NATAL DI PELABUHAN KECIL

Natal di Pelabuhan Kecil

(Foto by Berrye Tukan)

Cerpen by Berrye Tukan.


Natal sudah tinggal hitungan hari, namun Lia masih belum merasakan suasana Natal seperti di kampung halamannya. Ya, tidak seperti di kampung, suasana Natal di kota besar memang berbeda. Beberapa tahun yang lalu, di kota ini suasana Natal masih terasa meski cuman ada di supermarket dan mall, yang lengkap dengan ornamen berwarna merah dan biru, pohon dan lampu Natal serta boneka Santa Claus yang menggantung dan terpampang hampir di setiap sudut tempat perbelanjaan. Para penjaga toko dan gerai makanan pun bertopikan Santa Claus berbentuk kerucut berwarna merah putih. Namun sejak dua tahun terakhir, ornamen bercirikan Natal itu sudah dilarang untuk dipasang gara-gara ada pihak yang merasa keberatan. Entahlah apa maksudnya? Lia memang tak peduli tentang larangan itu, toh Natal tetap berjalan seperti biasa, tidak dapat dibatalkan, pikirnya.

Teringat pada kampungnya, pasti suasana Natal sudah begitu terasa bahkan sejak awal bulan Desember. Lampu-lampu yang menggantung di pohon Natal, kandang Natal di sudut-sudut rumah, suara mesin mixer kue yang meraung di setiap sore, aroma kue yang menggelitik hidung yang muncul dari setiap dapur rumah, serta petasan dan kembang api yang dimainkan anak-anak di pinggir jalan.

Satu-satunya yang mampu menghibur Lia adalah ketika dia dapat berkomunikasi dengan teman-teman dan sanak keluarganya di kampung lewat Facebook. Teman-teman sebayanya di kampung rajin mengabarkan riuh persiapan Natal di kampung: dari lampu Natal, serunya membuat kandang Natal di gereja, membersihkan pekuburan menjelang Natal, parade Natal di atas mobil terbuka yang mengelilingi kota, hingga latihan koor setiap malam untuk persiapan malam Natal. Ah, Lia merindukan semua itu.

Sejak memutuskan bekerja, menikah lalu memiliki dua anak serta menetap di kota besar ini, Lia memang tak punya banyak kesempatan untuk pulang ke kampung halamannya untuk sekedar merayakan suasana itu kembali. Semua itu sudah tergadaikan dengan rumah tangga, keluarga barunya, pekerjaan dan kehidupan yang dijalaninya sekarang. Sejak menikah pula, belum sekalipun dia berkesempatan mengajak suami dan kedua anaknya untuk pulang ke kampung pada liburan Natal. Pekerjaan yang seolah terus menumpuk, urusan rumah tangga yang nampak tak kelar-kelar, mengatur waktu liburan anak-anak, selalu saja menjadi aral di bulan Desember kala rindunya memuncak pada Natal di kampung halaman.   

Di sini, di kota ini, Natal seolah menjadi suasana yang paling menyeramkan, kalaupun itu kalimat yang paling terasa kasar buatnya. Bagaimana tidak, setiap kali Natal tiba, ada saja pihak yang merasa terganggu dengan Natal. Seolah-olah Natal yang dirayakan akan mendatangkan bencana dan musibah untuk kota ini. Surat-surat edaran, himbauan bahkan larangan untuk merayakan Natal mulai ramai diperbincangkan di surat kabar kota. Bahkan, mengucapkan selamat Natal pun tidak diperbolehkan.

“Pa, kita Natalan di mana tahun ini? Semua tempat sudah dilarang untuk merayakan Natal,” tanyanya pada sang suami di suatu sore.
“Entahlah Ma. Kemarin di kantor bupati juga sudah ada pertemuan. Hasilnya, kita tetap dilarang merayakannya di manapun di kota ini,” jawab sang suami.
“Alasannya?”
“Kita belum punya ijin katanya,”
“Ijin? Apakah berdoa pada Tuhan juga harus dapat ijin Pa?”
“Ijin menggunakan gedung atau rumah gitu maksudnya, Ma!”
“Ya itu dia masalahnya. Kan tinggal dikasih ijin saja kan?”
“Ah, sudahlah Ma. Ribetlah! Yang jelas, kita ditawarkan untuk pakai mobil pemerintah untuk beribadat di luar kota, yang ada gerejanya, yang sudah ada ijinnya,”.
“Ah, jauh Pa. Kasihan anak-anak, nanti capek di jalan,”.
“Ya, sudah Ma. Kita Natalan di rumah saja,”.
“Ah, tidak lengkap rasanya sih Pa. Malam Natal seharusnya di gereja,”.
“Ya, kita tunggu saja berita baiknya dari pastor Adnan. Semoga dalam beberapa hari ke depan ini, bapa pastor sudah bisa cari tempat ibadat yang layak dan ada ijin tentunya buat kita Natalan bersama dengan umat lainnya,” tutup sang suami.

