TERIMA KASIH PARA PENJAGA HIDUP

Terima Kasih Para Penjaga Hidup
------------

Oleh Berrye Tukan*

Seorang perawat muda membuka pintu ruang operasi. Setelah menyebutkan nama pasien, dia menatap kami, dan kami pun melangkah menuju ke arahnya.

“Pasien sudah selesai dioperasi. Keluarga silahkan menunggu di depan ruang ICU”, ujarnya lembut dengan wajah yang penuh senyum.
“Oh, terima kasih ya kaka”, balas kami.

Kami melangkah menuju ke depan ruangan ICU yang jaraknya hanya beberapa meter saja. Ruangan ICU masih tertutup rapat. Kacanya putih buram sehingga kami tak dapat melihat ke dalam, pun sebaliknya. Beberapa kertas berisi pengumuman tentang jam berkunjung tertempel di depannya. Lima, sepuluh, hingga lima belas menit berlalu, namun pintu belum terbuka juga. Kami was-was. Akankah semuanya baik-baik saja? Semua mata menatap penuh cemas pada dua bilah pintu ICU.

“Sebaiknya kita berdoa saja dulu", cetus salah satu dari kami.
“Ya, sebaiknya".
Lalu kami berkumpul setengah melingkar. Doa pun terucap. Syukur, terima kasih dan harapan berpadu satu di dalamnya. Hingga doa selesai, pintu ICU pun belum terbuka.

***
Cemas berharap!? Bayangan tiap peristiwa itu kembali menghinggapi isi kepala, kala sebuah kabar menegangkan itu menyerebak saat petang barusan saja pergi di hari senin. Tiba di rumah sakit, semua serba menegangkan, menakutkan dan mengerikan. Bocah remaja itu terkapar tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Kepalanya berdarah, mengucur seperti kran air yang bocor, menggenang di atas lantai rumah sakit. Dua dokter sedang berusaha menjahit kepalanya yang berdarah, sementara bocah itu terus merintih dalam ketidaksadarannya. Tangannya berontak, pun kakinya. Butuh tenaga laki-laki dewasa yang cukup banyak untuk menahan tangan dan kakinya agar keadaan tak semakin buruk. Sehabis menyelesaikan tugasnya, sang dokter meninggalkan bocah itu dan kami.

Orang-orang semakin banyak datang, sebagian yang tak kuat melihat kondisinya lalu menghindar dan sebagian lainnya bertahan. Sesekali sang ibu yang nampak kuat datang mendekat dan membisikan kata-kata penguatan untuk sang bocah. Entahlah, apakah sang anak bisa mendengar dan memahami kata-kata sang ibu??? Itulah ibu!!! Sepanjang malam hingga pagi, suasana menjadi begitu mencekam. Hidup dan kematian terasa begitu dekat malam itu. Keduanya seolah asyik bermain petak umpet. Dan malam itu, hidup masih memenangkan permainan itu.

“Beruntung darah tak keluar dari mulut, hidung atau telinganya. Pertanda tak ada pembuluh darah di kepalanya yang pecah!”, ujar seorang perawat yang sungguh-sungguh memberi perhatian yang luar biasa malam itu.

Kami semua, keluarga dan kerabat berdiskusi dan berdebat. Dokter lalu memanggil orang tua. Sang ibu menghadap. Terlalu banyak istilah medis malam itu, namun kesimpulannya hanya satu: pasien dalam kondisi yang kritis dan harus segera ditangani dengan tindakan medis. Kabar buruknya lagi, di rumah sakit ini tak ada peralatan untuk tindakan medis itu. Harus dirujuk sesegera mungkin. Itu intinya!!! Pagi menjemput dengan kekalutan dan kekhawatiran yang masih sama. Bocah itu masih tetap meronta.

Selasa itu sang bocah dipindah ke salah satu ruangan di IGD. Keluarga dan kerabat semakin banyak datang menjenguk dan membesuk, membisikan kalimat-kalimat penuh penguatan di telinganya, namun semua tak mampu menyadarkannya. Selang-selang melintang di sekujur tubuhnya. Sementara monitor menampilkan bunyi dan angka-angka serta grafik yang naik turun seolah menceritakan harapan hidup yang mungkin masih tersisa. Di luar ruangan, kami berembuk dalam kebimbangan mencari jalan keluar terbaik.

Ini baru hari selasa.  Tak ada kapal yang berangkat ke Kupang dalam satu atau dua hari ini, sementara bocah malang ini masih terkapar dan menderita. Pilihan berikutnya, menyewa kapal pemerintah. Deal! Namun, lagi-lagi cuaca dan ombak laut yang terlalu ekstrim memaksa kami untuk berpikir ulang tentang rencana ini. Semua harus dipertimbangkan secara matang dan tenang. Taruhannya adalah nyawa bocah yang masih menderita.

