LELAKI DI MALAM 'SOLE OHA'
Lekaki di Malam 'SOLE OHA'
Cerpen Berrye Tukan*
“Di samping kamu itu saya, Mel. Tidak ada orang lain lagi,” tegas Anna. “Bukan Anna. Awalnya memang kamu di samping saya. Tapi saat dolo* sudah di tengah jalan, ada satu bapak tua masuk antara kita. Dia pegang tangan kanan saya. Saya di sebelah kirinya, dan kamu di sebelah kanannya,” balas Imel. “Dengar ya! Sampai dolo selesai, disambung dengan Sole Oha*, kamu tetap di samping saya, tidak ada bapak atau siapapun yang masuk di antara kita. Kamu jangan ngawur Imel!” balas Anna lagi.
“Pokoknya, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa ada satu bapak tua yang ada di antara kita. Badannya besar kekar, tinggi, rambut agak lebat, pake jaket hitam, celana kain berwarna gelap, dia juga ikut berpantun beberapa kali,” tambah Imel lagi.
Imel dan Anna terus saja berdebat tentang sesosok lelaki yang ikut bersama keduanya dan warga kampung lainnya dalam Dolo-dolo dan Sole Oha beberapa malam lalu di Karing, tempat penutupan Festival Lamaholot Flores Timur 2019. Imel tetap mempertahankan keyakinannya bahwa memang benar ada sesosok lelaki yang berada di antara mereka berdua. Anna sebaliknya membantah dan yakin tak ada orang lain lagi di antara mereka.
“Sudah! Sudah! Sejak kemarin kalian berdua berdebat tentang laki-laki itu. Tidak usah dibahas lagi! Kalian berdua bikin kepala saya pusing,” tegur Ina Issah, ibu Imel yang tiba-tiba masuk dari dapur.
“Ina Issah, saya yakin saya yang pegang tangan Imel sampai Dolo dan Sole selesai,” sahut Anna.
“Tanganmu tidak mungkin semungkin sekasar itu, Anna!” celetuk Imel. “Haha, ya iyalah Mel. Saya khan rajin luluran,” balas Anna. Kedua wanita itu lalu tertawa kecil, sementara sang ibu hanya menggeleng-geleng kepalanya sembari sibuk di dapur.
“Imel, masak air panas buat bapak. Dia sebentar lagi pulang,” ujar Ina Issah. Imel bangun dari kursinya, mengangkat sebuah ember hitam di sudut rumah dan mulai mencedok air dari dalam sebuah gentongan tanah liat di sebelah pintu dapur.
“Saya pulang dulu ya Imel. Ina Issah, saya pulang dulu,” pamit Anna.
“Ya, hati-hati di jalan,” balas Ina Issah.
“Jangan lupa cek jadwal pesawat ke Kupang,” sambung Imel.
Imel dan Anna, dua gadis yang kuliah di Kupang ini sedang menikmati liburan semester mereka di kampung mereka sendiri di Adonara. Keduanya berencana akan kembali lagi ke Kupang beberapa hari lagi menggunakan pesawat. Liburan kali ini cukup menarik karena bertepatan dengan perayaan sebuah festival seni dan budaya di kampung mereka beberapa hari yang lalu, sebuah festival yang cukup besar yang baru pertama digelar di pulau Adonara. Riuh gempitanya sungguh luar biasa menarik perhatian warga hingga ke pelosok-pelosok desa. Lagu, nyanyian dan tarian memecah malam yang biasanya sunyi senyap. Hentakan kaki dengan bunyi gemerincingnya asri berirama dengan irama pantun yang dinamis saat Sole Oha menutup semua rangkaian acara itu. Imel dan Annapun tak ketinggalan mengikuti Sole Oha, yang hingga saat ini masih menjadi bahan perdebatan keduanya tentang ada tidaknya sosok lelaki yang hadir di antara mereka.
Malam turun sempurna di kampung. Selepas makan malam, Anna bergabung bersama Ama Pou dan Ina Issah di ruang depan.
“Bapa, mungkin hari Minggu saya dan Anna jadi pulang ke Kupang,” ujar Imel.
“Pesawat? Tiketnya berapa?” tanya sang ibu.
“Iya. Masih dicek Anna,”
“Oh iya. Semester ini kami harus sudah bikin proposal. Saya harus punya laptop. Tidak enak tiap hari pinjam punya teman terus,” sambung Imel.
