MEMBACA WAIBALUN, MEMBACA INDONESIA
Membaca Waibalun, Membaca Indonesia
-------
Oleh Abdul Malik
Desa dan Ingatan Kolektif
EMPAT hari setelah sampai di Larantuka, saya diajak Mas Mohammad Zaeni Ratuloli (Mas Boli) bersilaturahmi ke rumah Mas Karolus Banda Larantukan (Mas Karno) di Taman Baca Hutan 46 Waibalun. (29/7/2019). Suasana rumah yang teduh dengan buku-buku, koran dan majalah tertata rapi. Arsip foto-foto dan poster terpajang dengan baik. Saya mendapat buku bertajuk "Peristiwa Waibalun Kumpulan Catatan Harian Anak Muda Waibalun", Cetakan kedua September 2018. Dalam pertemuan berikutnya dengan Mas Karno, saya mendapat undangan untuk mendiskusikan buku Peristiwa Waibalun. Dengan segala kerendahan hati dan penuh syukur saya bersedia. Tidak berapa lama, saya mendapat kiriman poster kegiatan via whatsapp. Dan mulailah kami lebih sering berkomunikasi. Berdasarkan penuturan Mas Karno, Tutu Koda adalah Diskusi Santai. Kalau di Malang dapat diartikan sebagai Jagongan Gayeng, membincangkan sebuah topik gagasan dengan santai namun serius sembari minum kopi dan makan camilan.
Buku Peristiwa Waibalun memuat catatan harian 8 orang dan puisi 1 penulis. Masing-masing: Anselmus D. Atasoge, Antonius Ignasius Nggino Tukan, Berrye Tukan, Bill Halan, Frano Kleden, Jano Musen Ola, Kian Tobin, Sesilia Sika Hajon Awe, Simon Letor. Sembilan penulis memiliki profesi yang beragam: dosen, rohaniwan, aparatur sipil negara, mahasiswa filsafat, guru, mahasiswi. Buku semakin lengkap dengan Prolog dari P. DR. Paul Budi Kleden, SVD dan Epilog dari Ibu Stephie Kleden-Beetz yang menetap di Malang.
Di buku Peristiwa Waibalun rekan Berrye Tukan menyumbang lima tulisan. Namun dalam kesempatan malam ini, saya hanya memberi ulasan sederhana atas untuk tiga tulisan masing-masing berjudul: "Uri dan Ona, Bine dan Koda Geto". Dalam tiga tulisan rekan Berrye Tukan, peran perempuan menjadi sosok yang penting dalam keluarga. Menjadi episentrum dalam berbagai peristiwa adat dan tradisi. Dalam tulisan Bine (hal.20), Berrye Tukan menelusuri jejak masa silam lewat cerita Watowele di Waibalun. Sosok perempuan yang melahirkan Tuan Tanah di Waibalun. Menurut Berrye Tukan, peran penting perempuan dapat juga ditelusuri keterkaitannya dengan sosok Bunda Maria dalam agama Katolik. Tulisan Bine itu sendiri terinspirasi dari lagu ciptaan Yosep Wato Larantukan, pencipta lagu legendaris di Waibalun.
Dalam Uri dan Ona (hal.46), Berrye Tukan mengulas peran dan sosok Uri dan Ona dalam keluarga. Uri (perempuan pertama dalam keluarga) dan Ona (perempuan dewasa-semua saudari dari bapak). Perempuan yang tidak menikah dan mendarmabaktikan hidupnya untuk keluarga.
Dalam Koda Geto (wanita adalah ladang kehidupan) –hal.29, Berrye Tukan mengupas tentang Koda Geto (proses pertunangan secara adat) dan Sakramen Pernikahan di Gereja.
Mempertimbangkan Tradisi
Membaca tiga tulisan Berrye Tukan di buku Peristiwa Waibalun, saya dihadapkan pada kenyataan betapa kaya raya negeri kita yang hari ini merayakan ulang tahun ke-74, dengan adat dan tradisi.
