SEJARAH INTELEKTUAL, MEMBACA IGNAS KLEDEN

SEJARAH INTELEKTUAL, MEMBACA IGNAS KLEDEN


(Foto: Ignas Kleden)


Oleh: Riwanto Tirtosudarmo*

Ignas Kleden adalah seorang sosiolog yang sejak sangat muda terdidik dalam filsafat. Sosiologinya karena itu bukanlah yang berurusan dengan penelitian empiris tapi dengan dunia pemikiran yang hampir selalu filosofis. Sosiologi dan filsafatnya bukan sebagai vokasi (keahlian) tetapi sebagai alatnya untuk memahami sejarah pemikiran yang berkembang di dunia dan bangsanya

Melihat riwayat pendidikan formal Ignas, kecuali S3-nya, selalu filsafat. Yang pertama di STF/TK (Sekolah Tinggi Filsafat/Teologi Katolik) Ledalero, sebuah lembaga untuk mendidik para calon imam Katolik yang letaknya tidak jauh dari tempat kelahirannya, Waibalun, sebuah desa di pinggir laut yang terletak di jalan raya antara Larantuka dan Maumere, Flores. Setelah pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai editor di Yayasan Obor dan Prisma, di samping sebagai kolumnis yang produktif, sebelum kemudian melanjutkan studi filsafatnya (S2) di Muenchen dan sosiologi (S3) di Bielefeld, keduanya di Jerman, sebuah negeri dimana filsafat mungkin berkembang paling subur setelah sebelumnya benih filsafat tumbuh di Yunani. Di bawah bimbingan Hans-Dieter Evers, seorang ahli sosiologi perkotaan yang juga meneliti di Indonesia, Ignas menulis disertasi tentang Clifford Geertz, ahli antropologi dari Amerika yang tesis doktornya tentang Agama Jawa. Tesis doktornya berjudul “The involution of the involution thesis: Clifford Geertz’s on Indonesia Revisited”, sebuah kritik mungkin yang terlengkap terhadap raksasa ilmu-ilmu sosial yang sangat berpengaruh itu.

Dengan ilmu, penguasaan bahasa dan keterampilan menulis yang dimiliki tidak sulit sebetulnya bagi Ignas untuk menjadi ilmuwan kaliber dunia dan bekerja di universitas di luar negeri dengan gaji yang tinggi dan kesempatan meneliti yang nyaman. Jalan vokasi yang jadi dambaan banyak akademisi itu tidak dipilihnya. Ignas memilih bekerja di negerinya sendiri meneliti dengan caranya sendiri dan menuliskan hasil pemikiran dan perenungannya dalam bahasa Indonesia untuk publik Indonesia.

Ignas adalah seorang pemikir-penulis yang produktif. Tulisan-tulisan lepasnya telah dikumpulkan dan terbit dalam banyak buku. Buku yang sedang saya baca ini, "Fragmen Sejarah Intelektual: Beberapa Profil Indonesia Merdeka" (Buku Obor, 2020) adalah kumpulan tulisannya tentang 17 tokoh politik dan kebudayaan Indonesia yang sebagian telah  telah meninggal kecuali empat orang: Putu Widjaya, Sutardji Calzoum Bachri, Goenawan Mohamad dan Sardono W. Kusumo. Lainnya adalah Sukarno, Hatta, STA (Sutan Takdir Alisyahbana), Sjahrir, Tan Malaka, Soedjatmoko, Frans Seda, Gus Dur, Sultan Hamengkubuwono, Ajip Rosidi, Asrul Sani, Mochtar Lubis, dan Pramoedya Ananta Toer.

Kenapa tokoh-tokoh ini yang dipilih untuk diulasnya, Ignas menjelaskannya secara tidak langsung dalam bagian awal buku yang diberi judul "Atas Nama Apologia" dengan mengutarakan dua hal yang disebutnya sebagai kelemahan dari bukunya. Yang pertama adalah apologinya tentang hakikat bukunya yang lahir bukan dari niat menulis buku tetapi menulis seorang tokoh, terutama pemikirannya, untuk sebuah acara atau untuk penerbitan tertentu, terutama Kompas, Tempo dan Prisma; tiga media cetak yang merepresentasikan panggung intelektual pasca 1965. Jadi kelemahan pertama ini berhubungan dengan keterbatasan dan fragmentasi pemilihan tokohnya. Kelemahan yang kedua yang tampaknya disadari sebagai semacam dosa besar dan karena itu apologinya panjang lebar adalah karena tidak satupun tokoh yang dibahasnya perempuan. Yang mestinya harus dipertanggungjawabkan oleh Ignas adalah bahwa kelemahan kedua sebetulnya turunan saja dari kelemahan pertama. Tanpa disadarinya, ide menulis seorang tokoh, baik yang berasal dari dirinya atau dari pihak lain yang mengundangnya untuk membicarakan tokoh tertentu,  mencerminkan masih dominannya laki-laki dalam dunia pemikiran. Perempuan, memakai istilah Simone de Beauvoir, masih merupakan "the second sex". Sebuah apologia mungkin tidak cukup karena Ignas tanpa disadari juga menjadi pantulan dari sebuah dunia yang masih menempatkan perempuan sebagai "the second sex". Ignas memang bukan, atau berpretensi, menjadi seorang feminis.