“Berapa harganya?” tanya Ama Pou, sang bapak. “Lima juta. Yang paling bagus, sekitar enam tujuh juta.”
“Hmm. Tahun ini mente tidak terlalu bagus. Musim kering terlalu lama, bikin mente tidak bisa berbunga. Ditambah lagi kutu putih yang bikin bunganya mati. Kalau minggu depan, Ako Lim sudah mau timbang kopra bapa, berarti sudah bisa tambah-tambah beli laptopnya,” tutup Ama Pou sembari menarik rokok kreteknya dalam-dalam.
“Sementara itu kau pinjam laptop Anna punya dulu. Kios juga lagi sepi-sepinya. Utang beras banyak yang belum bayar,” tambah Ina Issah, sang ibu.
“Ah, sudahlah. Tidak apa-apa,” timpal Imel setengah menghela napasnya dalam-dalam sembari memperhatikan sang bapak yang duduk di sudut ruangan itu. Lelaki kurus agak pendek dengan kulit yang hitam legam akibat dibakar matahari saban hari itu masih asyik menarik asap rokoknya. Imel kadang bertanya dalam hatinya tentang kenekatan sang bapak untuk menyekolahkannya sementara bapaknya hanyalah seorang petani kampung biasa. Namun, sejauh ini tak ada masalah serius tentang kiriman uang. Selalu tepat waktu. Ah, hebatnya bapakku ini, pikir Imel seringkali.
“Saya tidur dulu. Sudah mengantuk,” ujar Ama Pou sembari bangun dari kursinya.
Ina Issah masih menggulung benang. Wajahnya tenang di balik temaram lampu teras. Imel mulai memainkan ponselnya.
“Imel, betul kau ketemu lelaki itu di Sole Oha?”
“Iya, Ina percaya saya khan?”
Ina Issah hanya terdiam.
“Badannya tinggi dan kekar?”
“Ya,”
“Kumisnya tebal?”
“Ya”
“Ada gelang hitam di tangan kirinya?”
“Oh Iya, betul sekali. Tunggu! Kok Ina tahu?”
Lagi-lagi Ina Issah tak segera menjawab.
“Dia mungkin, … “ kata Ina Issah setengah berbisik.
“Mungkin apa ma?”
“Kamu mungkin sudah saatnya tahu. Dan Ina harus cerita ke kamu bahwa bapakmu sudah meninggal!”
Imel kaget. Ponselnya hampir jatuh. Dia terhenyak ke belakang hingga kursinya bergeser.
“Maksudnya?” kejar Imel yang tiba-tiba saja merasa seolah tubuhnya begitu ringan melayang dengan kepala yang serasa begitu berat.
“Waktu Ina mengandung kamu, kira-kira delapan bulan, bapakmu kecelakaan saat mengantar kopra ke kota. Setahun kemudian, Ama Pou yang sekarang menjadi bapakmu menikahi Ina. Lelaki yang kau temui di Sole Oha itu, mungkin itu bapak kandungmu. Ama Bebe, namanya. Kuburannya ada di sebelah kiri kuburan Nene Dani,” cerita Ina Issah dengan suara yang berat, nyaris menangis.
Keduanya lalu terjebak dalam keheningan yang luar biasa, hanya suara jangkrik yang terdengar jelas malam itu. Ina Issah lalu berhenti menggulung.
“Ina juga tidak mengerti, tapi entahlah Ina yakin sekali kalau yang masuk ke dalam ligkaran Sole Oha, dan berada di antara kamu dan Imel itu adalah bapakmu. Perasaan Ina begitu kuat tentang itu saat engkau dan Imel mulai bercerita tentang sosok itu. Dia memang sangat suka main Sole Oha, dan pandai membuat pantun dan syair. Diapun dikenal sebagai Sole Alant* di kampung ini,“ sambung Ina Issah sambil dua titik air mengalir dari kelopak matanya. Dia beranjak mendekati anak gadisnya itu.
“Berjanjilah untuk tidak bertanya atau cerita kepada bapakmu. Ina mohon. Apapun situasinya, Ama Pou sudah menjadi suami dan bapak yang terbaik untuk Ina dan kamu. Dia sungguh mencintai dan menyayangi kita berdua, itu yang paling penting,” gumamnya pelan.
Ina Issah menutup kedua bola matanya, dan air matanya menerobos keluar.
“Saya janji, Ina,” balasnya sembari memeluk sang ibu, dan perlahan menguasai dirinya kembali.
