
Tite pi liko lapak lewo, Tite mese MATA ne Waibalun
Solo:
Bauk rua wi Goe jadi a, Goe koi wati mor
Hin dore Tuan Yan Bala, polo berkat Lewo
Goe jadi guru, ola ma, here nere biku
Ne peen we rae gete, Nae Ata a lewun
Oh Waibalun, Oh Waibalun… Goe hukut Moe, Goe gelupa Moe hala
Ini lagu dan nyanyian Ata Waibalun tentang Waibalun. Pater Sigoama Letor, SVD dengan jeli melihat kehidupan Waibalun dan mengubahnya dalam lirik-lirik penuh daya imagi. Pater mau menghentak Ata Waibalun untuk menyadari akan keberadaan kampung halamannya: “Pi Tuka Rama Dein Lewuk Belen Waibalun” (baca: di tengah-tengah berdiri kampung Besar Waibalun). Secara singkat inti dari lagu ini adalah memadahkan doa, syukur, permohonan dan harapan kepada dan untuk Lewo Waibalun. Namun lebih jauh mengumandangkan rasa cinta yang dalam kepada Lewo Waibalun oleh Anak-anak Waibalun. Bahwa kematian Raja Tuan Lewo Waibalun pun menghentak Ata Waibalun di manapun berada untuk kembali mengumandakan lagu ini sebagai sebuah perwujudan ike kewaat sebagai Ata Lewo Waibalun sekaligus menghantar beliau kembali ke kehidupan abadi.
Kematian selalu menyadarkan kita akan sebuah situasi batas. Kesadaran ini penting guna memberikan semacam peringatan kepada setiap manusia bahwa kita memiliki batas dan karenanya kita harus merayakan keterbatasan tersebut sebaik mungkin. Kesadaran akan situasi batas pun mengingatkan manusia betapa penting dan bermaknanya kehidupan dan karenanya setiap kita patut memberi makna pada kehidupan itu sendiri.
Semboyan “Lage Ae Niku Kola” dan lagu “Tite Ata Waibalun” juga mau mengungkapkan keterbatasan Ata Waibalun yang harus selalu dirayakan, dijaga, dihayati dan diberi makna baru. Duka Waibalun dengan kepergian Raja Tuan Lewo Waibalun harus juga dilihat sebagai “Lage Ae Niku Kola Tite Ata Waibalun” (baca: Melangkah maju menoleh ke belakang, kita manusia Waibalun). Kesadaran akan kematian ini semacam penguatan kembali Ike kewaat Lewo Waibalun. Ata Waibalun di hadapan kematian ini harus selalu kembali ke rahimnya untuk menimbah kekuatan bagi dirinya dan juga bagi Lewo – kampung halamannya.
Di tengah perkembangan ilmu pengetahuan, di era post-truth dan di zaman revolusi industri 4.0 yang dihadapi, kembali ke kampung halaman adalah semacam kembali ke rahim ibu untuk mengingatkan ke-manusia-an kita dari mana kita berada. Di dalam dunia global ini, dalam pergaulan dengan dunia luas, kampung justru tidak pernah boleh dilupakan. Berlayar masuk ke dalam konteks global tidak berarti mengabaikan nasionalisme dan keindonesiaan, apalagi melupakan kampung. Globalisasi mengembalikan kita ke kampung sekaligus memberi kesadaran bahwa kita mesti membangun dari kampung-kampung. Globalisasi pun mengingatkan bahwa kita hanya menjadi warga dunia, apabila kita tidak melepaskan kampung kita. Tidak ada dunia tanpa tanah air, tidak ada kosmopolit tanpa patriot. Maka kesungguhan untuk menggali keluhuran kampung kembali bermakna, ketelatenan mempelajari kebijaksanaan kampung bukanlah tanda kekampungan (Dr. Budi Kleden, SVD, Kampung. Bangsa. Dunia., 2008).
Di akhir kata, sebagai Anak-Anak Waibalun – JONG KUDI WAIBALUN – Saya mengucapkan terima kasih dan salam perpisahan kepada-mu Raja Tuan Lewo Waibalun. Selamat kembali ke Kampung Abadi-mu Om Guru.