Dalam bagian pengantar yang dimaksudkan untuk memberi konteks dari tulisan-tulisannya yang diberi judul "Intelektual dalam Sejarah: Pembuat Sejarah atau Produk Sejarah?". Ignas memulai pengantarnya dengan mengacu pada buku Edward Said (Representations of The Intellectuals, 1996) namun kemudian kita dibawa untuk memasuki relung-relung pemikiran para pemikir lain di dunia dan sekaligus menyusup masuk ke dalam dunia pemikiran tokoh-tokoh Indonesia, terutama yang ingin dikupasnya. Pengantar ini (73 halaman) memperlihatkan upaya Ignas yang tidak tanggung-tanggung untuk menjawab pertanyaan yang diajukannya sendiri, intelektual memproduksi atau diproduksi sejarah? Sampai akhir saya kira sebagai pembaca kita tidak diberi jawaban yang otoritatif, kita harus merenungkan sendiri betapa intelektual dan sejarah adalah dua hal yang akan selalu berhubungan secara bolak-balik, intelektual adalah produk sekaligus pembuat sejarah.

Meskipun di pengantar yang panjang ini Ignas mengakhiri dengan mengajukan pertanyaan (retorik?) yang buat saya agak sedikit menimbulkan tandatanya karena masihkah pertanyaan itu perlu diajukan karena jawabannya telah tersirat dalam keseluruhan narasi panjang yang telah dibuatnya, “Apakah kaum terpelajar sekarang akan setia menjadi produk sejarah, atau tergoda untuk membuat sejarah lain yang mengingkari sumpah kemerdekaan?” Karena menurut saya sudah hampir bisa dipastikan jika kaum terpelajar (Ignas tidak memakai kata intelektual) akan memproduksi sejarahnya sendiri, tanpa harus mengingkari sejarah sebelumnya yang juga telah memproduksinya.

Bagian yang merupakan isi buku oleh Ignas dibagi menjadi 2 bagian. Bagian 1: Pemikiran Politik Indonesia, mengulas Soekarno (2 tulisan), Mohammad Hatta (2 tulisan), Sjahrir (2 tulisan), Tan Malaka (2 tulisan), Soedjatmoko (1 tulisan panjang), Frans Seda (1 tulisan lumayan panjang), Gus Dur dan Frans Seda (obituari dua tokoh yang meninggal hanya selang sehari) dan terakhir Hamengku Buwono IX (semula merupakan makalah seminar dalam bahasa Inggris).  Bagian 2:  Pemikiran dalam Sastra dan Kebudayaan, membahas STA (Sutan Takdir Alisjahbana) - 3 tulisan,  Ajip Rosidi, Asrul Sani, Mochtar Lubis, Rendra (2 tulisan), GM (Goenawan Mohamad) dan STA, GM, Putu Wijaya, Sutardji Calzoum Bachri, Sardono W. Kusumo,  Jacob Oetama ? (tulisan ini berbeda dengan yang lain sebenarnya kurang jelas siapa tokoh yang menjadi fokusnya) dan Pramoedya Ananta Toer. Cara membagi yang dilakukan Ignas terhadap isi buku menjadi pemikiran politik dan pemikiran sastra dan kebudayaan terkesan agak menyederhanakan sebuah realitas yang sesungguhnya kompleks dari kebudayaan

Tetapi itu juga kesulitan yang mau tidak mau memang harus dihadapi oleh Ignas sebagai ex post-facto - ketika dia harus membuat  kategori dari tulisan-tulisannya yang sudah jadi, sudah berbentuk. Tulisan-tulisan itu menurut hemat saya memang merupakan esai-esai, ada yang pendek ada yang panjang yang mirip risalah ilmiah-akademis. Sebagai esai dia mengungkap yang obyektif sekaligus yang subyektif, dia bukan sepenuhnya tulisan yang secara ketat mengikuti kaidah-kaidah akademik. Dari semua tulisan barangkali yang paling akademik adalah yang mengupas Hamengku Buwono IX, sementara lainnya lebih merupakan tulisan kreatif (creative writting), esai panjang yang mencerminkan secara diam-diam sudut pandangnya yang dipengaruhi latar belakang pendidikan formalnya, filsafat dan sosiologi, di samping tentu saja tradisi belajar yang sejak kecil ditanamkan di dalam keluarganya dan jalan kehidupan yang dipilihnya sebagai seorang pemikir-penulis bebas.