***
Pesawat yang Imel dan Anna tumpangi sudah lepas landas sedari tadi. Dari dalam pesawat, Imel yang duduk di dekat jendela memperhatikan pemandangan di luar sana; awan yang berterbangan, gunung dan laut yang tidur membentang di bawah sana. Obrolannya dengan sang ibu beberapa hari kemarin di teras rumah masih menggenang di pikirannya. Tadi pagi, sebelum berangkat dari rumah, Imel tak sempat bertemu dengan sang bapak, Ama Pou. Dia sudah bangun pagi-pagi, dan buru-buru mengangkut kopranya ke gudang Ako Lim untuk ditimbang karena semalam Ako Lim sudah menelpon Ama Pou. “Bilang Imel, kalau semua kopra sudah ditimbang, dia sudah bisa beli laptop,” pesan Ama Pou pada Ina Issah pagi itu sebelum berangkat ke gudang Ako Lim. Imel mendegar semua itu dari balik kamarnya.
Imel masih menatap kosong di balik jendela pesawat sementara Anna sudah lelap dalam tidur. Batin Imel serasa sesak dengan berbagai perasaan: kaget, sedih, dan juga terhenyu. Ditutup matanya dalam-dalam dan di antara bunyi bising mesin pesawat ini, Imel mengambil ponselnya. Ponselnya memang dalam keadaan offline, namun dia nampak begitu ingin menuliskan beberapa baris kalimat yang bakal segera dikirimnya lewat pesan singkat nanti saat pesawat mendarat.
Imel mulai mengetik:
"Ina, bilang bapak berhenti merokok. Jaga kesehatan! Saya sungguh cinta keluarga ini, apapun situasinya".
Nb:
*Dolo : tarian massal melingkar yang biasanya dilanjutkan dengan tarian Sole Oha yang berisi nyanyian dan pantun serta syair adat di Adonara, Flores Timur.
*Sole Oha : tarian melingkar yang merupakan lanjutan dari gerakan dolo, berisi nyanyian dan pantun serta syair adat di Adonara, Flores Timur.
*Sole Alant : orang yang pandai menyusun pantun dan syair dalam tradisi Sole Oha di Adonara, Flores Timur.
(Foto: Berrye Tukan)
Cerpen Berrye Tukan*
“Di samping kamu itu saya, Mel. Tidak ada orang lain lagi,” tegas Anna. “Bukan Anna. Awalnya memang kamu di samping saya. Tapi saat dolo* sudah di tengah jalan, ada satu bapak tua masuk antara kita. Dia pegang tangan kanan saya. Saya di sebelah kirinya, dan kamu di sebelah kanannya,” balas Imel. “Dengar ya! Sampai dolo selesai, disambung dengan Sole Oha*, kamu tetap di samping saya, tidak ada bapak atau siapapun yang masuk di antara kita. Kamu jangan ngawur Imel!” balas Anna lagi.
“Pokoknya, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa ada satu bapak tua yang ada di antara kita. Badannya besar kekar, tinggi, rambut agak lebat, pake jaket hitam, celana kain berwarna gelap, dia juga ikut berpantun beberapa kali,” tambah Imel lagi.
Imel dan Anna terus saja berdebat tentang sesosok lelaki yang ikut bersama keduanya dan warga kampung lainnya dalam Dolo-dolo dan Sole Oha beberapa malam lalu di Karing, tempat penutupan Festival Lamaholot Flores Timur 2019. Imel tetap mempertahankan keyakinannya bahwa memang benar ada sesosok lelaki yang berada di antara mereka berdua. Anna sebaliknya membantah dan yakin tak ada orang lain lagi di antara mereka.
“Sudah! Sudah! Sejak kemarin kalian berdua berdebat tentang laki-laki itu. Tidak usah dibahas lagi! Kalian berdua bikin kepala saya pusing,” tegur Ina Issah, ibu Imel yang tiba-tiba masuk dari dapur.
“Ina Issah, saya yakin saya yang pegang tangan Imel sampai Dolo dan Sole selesai,” sahut Anna.
“Tanganmu tidak mungkin semungkin sekasar itu, Anna!” celetuk Imel. “Haha, ya iyalah Mel. Saya khan rajin luluran,” balas Anna. Kedua wanita itu lalu tertawa kecil, sementara sang ibu hanya menggeleng-geleng kepalanya sembari sibuk di dapur.
