AMANG TAK JADI MATI

Amang Tak Jadi Mati



Oleh Berrye Tukan*

Amang baru turun dari mobil angkutan itu saat sore mulai pergi, meninggalkan malam yang mulai merambat naik di sepanjang jalan yang dilaluinya. Tas kumal berisi beberapa potong pakaiannya menggantung lemas di pundaknya. Cerita penumpang di dalam angkutan tentang tabrakan sepeda motor di kota sehari yang lalu masih tersisa di kepala Amang. “Wajahnya hancur! Tak bisa dikenali. Beruntung dia bawa KTP, jadi bisa dilacak sama polisi,” cerita salah seorang penumpang di dalam angkutan tadi.

Jalanan selalu sepi di kampungnya saat menjelang malam begini. Tinggal beberapa ratus meter lagi Amang tiba di rumahnya. Namun pikirannya masih saja kalut. Khususnya bagaimana caranya menjelaskan pada sang istri tentang semua yang terjadi. Tentang sepeda motornya yang tak ia bawa pulang dan tentang kepulangannya yang tiba-tiba tanpa uang gaji. Namun, Amang harus pulang karena tak ada tempat lain lagi baginya untuk mengadu dan kembali. Wajah si kecil, Isna, yang ceria selalu menenangkan hatinya kala banyak persoalan hidup serasa menyesakkannya.

Di kepalanya, berputar kembali rentetan peristiwa itu membawanya kembali ke lokasi proyek, tempatnya bekerja selama beberapa bulan terakhir ini.

***

“Pinjamkan aku sepeda motormu, Amang. Aku mau urus KTP ke kantor Catatan Sipil,” kata Olla, salah satu rekan kerjanya di lokasi proyek.
“Ah, kebetulan. Aku juga mau urus KTP. Titip ya! Mau perpanjang lagi. Sudah mati dua minggu yang lalu,” jawab Amang.
“Ah, fotomu sudah kabur nih, tak jelas lagi wajahnya,” celetuk Olla saat melihat foto Amang di KTP-nya. Amang hanya tersenyum.

Olla menerima kunci motor dan KTP Amang, dan segera menyimpan dalam saku bajunya. Sudah seminggu sejak hari itu, Olla tak pulang ke lokasi proyek. Amang dibuat risau dan gelisah. Akhirnya marah juga. Ponsel Olla tak bisa dihubungi. Amang benar-benar kecewa dan marah. Dia harus menyusul Olla, pikirnya. Setelah minta ijin pada pengawas proyek, Amang pun pergi mencari Olla.

“Sudah pergi dua hari yang lalu bang. Belum pulang juga hari ini. Katanya mau urus KTP, tapi sampai saat ini belum pulang juga ke rumah. Pasti sama perempuan janda itu lagi. Dasar janda!” jawab Bu Minah, istri Olla saat Amang menjumpainya di rumahnya.

Amang semakin marah. Bayangan wajah Olla di kepalanya semakin membuatnya gusar. Sepeda motor bebek miliknya yang dibeli dengan kredit itu pun semakin dirindukan. Hampir tiga tahun ini sepeda motor itu menemaninya pulang dan pergi ke tempat proyek, entah di mana saja lokasinya. Tidak banyak rewel, hemat bahan bakar dan selalu bertenaga.

Setelah dari rumah Olla, Amang tak punya pilihan lain lagi kecuali kembali ke rumah, menemui sang istri yang mungkin bakal marah-marah karena Amang pulang tanpa uang di saku. Namun si kecil, Isna, akan selalu jadi penenang dan penopang semangatnya lewat senyum dan tawanya yang lucu.

***

Amang berhenti sebentar di pertigaan sebelum menuju rumahnya. Ada yang aneh di depan. Rumahnya lebih terang dari sebelumnya. Nampak beberapa tenda dan lampu dipasang di depan rumahnya. Beberapa orang nampak lalu lalang di depan rumahnya. Sepertinya ada hajatan di rumahnya. "Mengapa saya tak diberitahu kalau ada acara di rumah?", pikir Amang. "Mungkinkah mertuaku Si Tua Bawel itu sudah meninggal?", pikirnya lagi. Ah, Amang takut melangkah. Amang mencari-cari orang yang mungkin saja lewat di situ untuk ditanyai. Namun entah mengapa tak ada satupun orang yang lewat di situ. "Ah, sial!", batinnya.

Amang harus mencari tahu sendiri. Dia melanjutkan langkahnya dengan kaki yang berat dan dada yang bergetar karena aneka tanya yang menggayut di dalam pikirannya.
Kursi-kursi plastik yang nampak tak teratur itu menyiratkan bahwa acaranya telah selesai. "Tapi, acara apakah itu?", Amang semakin gelisah. Jantungnya berdegup makin kencang seolah berpacu dengan pikirannya kalut.