Selasa malam, sang bocah dipindahkan ke ruang ICU. Kondisi sedikit membaik, namun tak kunjung sadar juga. Dokter sempat mengunjungi. “Adik ini masih tetap dalam keadaan koma. Bersyukur bahwa nafasnya masih normal. Dia kuat sekali”, ujarnya. Berita baik yang harus tetap disyukuri. Rujukan disiapkan. Berkas demi berkas diurus secepat mungkin. Komunikasi-komunikasi tetap dibangun dengan semua pihak yang dipandang penting. Sementara, rosario dan buku novena tetap menemani tidur sang bocah.

Kapal baru datang hari Jumad dan itu terasa begitu lama. Namun asa kehidupan harus tetap dijaga dan dirawat. Dua hari berlalu di ruangan ICU. Dingin dan nyaman membuatnya nampak lebih tenang, meski tetap meronta kecil.

Jumad pagi, kesibukan tak pernah berhenti. Ambulans siap menghantar hingga Kupang. Berpacu dengan waktu yang semakin mengejar kehidupan, ambulans melaju meninggalkan rumah sakit menuju pelabuhan. Keluarga dan kerabat menitipkan simpati dan doa di dermaga. KM. Lakaan siang itu nampak begitu kuat melindungi, meninggalkan pelabuhan lalu menghilang di tengah lautan. Bahan bakar terbesar kami saat itu adalah DOA dan HARAPAN. Tak ada yang lain selain Tuhan yang tahu dan mengabulkannya.

Tengah malam. Laut yang tenang. Bintang yang menemani, seolah menandakan alam dan semesta merestui semua rencana kemanusiaan ini hingga tiba di ibukota propinsi. Sabtu dini hari, segera ambulans melaju ke sebuah rumah sakit pemerintah. Dokter segera mengambil alih. Namun kondisi tak kunjung membaik, harus dirujuk lagi ke rumah sakit swasta terbaik di kota ini. Kabar buruknya lagi: kamar ICU di sana full! Kami harus menunggu lagi! Ah, penantian yang belum menemui akhir. Si bocah harus dipindahkah lagi ke salah satu ruangan di bagian lain di rumah sakit ini. Sepi dan seolah terbuang. Menunggu nasib baik.

Malam baru beranjak gelap ketika sang bocah terus meronta. Kini dengan suara yang menyakitkan dan penuh derita. Dokter dipanggil. Tak ada pilihan lain! Pasien harus segera dirujuk. Secepatnya! Tuhan punya rencana terbaik. Dan tepat tengah malam menjelang subuh, mobil ambulans mengantarnya ke rumah sakit swasta terbaik. Pasien segera dilayani sepenuh hati. Dibersihkan luka yang belum terawat. Perban dibuka dan diganti. Dan tubuhnya dibersihkan. Inilah mungkin menjadi alasan mengapa rumah sakit ini menjadi rumah sakit terbaik di kota ini:  Pelayanan yang penuh dedikasi.

“Besok pagi, pasien dioperasi”, pesan dokter subuh itu.
Akhirnya lega. Seolah tindakan operasi adalah sebuah pertanda kehidupan. Namun, resiko harus diambil.

***
Pagi itu, kami semua sudah berkumpul di tengah si bocah. Doa didaraskan. Semoga dokter dituntun dan ditemani Tuhan hari ini!!!

10.15!
Pintu ruangan operasi terbuka.

Rangkaian peristiwa itu terbuyarkan ketika pintu ruangan ICU terbuka. Seorang perawat laki-laki menatap kami sembari tersenyum. Setelah memastikan kami adalah keluarga pasien yang baru selesai dioperasi, kami pun dipersilahkan masuk ke ruangan ICU yang nampak begitu bersih, rapih dan menyenangkan.

Di ujung barisan tempat tidur, bocah remaja itu sedikit tersadar. Matanya membuka jelas. Lebih lebar dari sebelumnya. Seolah menyambut kehidupan yang baru saja memeluknya begitu erat kembali.

Selamat Datang Kehidupan!!!

-------------------

Terima kasih, Para Penjaga Kehidupan!!! Untukmu semua yang telah dengan sungguh-sungguh penuh kebaikan, telah membantu, memberi tenaga, pikiran dan simpati kepada kami. Tak dapat kami balas semua kebaikanmu semua.

Pada Tuhan, kami percayakan doa kami untukmu semua.


(Gambar ilustrasi; salah satu lukisan abstrak di RS. Siloam Hospitals Kupang).






Komentar

Postingan populer dari blog ini

WAIBALUN - JATI DIRI

TERUNTUK PATER BERNAD MULLER, SVD

KRITIK BUDI (Refleksi Singkat untuk HUT Pater Budi Kleden SVD)