“Imel, masak air panas buat bapak. Dia sebentar lagi pulang,” ujar Ina Issah. Imel bangun dari kursinya, mengangkat sebuah ember hitam di sudut rumah dan mulai mencedok air dari dalam sebuah gentongan tanah liat di sebelah pintu dapur.
“Saya pulang dulu ya Imel. Ina Issah, saya pulang dulu,” pamit Anna.
“Ya, hati-hati di jalan,” balas Ina Issah.
“Jangan lupa cek jadwal pesawat ke Kupang,” sambung Imel.
Imel dan Anna, dua gadis yang kuliah di Kupang ini sedang menikmati liburan semester mereka di kampung mereka sendiri di Adonara. Keduanya berencana akan kembali lagi ke Kupang beberapa hari lagi menggunakan pesawat. Liburan kali ini cukup menarik karena bertepatan dengan perayaan sebuah festival seni dan budaya di kampung mereka beberapa hari yang lalu, sebuah festival yang cukup besar yang baru pertama digelar di pulau Adonara. Riuh gempitanya sungguh luar biasa menarik perhatian warga hingga ke pelosok-pelosok desa. Lagu, nyanyian dan tarian memecah malam yang biasanya sunyi senyap. Hentakan kaki dengan bunyi gemerincingnya asri berirama dengan irama pantun yang dinamis saat Sole Oha menutup semua rangkaian acara itu. Imel dan Annapun tak ketinggalan mengikuti Sole Oha, yang hingga saat ini masih menjadi bahan perdebatan keduanya tentang ada tidaknya sosok lelaki yang hadir di antara mereka.
Malam turun sempurna di kampung. Selepas makan malam, Anna bergabung bersama Ama Pou dan Ina Issah di ruang depan.
“Bapa, mungkin hari Minggu saya dan Anna jadi pulang ke Kupang,” ujar Imel.
“Pesawat? Tiketnya berapa?” tanya sang ibu.
“Iya. Masih dicek Anna,”
“Oh iya. Semester ini kami harus sudah bikin proposal. Saya harus punya laptop. Tidak enak tiap hari pinjam punya teman terus,” sambung Imel.
“Berapa harganya?” tanya Ama Pou, sang bapak. “Lima juta. Yang paling bagus, sekitar enam tujuh juta.”
“Hmm. Tahun ini mente tidak terlalu bagus. Musim kering terlalu lama, bikin mente tidak bisa berbunga. Ditambah lagi kutu putih yang bikin bunganya mati. Kalau minggu depan, Ako Lim sudah mau timbang kopra bapa, berarti sudah bisa tambah-tambah beli laptopnya,” tutup Ama Pou sembari menarik rokok kreteknya dalam-dalam.
“Sementara itu kau pinjam laptop Anna punya dulu. Kios juga lagi sepi-sepinya. Utang beras banyak yang belum bayar,” tambah Ina Issah, sang ibu.
“Ah, sudahlah. Tidak apa-apa,” timpal Imel setengah menghela napasnya dalam-dalam sembari memperhatikan sang bapak yang duduk di sudut ruangan itu. Lelaki kurus agak pendek dengan kulit yang hitam legam akibat dibakar matahari saban hari itu masih asyik menarik asap rokoknya. Imel kadang bertanya dalam hatinya tentang kenekatan sang bapak untuk menyekolahkannya sementara bapaknya hanyalah seorang petani kampung biasa. Namun, sejauh ini tak ada masalah serius tentang kiriman uang. Selalu tepat waktu. Ah, hebatnya bapakku ini, pikir Imel seringkali.
“Saya tidur dulu. Sudah mengantuk,” ujar Ama Pou sembari bangun dari kursinya.
Ina Issah masih menggulung benang. Wajahnya tenang di balik temaram lampu teras. Imel mulai memainkan ponselnya.
“Imel, betul kau ketemu lelaki itu di Sole Oha?”
“Iya, Ina percaya saya khan?”
Ina Issah hanya terdiam.
“Badannya tinggi dan kekar?”
“Ya,”
“Kumisnya tebal?”
“Ya”
“Ada gelang hitam di tangan kirinya?”
“Oh Iya, betul sekali. Tunggu! Kok Ina tahu?”
Lagi-lagi Ina Issah tak segera menjawab.
“Dia mungkin, … “ kata Ina Issah setengah berbisik.
“Mungkin apa ma?”