Kaki kanannya menapak tangga pertama rumahnya ketika seorang remaja tanggung berteriak: “Om Amang! Om Amang!”. Ujarnya keras sambil berlari menjauh, nyaris jatuh.
Beberapa orang di bawah tendapun melakukan hal yang sama. Semua mereka lari tunggang langgang ke segala arah, bahkan ada yang nyaris menghantam tiang tenda.

Suasana menjadi benar-benar gaduh. Amang berdiri mematung tanpa bisa berbuat apa-apa. Dia pun bingung dengan semua situasi yang tiba-tiba menjadi tak terkendali.

“Matikan lampu! Matikan lampu!” teriak seorang lelaki. Dan, tiba-tiba lampu pun padam.
“Hidupkan lagi! Dia pasti sudah pergi!”, sambungnya sesaat kemudian. Amang masih saja berdiri di situ, mencari jawaban dari situasi yang tengah terjadi itu.

Saat lampu dinyalakan, Amang masih berdiri di situ. Lalu, terdengar suara tangisan sang istri.
“Oh Amang, … Amang...”, tangisnya di tengah kegelapan. “Dia masih ada! Dia masih ada!” teriak mereka lagi. Amang tak tahan lagi.
“Hei, aku Amang. Kenapa dengan kalian? Kenapa lari?”.

Seorang lelaki tua, keluar dari pintu rumah.
“Amang, kenapa kau kembali lagi? Tempatmu bukan di sini lagi, kasihan anak dan istrimu,” ujarnya terbata-bata.
“Pak RT, aku Amang. Ini tempatku, rumahku di sini. Aku tidak bisa ke mana-mana lagi,” balas Amang.
“Tapi, kau harusnya sudah tenang di sana”.
“Tenang? Tenang apanya Pak RT? Motor dan KTP saya dibawa Olla, teman kerja saya. Sekarang saya pulang tanpa bawa uang”.
“Jadi, kau masih hidup Amang?”.
“Ha? Kamu pikir aku sudah mati? Ayo pegang aku Pak RT! Aku masih hidup!”.

Beberapa orang mulai datang mendekat, menyelinap di antara bunga-bunga dan pohon-pohon di sekitar situ untuk melihat Amang.

Bapak tua yang adalah ketua RT setempat itu memberanikan diri untuk mendekat.
“Ayo raba aku, Pak RT!”, kata Amang sambil menyodorkan tangannya pada Pak RT. Pak RT mundur sejenak, namun maju lagi dan mulai meraba tangan Amang. Matanya membelalak.
“Amang masih hidup! Amang masih hidup!” teriaknya keras.
Kerumunan orang di balik pohon-pohon itu lalu menyeruak masuk ke dalam tenda.
“Lalu, siapa yang kita kuburkan tadi siang? Siapa?”, tanya mereka.
“Wajahnya sudah tak bisa dikenali. Pantas saja kita tak bisa mengenalinya lagi”, seru yang lain.

“Amaaaang! Amaaaaaang!”
Sang istri menyeruak dari balik pintu rumah bersama si kecil, Isna, di pundaknya. Dipeluknya suaminya itu dengan sekuat tenaga, seolah ingin menumpahkan kesedihan yang tak berguna lagi untuk ditangisi.
“Kau masih hidup! Oh Tuhan! Isna, bapakmu masih hidup!”.
“Bapaaa, Isna kangen bapa!”, peluk si kecil erat pada sang ayah.

Seorang petugas polisi yang baru saja tiba di situ, lalu menjumpai Amang dan nampak serius bertanya.

Setelah informasi dianggapnya cukup, petugas itu lalu sibuk menghubungi seseorang lewat ponselnya.
“Lapor pak! Korban kecelakaan yang dikuburkan hari ini bukan Amang!”.
“Maksudnya?”.
“Sepeda motor yang dipakai korban bukan milik korban. Dia hanya meminjam sepeda motor dan kebetulan memegang KTP Amang”.
“Lalu, siapa sebenarnya yang jadi korban?”.
“Teman Amang. Namanya Olla. Laporan selesai, pak!”.


Ruang Privat
Waibalun, 28 November 2019





Komentar

Postingan populer dari blog ini

WAIBALUN - JATI DIRI

TERUNTUK PATER BERNAD MULLER, SVD

KRITIK BUDI (Refleksi Singkat untuk HUT Pater Budi Kleden SVD)