Pertama, ada usaha yang tak kenal lelah dari Berrye Tukan untuk mengajak generasi muda untuk kembali menelaah dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Ada kerinduan dari seorang Berrye Tukan untuk menyuarakan lewat tulisan bahwa adat dan tradisi masih relevan untuk hari ini. Dalam Koda Geto, Berrye Tukan mencatat bahwa kesucian pasangan tetap harus dijaga meskipun telah bertunangan secara adat. Hingga Penerimaan Sakramen Pernikahan di Gereja.
Kedua, Berrye Tukan tetap gelisah dan mempertanyakan peran dan posisi adat dan tradisi di tengah gempuran budaya modern yang merasuki rumah kita lewat medsos.
Di jaman sekarang, ketika semua wanita sudah mengenyam pendidikan dan kedudukan yang layak di masyarakat, hampir tidak ada lagi sosok wanita penuh dedikasi seperti ini. Lihatlah di sekeliling keluarga kita, mungkin ada Uri atau Ona kita yang punya segudang cerita masa lalu yang begitu sayang untuk tidak kita catat dalam sejarah hidup kita dan keluarga kita. (hal.48)
Tulisan-tulisan Berrye Tukan menekankan bagaimana nilai-nilai penghargaan antara anggota keluarga menjadi hal penting.
Budaya di Waibalun, Ona-Uri, masih bisa ditemukan dalam masyarakat pedesaan di Jawa. Hal tersebut banyak dilakukan sebagai tanggung jawab kakak tertua. Dan kebanyakan kakak perempuan. Bukan termasuk tradisi, karena tidak dilakukan semua orang. Hanya sebuah tanggungjawab apabila keluarga tersebut tidak mampu, dan anak-anak banyak. Tidak jarang anak tertua berkerja untuk menafkahi keluarga, termasuk menyekolahkan adik-adiknya. Hal ini mengakibatkan seorang kakak tidak memikirkan dirinya sendiri untuk berkeluarga. Dan bisa menjadi perawan tua. Bahkan tidak menikah. Tradisi Jawa adalah tradisi dengan garis patrilineal. Tetapi di dalam hubungan kekerabatan sebelum perkawinan hanyalah keluarga ( bapak, ibu, kakak, adik). Dan berlaku adat di dalam perkawinan mulai dari anak pertama, kedua, dst. Apabila anak kedua kawin lebih dulu, ada ketentuan sendiri yang harus dilakukan.Yaitu upacara melangkahi, sebentuk ucapan ‘nyuwun sewu’.
Budaya di Waibalun, Koda Geto masih relevan diterapkan dalam kehidupan masa kini. Dalam Koda Geto kita mendapatkan nilai-nilai pernikahan adalah peristiwa sakral dimana masing-masing pasangan yang akan menikah tetap harus menjaga kesucian.
Menyimak budaya di Waibalun: Bine, Ona-Uri, Koda Geto, membuktikan adanya spirit Bhinneka Tunggal Ika, berbeda suku, adat, tradisi tetapi tetap satu jua, Indonesia. Perbedaan direkatkan oleh Pancasila sebagai Dasar Negara sekaligus kristalisasi dari nilai-nilai budaya.
Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadiaan
Tulisan Berrye Tukan adalah potongan-potongan mozaik. Disusun dengan mozaik yang lain menjadi satu gambar utuh—menjadi ingatan kolektif Waibalun. Setiap orang boleh dan berhak menulis dan mengumpulkan mozaik dari ingatan masa lalu. Sejarah Waibalun dibangun dari banyak ingatan kolektif.
Hampir tiga minggu di Larantuka, saya mendapat banyak informasi terkait sejarah lisan saat diajak Muhammad Sibawaihi, Seniman Mengajar yang sedang mengerjakan video dokumenter tentang budaya Lamalohot. Bersama anak-anak muda di Desa Bantala, Muhammad Sibawaihi yang tak kenal lelah menempuh perjalanan untuk dapat melakukan wawancara dengan tokoh-tokoh adat. Dalam sebuah kesempatan wawancara seorang tokoh adat mengaku bahwa tak ada catatan tertulis dari yang disampaikan namun Beliau tetap percaya pada adat dan tradisi dan ada sanksi untuk setiap pelanggaran.