Indah, putri pertamnya selalu mendesaknya untuk berlibur di kampung halamannya. Namun, Lia belum mampu mewujudkannya. Kadang, Lia merasa bersalah untuk semua itu.

“Ma, ayo liburan ke kampung nenek. Pasti seru. Ada pantainya, kebun mangganya, dan gereja yang cantik itu, seperti di foto,” rengek Indah suatu waktu.
“Ya, tapi belum bisa saat ini, sayang. Pekerjaan mama belum kelar sampai akhir tahun. Banyak laporan yang harus dibikin. Papamu juga lagi sibuk-sibuknya di kantornya. Banyak kiriman yang harus diurus di akhir tahun. Belum lagi adikmu yang tidak bisa jalan jauh karena sering muntah-muntah,” rayu Lia.

Indah nampak cemberut.

“Enak ya kalau liburan di kampung. Natalan di gereja yang cantik itu, lalu piknik di pantai, makan ikan bakar, berenang, lalu berjemur di pantai, bikin pohon Natal kayak semua keluarganya mama di kampung. Indah lihat semuanya di Facebook. Ah, serunya!”, celotehnya.
“Tapi di sini kan kita bisa tetap Natalan kan sayang?”
“Ah, tidak seru Ma. Sepi! Berdoa saja dilarang, padahal kata guru, semua warga negara dijamin kebebasannya menjalankan ibadah, kok di sini dilarang sih?”.
“Eh, pssst!” sergah sang ibu sambil meletakkan jari telunjuk tangan kanannya pada bibirnya.
“Tidak semua yang diajarkan di sekolah, bisa berjalan sesuai aturannya di masyarakat, nak!” sambung sang ibu.

Indah nampak tak memahami kata-kata sang ibu, namun disimpannya semua jawabannya itu, mungkin bakal ditanyakan lagi kelak!

Pagi yang cerah di Natal yang sepi, selalu. Kabar dari Pastor Adnan semalam lewat pesan Whatsapp membuat Lia nampak lesu hari ini. ‘Maaf umat semuanya. Sepertinya tahun ini kita tidak bisa merayakan Natal bersama. Semua tempat tidak diijinkan untuk dipakai untuk perayaan Natal. Saya sudah mencoba semua usaha, namun hingga saat ini semua nampak belum berhasil. Namun, kita bisa merayakannya di rumah masing-masing. Toh, iman kita tetap tidak akan berubah. Salam Damai Natal untukmu semua. Tuhan menyertai kita semua,’ tulis Pastor Adnan di WA.

Setelah doa bersama di depan kandang Natal sederhana milik keluarga mereka, Lia dan sang suami mengajak kedua putrinya menembus jalanan kota yang masih cukup lenggang, diiringi suara adzan dari suara mesjid yang berjejer di pinggir jalan, ke sebuah pelabuhan kecil di pinggir kota subuh ini. Indah dan Imah, sang adik begitu menikmati pagi yang cerah dan sepi di pelabuhan kecil ini. Sesekali keduanya turun lewat tangga di sebelah dermaga untuk bermain pasir dan mengejar ombak yang mencium pantai. Laut yang tenang, seolah mengijinkan perahu-perahu nelayan kembali ke darat. Sang suami duduk tepat di sampingnya, dengan kamera saku miliknya, berusaha memotret pagi ini.

“Kok kamu tahu tempat ini Ma? Tempat ini keren sekali. Pemandangan dan suasana paginya begitu tenang, kita harus sering-sering ke sini, Ma,” ujar sang suami.
“Ini  tempat favorit saya dulu saat masih kuliah. Saat lagi banyak masalah, saya sering ke sini. Melihat laut, nelayan dan ikan-ikan segar, cukuplah mengibur diri. Tapi seharusnya kita tidak di sini hari ini, di Natal hari ini,”
Sang suami menggenggam tangan Lia.
“Seperti kata Pastor Adnan, yang penting iman kita tidak akan berubah,”.
“Ya, itu yang terpenting: IMAN,” sahut Lia, cukup tenang.

Tatapan Lia jauh ke depan, namun seolah-olah matanya mampu melihat lebih jauh dari itu, menerobos lautan, menuju kampung halamannya yang terbaring di antara lembah-lembah dengan pohon kelapa yang rapat memagar. Di gereja kecil berwarna putih cream yang pudar itu, Silent Night menggema dari balik jendelanya yang kecil, anak-anak kecil berlari di luar gereja, tangan-tangan mengatup di atas barisan kursi, serta pohon Natal sederhana dari pohon bambu dengan hiasan lampunya menyempurnakan Natal hari ini.

“Untukmu semua, Selamat Natal,” bisiknya dalam hati. Tenang, sedikit getir, namun penuh sukacita.


Waibalun, 21/12/2019.








Komentar

Postingan populer dari blog ini

WAIBALUN - JATI DIRI

TERUNTUK PATER BERNAD MULLER, SVD

KRITIK BUDI (Refleksi Singkat untuk HUT Pater Budi Kleden SVD)