(Foto: Karya Ignas Kleden - Penerbit Obor Indonesia)

Membaca buku ini bagi saya seperti membaca Ignas sang penulis, erudisinya dalam bacaan, empati terhadap tokoh yang sedang ditulisnya, keketatannya dalam berbahasa dan kadar intelektualitasnya yang sulit tertandingi yang hampir selalu berangkat dari pertanyaan-pertanyaan yang dibangunnya sendiri. Oleh Ignas tokoh-tokoh itu ditampilkan dalam narasi yang seringkali panjang untuk menampung sebuah analisis kritis namun jelas berangkat dari rasa simpati yang dalam. Mungkin juga bukan sebuah kebetulan jika tokoh-tokoh yang diulasnya adalah tokoh-tokoh yang pada dasarnya sangat dihormatinya. Hasilnya sang tokoh seperti dihidupkan kembali oleh Ignas sebagai sosok dalam sejarah dengan pemikiran, kecenderungan intelektual, keterlibatan sosial, aspirasi politik dan ekspresi artistiknya yang utuh. Persoalan jika ada dari buku ini saya kira terletak pada hakikatnya sebagai sebuah kumpulan tulisan. Meskipun, saya kira dengan apologia, bukan hanya "caveat" yang ditempatkan di awal buku, Ignas tidak perlu lagi dikritik karena apa yang akan dikritik telah diakuinya secara jujur bahwa bukunya adalah kumpulan fragmen-fragmen yang pada dirinya melekat fragmentasi yang tak terhindarkan. Terlepas dari persoalan itu, buku "Fragmen Sejarah Intelektual" telah menampilkan sosok-sosok penting intelektual Indonesia, merintis tidak saja sebuah cabang kajian sejarah sosial politik bangsanya namun juga membuka kesempatan munculnya bidang-bidang kajian yang lain seperti misalnya psikologi politik, politik sastra atau kajian tentang strategi kebudayaan.

Sebagai antologi yang berisi fragmen-fragmen yang memang ditulis dengan konteks dan niatnya masing-masing  menjadikan setiap tulisan dapat dinikmati sendiri-sendiri, artinya pembaca tidak perlu menyusuri tulisan dari halaman pertama hingga akhir namun bisa meloncat dari satu tulisan ke tulisan lain. Bahkan setiap tokohpun oleh Ignas bisa ditampilkan dalam dua bahkan tiga tulisan yang terpisah. STA oleh Ignas ditulis dalam 3 tulisan yang berbeda. Apakah ini memperlihatkan sebuah afinitas antara keduanya? Membaca ulasan Ignas tentang STA di tulisan pertama, tidak sulit untuk melihat afinitas Ignas yang kuat terhadap STA. Pada tulisan yang dibuat untuk menyambut 100 tahun STA itu Ignas tidak menyembunyikan rasa kagumnya "...STA adalah pengejawantahan suatu pandangan hidup yang serba jelas. Tak dapat disangkal bahwa dia mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang amat luas tentang berbagai bidang: ilmu bahasa, filsafat, teori kebudayaan, pendidikan, sastra, dan berbagai bidang ilmu sosial yang dijelajahinya dengan penuh gairah. Tak dapat disangkal energi yang sulit dipercaya, yang diperlihatkannya dalam menekuni berbagai bidang yang telah dipilih dan dimasukinya" (hal 233). Pada tulisan kedua yang lebih panjang untuk pengantar buku mengenai STA, Ignas seperti memulai ulasannya dengan sebuah kesimpulan "Begitulah, berbicara tentang dia pertama-tama bukanlah berurusan dengan kedalaman tetapi keluasan, bukan dengan kecanggihan tetapi kejelasan, bukanlah mengkaji kualitas melainkan berhadapan dengan skala dan intensitas, bukan terpesona oleh kegemilangan melainkan mengagumi kesungguhan yang tidak kepalang tanggung" (hal. 217). Dalam kaitan dengan krisis yang menurut Ignas menjadi kata kunci untuk memahami pemikiran STA, menjadi pertanyaan apakah krisis itu tercipta atau diciptakan oleh STA sendiri untuk mendorong kemajuan? Dalam posisi kedua itu, STA  adalah tipe intelektual yang  memproduksi dan bukan sekedar yang diproduksi oleh sejarah. Dengan kata lain, STA adalah orang yang meyakini sebuah rekayasa sosial untuk mencapai kemajuan dan kemodernan. Tulisan ketiga mengulas novel-novel STA. STA wafat tahun 1994 artinya sempat hidup dalam masa kejayaan Orde-Baru, tapi dari tiga tulisan Ignas tidak terlihat apa makna Orde-Baru bagi STA? Bukankah Orde-Baru adalah sebuah rekayasa sosial yang bisa dikatakan paling besar dalam sejarah Indonesia?