Menyikapi peran literasi dan budaya lisan, saya sepakat dengan P. Dr. Paul Budi Kleden, SVD dalam Prolog buku Peristiwa Waibalun:
Tanpa harus dan tanpa bertujuan menggantikan tradisi lisan, perlahan-lahan kita perlu memulai tradisi tulisan, budaya menulis kisah-kisah kita. Hal ini terutama berkaitan dengan dongeng-dongeng dan kisah pengalaman kongkret. Dongeng-dongeng tradisional dan modern perlu ditulis dan jika mungkin diterbitkan untuk untuk disebarluaskan kepada orang banyak. Demikian pula pengalaman-pengalaman kongkret sehar-hari yang direfleksikan, perlu dituangkan dalam bentuk tulisan dan dalam bentuk tulisan dan dipublikasikan.(hal.xii)
Budayawan WS Rendra pun mengakui bahwa tradisi telah banyak membimbingnya dalam hampir semua karyanya. Kawin-Kawin dibimbing oleh tradisi romantik tembang-tembang palaran orang Jawa, Sajak-sajak Sepatu Tua dibimbing oleh tradisi bahasa koran. Kumpulan sajak Masmur Mawar dan pementasan Kasidah Barzanji dibimbing oleh tradisi spiritual mitologi Dewa Ruci dari orang-orang Jawa. Pementasan Oidipus Rex dibimbing oleh tradisi teater rakyat Bali. Gaya pementasan Macbeth diilhami oleh gaya folklore masyarakat desa di Jawa Tengah dan teater Mini Kata sangat erat hubungannya dengan tradisi permainan image dalam tembang dolanan anak-anak Jawa. (Mempertimbangkan Tradisi, WS Rendra, 1983 hal.5)
Tradisi menulis membutuhkan disiplin dan adanya kesadaran yang tulus untuk mendokumentasikan apapun yang terkait dengan adat dan tradisi. Untuk semangat menulis, saya terlecut oleh Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Indonesia yang masih tekun menulis saat menjalani masa tahanan di Pulau Buru. Dari sanalah lahir magnum opus Tertralogi Pulau Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca. Pram menorehkan kalimat: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadiaan.”
Berrye Tukan bersama Anselmus D.Atasoge, Antonius Ignasius Nggino Tukan, Bill Halan, Frano Kleden, Jano Musen Ola, Kian Tobin, Sesilia Sika Hajon Awe, Simon Letor telah bekerja untuk keabadiaan dan menempatkan Waibalun dalam tempat terhormat di dunia literasi.
Salam literasi,
----------------
*Abdul Malik, penulis seni.Bukunya yang sudah terbit Dari Ang Hien Hoo, Ratna Indraswari Ibrahim hingga Hikajat Kebonagung. Tinggal di Desa Kebonagung Kabupaten Malang Jawa Timur.
Bersama Ardi Firyasah, Muhammad Sibawaihi, Aik Vela Pratisca menjadi Peserta Seniman Mengajar 2019 di Larantuka Flores Timur, 25 Juli-5 September 2019. Program diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
** *
Disampaikan dalam kegiatan Merawat Waibalun Menuju Indonesia Unggul.
Tutu Koda tentang Ona-uri Bine dan Koda Geto karya Berrye Tukan dalam buku Peristiwa Waibalun.Pembicara/penanggap:Abdul Malik, anggota Seniman Mengajar, penulis seni budaya;Yeremias Tukan, tokoh masyarakat;Berrye Tukan, penulis.17 Agustus 2019 pukul 18.00-selesai di Keramaian Waibalun Flores Timur Nusa Tenggara Timur.Diselenggarakan:Taman Baca Hutan 46 Waibalun dan Panitia Perayaan HUT ke-74 Republik Indonesia Tingkat Kelurahan Waibalun. Didukung oleh Beatrix Desain
Komentar
Posting Komentar