(Tribute Untuk Almarhum Bapak Bernardus Kudi Balun – Raja Tuan Lewo Waibalun)
------
Oleh Karolus Banda Larantukan*
Sabtu, 27 Juli 2019 bertempat di rumah sakit Hillers Maumere, Bapak Bernardus Kudi Balun – Raja Tuan Lewo Waibalun dipanggil Tuhan dalam usia 62 tahun. Lewo Waibalun berduka atas kepergian beliau. Ucapan duka mengalir penuh di berbagai status facebook. Ata Waibalun di mana pun berada mengucapkan belasungkawa tak berhingga. Kidung duka ini seakan menghentak budi dan hati Ata Waibalun di mana mereka berada. Berita duka ini seakan menjadi menarik kembali Ata Waibalun untuk berhenti sejenak mengheningkan cipta untuk Lewo Waibalun. Berita duka ini pun seakan menjadi nazar yang menguatkan dan menyatukan Ata Waibalun di mana pun berada untuk mengingat, mencintai dan tidak melupakan Lewo – Kampung Halamannya. Berita duka ini, bagi saya adalah madah Lewo Waibalun: “Lage Ae Niku Kola” (baca: melangkah maju, menoleh ke belakang). Oleh karena itu, saya persembahkan tulisan ini sebagai sebuah penghormatan dan cinta anak-anak Waibalun – Jong Kudi Waibalun – kepada bapak Bernardus Kudi Balun – Raja Tuan Lewo Waibalun.
Semboyan “Lage Ae Niku Kola” terpampang jelas pada gapura gerbang masuk Lango Belen Waibalun (Rumah Adat Waibalun). Semboyan ini dapat terbaca dengan jelas pada gapura tersebut. Semboyan ini mau mengungkapkan bahwa Ata (manusia) dan Lewo Waibalun harus terus berjalan maju – Lage Ae, namun sekaligus harus juga menoleh dan menengok ke belakang – Niku Kola. Bahwa hidup terus bergerak dan mengalir, dan karenanya manusia pun harus terus bergerak dan mengalir. Oleh karena dinamisnya kehidupan dan manusia tidak mampu untuk mengelak daripadanya sebaliknya harus merestuinya, maka dibutuhkan sebuah pegangan yang kokoh agar manusia menjadi kuat dan penuh lalu menjadi mulia dalam keberadaannya.
Pegangan itu adalah Lera Wulan Tana Ekan (baca: matahari, bulan dan bumi) – Tuhan dalam kepercayaan agama asli masyarakat Waibalun dan Lamaholot umumnya. Marianus Kleden (2008) menjelaskan bahwa penyebutan nama Tuhan ini berwatak panteistik, sebuah worldview yang memandang Tuhan sebagai sebuah kekuatan, sebuah Ordo atau keteraturan yang meresapi segala sesuatu. Manusia boleh merayakan kehidupan di tengah dunia sebagai makhluk imanen, namun sekaligus ia harus selalu mengusahakan dalam diri untuk kembali dan tertuju pada Yang Trensenden. Manusia harus berusaha menyelaraskan peruntungan hidupnya dengan keteraturan purba dan abadi itu. Persatuan atau penyatuan diri dengan roh kolektif ini akan menimbulkan perlindungan yang luar biasa, yang dalam bahasa Lamaholot-Waibalun disebut Ike Kewaat. Setiap Ata Waibalun (baca: manusia Waibalun) sungguh menyadari dan menghayati perlindungan yang luar biasa ini dalam dirinya. Dan karenanya semboyan “Lage Ae Niku Kola” sekaligus menjadi madah peringatan sekaligus pengingatan.
Semboyan di atas terus memanggil Ata Waibalun untuk pulang ke rahimnya: “ Oh Waibalun, Oh Waibalun! Goe Hukut Moe, Goe Gelupa Moe Hala” (baca: oh Waibalun, Oh Waibalun! Saya Mencintai Engkau, Saya Tidak akan Melupakan Engkau). Ini adalah sepenggal syair lagu berjudul “Tite Ata Waibalun” karya Pater Sigoama Letor, SVD. Lagu ini kemudian seakan menjadi lagu mars bagi Lewo (kampung) Waibalun. Lagu ini pun menjadi makna pemersatu sekaligus menjadi identitas Ata Waibalun. Identitas inilah yang dihidupi ‘oleh’, ‘dari’ dan’untuk’ Lewo Waibalun. Setiap Ata Waibalun tahu dan harus selalu menyanyikan lagu ini untuk mengenang sekaligus menguatkan ke-Waibalunannya. Saya mau mengutip kembali lirik lagu ini: “Tite Ata Waibalun” – Cipta: P. Anton S. Letor, SVD.