Dalam komentar pendek ini saya hanya menyinggung sedikit tentang seorang tokoh yang dipilihnya yaitu STA, padahal setiap tokoh dalam buku ini memiliki daya tariknya sendiri-sendiri, kontroversi dan posisinya yang krusial dalam panggung sejarah bangsanya sebagai intelektual. Tak diragukan lagi bahwa Ignas Kleden adalah satu dari sedikit pemikir-penulis yang telah bekerja dengan sungguh-sungguh untuk menjelaskan sejarah dan perkembangan sosial kebudayaan bangsanya. Buku-bukunya, termasuk yang terakhir ini, memperlihatkan penjelajahan pemikirannya yang luas dan di beberapa bagian mendalam. Jika memakai cara pandang yang digunakannya, tulisan-tulisannya bisa dianggap sebagai tanggapannya yang bersifat adhock terhadap isu tertentu yang dimintakan kepadanya untuk menulis atau juga atas kemauannya sendiri untuk memberikan komentar tentang isu tertentu yang saat itu menarik minatnya.

Dalam buku ini berbagai isu yang dikomentarinya secara umum bisa dikelompokkan pada tiga ranah: politik, sastra dan kebudayaan. Di awal Ignas juga sudah menyadari bahwa ada banyak tokoh, isu dan dengan demikian juga ranah-ranah lain yang belum disentuhnya. Isu agama misalnya, belum menjadi ranah yang dikupasnya secara mendalam padahal jika melihat latar belakangnya jangan-jangan agama adalah sebuah ranah yang paling dekat dengan hatinya. Ignas tentulah orang yang paling menyadari bahwa sebagus-bagusnya sebuah kumpulan tulisan mengidap dalam dirinya persoalan fragmentasi dan ketidakbulatan sebagai buku yang utuh. Terlepas dari kekurangan itu, satu hal yang tampaknya menjadi ciri atau kecenderungan strategi menulisnya adalah lebih dipentingkannya “clarity” daripada “conciseness”. Ciri atau kecenderungan itu terlihat dari upayanya untuk menjelaskan sesuatu secara rinci dengan referensi yang “exhausted” karena tidak ingin pembacanya menafsirkan sesuatu tidak seperti yang dimaksudkannya. Kata, kalimat, bahasa menjadi sentral dalam memahami Ignas. Ignas menulis untuk memprovokasi pikiran bukan untuk mengagitasi sebuah aksi.

Apakah Ignas Kleden, menggunakan istilahnya sendiri, posisinya sebagai intelektual lebih sebagai produk dari sejarah?. Posisi seperti itu adalah hal yang biasa dalam sejarah intelektual apalagi di negara yang tingkat literasi penduduknya rendah. Tapi apakah Ignas dengan tingkat erudisinya yang sudah demikian tinggi akan terus dalam posisi itu? Apakah Ignas tidak ingin memproduksi sejarah? Misalnya dengan membuat buku yang sejak awal dirancang untuk, misalnya menyusun sebuah teori atau strategi kebudayaan? Keluasan cakrawala pemikiran yang dipunyai serta kedalaman daya tiliknya yang tajam terasah itu pastilah membuatnya tidak terlalu sulit untuk memilih topik yang mungkin paling diperlukan oleh dunia intelektual bangsanya. Jika ini dilakukannya, dia telah memberi jawaban terhadap pertanyaan yang diajukannya sendiri di kata pengantar bukunya yang panjang "Intelektual dalam sejarah: Pembuat Sejarah atau Produk Sejarah?".

*Peneliti independen. Tulisan-tulisan Dr. Riwanto Tirtosudarmo dapat dibaca di rubrik Akademia portal kajanglako.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WAIBALUN - JATI DIRI

TERUNTUK PATER BERNAD MULLER, SVD

KRITIK BUDI (Refleksi Singkat untuk HUT Pater Budi Kleden SVD)