“Kamu mungkin sudah saatnya tahu. Dan Ina harus cerita ke kamu bahwa bapakmu sudah meninggal!”
Imel kaget. Ponselnya hampir jatuh. Dia terhenyak ke belakang hingga kursinya bergeser.
“Maksudnya?” kejar Imel yang tiba-tiba saja merasa seolah tubuhnya begitu ringan melayang dengan kepala yang serasa begitu berat.
“Waktu Ina mengandung kamu, kira-kira delapan bulan, bapakmu kecelakaan saat mengantar kopra ke kota. Setahun kemudian, Ama Pou yang sekarang menjadi bapakmu menikahi Ina. Lelaki yang kau temui di Sole Oha itu, mungkin itu bapak kandungmu. Ama Bebe, namanya. Kuburannya ada di sebelah kiri kuburan Nene Dani,” cerita Ina Issah dengan suara yang berat, nyaris menangis.
Keduanya lalu terjebak dalam keheningan yang luar biasa, hanya suara jangkrik yang terdengar jelas malam itu. Ina Issah lalu berhenti menggulung.
“Ina juga tidak mengerti, tapi entahlah Ina yakin sekali kalau yang masuk ke dalam ligkaran Sole Oha, dan berada di antara kamu dan Imel itu adalah bapakmu. Perasaan Ina begitu kuat tentang itu saat engkau dan Imel mulai bercerita tentang sosok itu. Dia memang sangat suka main Sole Oha, dan pandai membuat pantun dan syair. Diapun dikenal sebagai Sole Alant* di kampung ini,“ sambung Ina Issah sambil dua titik air mengalir dari kelopak matanya. Dia beranjak mendekati anak gadisnya itu.
“Berjanjilah untuk tidak bertanya atau cerita kepada bapakmu. Ina mohon. Apapun situasinya, Ama Pou sudah menjadi suami dan bapak yang terbaik untuk Ina dan kamu. Dia sungguh mencintai dan menyayangi kita berdua, itu yang paling penting,” gumamnya pelan.
Ina Issah menutup kedua bola matanya, dan air matanya menerobos keluar.
“Saya janji, Ina,” balasnya sembari memeluk sang ibu, dan perlahan menguasai dirinya kembali.
***
Pesawat yang Imel dan Anna tumpangi sudah lepas landas sedari tadi. Dari dalam pesawat, Imel yang duduk di dekat jendela memperhatikan pemandangan di luar sana; awan yang berterbangan, gunung dan laut yang tidur membentang di bawah sana. Obrolannya dengan sang ibu beberapa hari kemarin di teras rumah masih menggenang di pikirannya. Tadi pagi, sebelum berangkat dari rumah, Imel tak sempat bertemu dengan sang bapak, Ama Pou. Dia sudah bangun pagi-pagi, dan buru-buru mengangkut kopranya ke gudang Ako Lim untuk ditimbang karena semalam Ako Lim sudah menelpon Ama Pou. “Bilang Imel, kalau semua kopra sudah ditimbang, dia sudah bisa beli laptop,” pesan Ama Pou pada Ina Issah pagi itu sebelum berangkat ke gudang Ako Lim. Imel mendegar semua itu dari balik kamarnya.
Imel masih menatap kosong di balik jendela pesawat sementara Anna sudah lelap dalam tidur. Batin Imel serasa sesak dengan berbagai perasaan: kaget, sedih, dan juga terhenyu. Ditutup matanya dalam-dalam dan di antara bunyi bising mesin pesawat ini, Imel mengambil ponselnya. Ponselnya memang dalam keadaan offline, namun dia nampak begitu ingin menuliskan beberapa baris kalimat yang bakal segera dikirimnya lewat pesan singkat nanti saat pesawat mendarat.
Imel mulai mengetik:
"Ina, bilang bapak berhenti merokok. Jaga kesehatan! Saya sungguh cinta keluarga ini, apapun situasinya".
Waibalun, 02/10/2019.
*Dolo : tarian massal melingkar yang biasanya dilanjutkan dengan tarian Sole Oha yang berisi nyanyian dan pantun serta syair adat di Adonara, Flores Timur.
*Sole Oha : tarian melingkar yang merupakan lanjutan dari gerakan dolo, berisi nyanyian dan pantun serta syair adat di Adonara, Flores Timur.
*Sole Alant : orang yang pandai menyusun pantun dan syair dalam tradisi Sole Oha di Adonara, Flores Timur.
Komentar
Posting Komentar