Intro:
Oh Waibalun… Oh Waibalun Goe Hukut Moe, Goe Gelupa Moe Hala
Solo:
Pi dunia tana ekan wi, Goe koi nukor mor
Pi Goe koi kae pi’in, Goe ne lewo
Oh Waibalun, Oh Waibalun… Goe hukut Moe, Goe gelupa Moe hala
Prae dein Ile Mandiri, plau Nuha Waibalun
Pi tukan rama dein, Lewuk belen Waibalun
Oh Waibalun, Oh Waibalun… Goe hukut Moe, Goe gelupa Moe hala
Reff:
Tite Ana-ana Waibalun, Tite mesti hukut wekit
Dore perenta Bapa Kepala, jaga aturan adat Waibalun
Kalau musuh lawan Waibalun, Tite pi dein te eret
Tite pi liko lapak lewo, Tite mese MATA ne Waibalun
Solo:
Bauk rua wi Goe jadi a, Goe koi wati mor
Hin dore Tuan Yan Bala, polo berkat Lewo
Goe jadi guru, ola ma, here nere biku
Ne peen we rae gete, Nae Ata a lewun
Oh Waibalun, Oh Waibalun… Goe hukut Moe, Goe gelupa Moe hala
Ini lagu dan nyanyian Ata Waibalun tentang Waibalun. Pater Sigoama Letor, SVD dengan jeli melihat kehidupan Waibalun dan mengubahnya dalam lirik-lirik penuh daya imagi. Pater mau menghentak Ata Waibalun untuk menyadari akan keberadaan kampung halamannya: “Pi Tuka Rama Dein Lewuk Belen Waibalun” (baca: di tengah-tengah berdiri kampung Besar Waibalun). Secara singkat inti dari lagu ini adalah memadahkan doa, syukur, permohonan dan harapan kepada dan untuk Lewo Waibalun. Namun lebih jauh mengumandangkan rasa cinta yang dalam kepada Lewo Waibalun oleh Anak-anak Waibalun. Bahwa kematian Raja Tuan Lewo Waibalun pun menghentak Ata Waibalun di manapun berada untuk kembali mengumandakan lagu ini sebagai sebuah perwujudan ike kewaat sebagai Ata Lewo Waibalun sekaligus menghantar beliau kembali ke kehidupan abadi.
Kematian selalu menyadarkan kita akan sebuah situasi batas. Kesadaran ini penting guna memberikan semacam peringatan kepada setiap manusia bahwa kita memiliki batas dan karenanya kita harus merayakan keterbatasan tersebut sebaik mungkin. Kesadaran akan situasi batas pun mengingatkan manusia betapa penting dan bermaknanya kehidupan dan karenanya setiap kita patut memberi makna pada kehidupan itu sendiri.
Semboyan “Lage Ae Niku Kola” dan lagu “Tite Ata Waibalun” juga mau mengungkapkan keterbatasan Ata Waibalun yang harus selalu dirayakan, dijaga, dihayati dan diberi makna baru. Duka Waibalun dengan kepergian Raja Tuan Lewo Waibalun harus juga dilihat sebagai “Lage Ae Niku Kola Tite Ata Waibalun” (baca: Melangkah maju menoleh ke belakang, kita manusia Waibalun). Kesadaran akan kematian ini semacam penguatan kembali Ike kewaat Lewo Waibalun. Ata Waibalun di hadapan kematian ini harus selalu kembali ke rahimnya untuk menimbah kekuatan bagi dirinya dan juga bagi Lewo – kampung halamannya.
Di tengah perkembangan ilmu pengetahuan, di era post-truth dan di zaman revolusi industri 4.0 yang dihadapi, kembali ke kampung halaman adalah semacam kembali ke rahim ibu untuk mengingatkan ke-manusia-an kita dari mana kita berada. Di dalam dunia global ini, dalam pergaulan dengan dunia luas, kampung justru tidak pernah boleh dilupakan. Berlayar masuk ke dalam konteks global tidak berarti mengabaikan nasionalisme dan keindonesiaan, apalagi melupakan kampung. Globalisasi mengembalikan kita ke kampung sekaligus memberi kesadaran bahwa kita mesti membangun dari kampung-kampung. Globalisasi pun mengingatkan bahwa kita hanya menjadi warga dunia, apabila kita tidak melepaskan kampung kita. Tidak ada dunia tanpa tanah air, tidak ada kosmopolit tanpa patriot. Maka kesungguhan untuk menggali keluhuran kampung kembali bermakna, ketelatenan mempelajari kebijaksanaan kampung bukanlah tanda kekampungan (Dr. Budi Kleden, SVD, Kampung. Bangsa. Dunia., 2008).
Di akhir kata, sebagai Anak-Anak Waibalun – JONG KUDI WAIBALUN – Saya mengucapkan terima kasih dan salam perpisahan kepada-mu Raja Tuan Lewo Waibalun. Selamat kembali ke Kampung Abadi-mu Om Guru.
*Karolus Banda Larantukan: Jong Kudi Waibalun
(Pengelola Taman Baca Hutan 46 Waibalun)
(Ket. foto: tampak gerbang rumah adat Waibalun)
Selamat menuju keabadian Tuan Raja Lewo Waibalun. Terimakasih telah mendidikku menjadi guru.
BalasHapusTurutberdkacuta yg mendalam , do Dn nazarku semoga Tuhan kera wulan tNah ekan menerimamu masuk dalam kerajaan surga...
BalasHapus