'KUDI LELEN BALA': MENCARI MOZAIK YANG TERKUBUR.
'Kudi Lelen Bala' Mencari Mozaik yang Terkubur.
-------------
Oleh Bere Tukan
'Bila bianglala telah melengkung di kaki pantai / Ketahuilah bahwa bukit-bukit batu / Yang menjorok ke pangku laut itu / Akan gugur batu demi batu.
Aku, Kudi Lelen Bala, Tuan Au Gakat Matan / Mataku bersinar, buana terbakar, perawan terpanggang / Tinggal rangka kaku.
Tuan kasih turun layar putih / Kemari dayung tuan punya perahu / Rapat tambat di tonggak kukuh.
Tapi awas! / Jangan ajak aku bicara di malam bulan bisu / Mandiri kujungkir / Kau terhempas di dasar padas,/ Musnah!
Aku Kudi Lelen Bala, Tuan Au Gakat Matan./
Malam ini (24/08/2019), puisi lama berjudul Kudi Lelen Bala karya Mc. S. Betan di atas seolah menjadi sihir. Lantang dan jelas terucap dari bibir Robby Kromen, pemeran Kudi Lelen Bala. Antara sela bait, diiringi lagu Ile Rae yang dinyanyikan penuh syahdu oleh pelantun yang bersila di belakangnya. Semua mata tertuju di panggung malam ini, dari pejabat hingga masyarakat umum.
Tak seperti biasa di tahun-tahun sebelumnya, acara penutupan Perayaan Peringatan HUT Proklamasi ke-74 RI Tingkat Kelurahan Waibalun, kali ini panitia mencoba sesuatu yang berbeda yakni dengan menggabungkan unsur teatrikal dan acara protokoler. Bupati Flores Timur, Antonius H. Gege Hadjon, ST pun menjadi salah satu aktornya.
Gagasan sang ketua panitia, Aloysius Didimus Parera untuk menampilkan ke-Waibalun-nan yang kental dalam setiap acara dan kegiatan ini segera direspon oleh sang sutradara muda, Hany Balun dengan sebuah pementasan teatrikal yang sungguh menarik.
Diawali dengan penjemputan bupati dan rombongan di depan gerbang masuk, sahutan-sahutan adat menandai acara dimulai. Bupati Anton menjawab pertanyaan Kudi yang berada di atas panggung utama. Penari-penari yang berada di gerbang utama pun bersahutan memperkenalkan diri mereka. Bendera Merah Putih lalu diarak oleh dua penari menuju ke panggung utama sementara rombongan bupati mengekor di belakang sementara penari hedung mengiringi. Teatrikal pun belum terhenti sampai di situ saja.
Bait demi bait puisi Kudi Lelen Bala membelah keheningan, diselingi lagu Ile Rae. Laporan ketua pantia hingga sambutan bupati pun terkatup dalam sebuah rangkaian pentas teatrikal itu. Bupati dijemput dan diantar kembali oleh dua penari. Ketika gong ditabuh sebagai pertanda seluruh rangkaian kegiatan telah ditutup, teatrikal dilanjutkan lagi dengan nyanyian-nyanyian khas Waibalun yang sarat makna. Dua kelompok penari bergerak dari sisi dan kanan panggung dan melantunkan lagu-lagu yang nyaris hilang dimakan waktu, terdengar asing memang.
Pentas teatrikal Kudi Lelen Bala malam ini sungguh menyajikan sesuatu yang berbeda. Di samping nuansa ke-Waibaun-an yang begitu kental terasa, di sana pula ada hal-hal menarik yang dapat dilihat dan dirasakan.
Menurut sang sutradara, Hany Balun (yang justru enggan disebut ‘sutradara’), Kudi Lelen Bala dapat dianggap sebagai adalah tokoh sentral dalam cerita orang Waibalun. Puisi karya Mc. S. Betan, seorang tokoh budaya dan seni Waibalun ini, sebenarnya mencerminkan tokoh Kudi sebagai sosok yang begitu akrab menyambut dan menerima para pendatang yang mendiami Waibalun, memberikan ruang dan kesempatan bagi mereka untuk berkembang, dan saling bekerja sama untuk membangun Waibalun. Namun di sisi lain, Kudi –dalam puisi ini- juga mengingatkan bahwa kebaikannya itu tidak boleh dikhianati dengan segala macam niat jahat, karena dampak buruknya akan segera terasa.
Orang Waibalun dikuatkan oleh sebuah semangat untuk saling peduli sehingga sungguh merasakan arti dan makna ketika mendiami Waibalun. Orang dari luar yang tinggal di Waibalun pasti merasakan hal yang sama. “Bahkan, ketika orang yang pernah tinggal di Waibalun akan merasakan pengalaman tersendiri, dan bangga menjadi bagian di dalamnya,” ujarnya.
Awalnya pentas ini, menurutnya, rencananya melibatkan 40 orang, namun dalam perjalanan, karena berbagai hal teknis dan penyesuaian situasi, maka pemeran yang terlibat dalam pentas ini berjumlah 28 orang. “Ini bukan pentas teater, karena tidak menampilkan dialog. Ini semacam musikalisasi puisi yang kemudian dirangkum dalam sebuah pentas teatrikal,” katanya.
Menurut Hany, simbol-simbol yang ada di atas panggung serta properti yang digunakan dalam pentas ini mengungkapkan tinggalan-tinggalan kebudayaan Waibalun yang merupakan masyarakat agraris dan juga masyarakat bahari. Kemosok dan kehawek dan lainnya adalah benda-benda yang mencirikan kehidupan masyarakat Waibalun dulu dan sekarang.
Tradisi orang Waibalun, baik dalam lisan dan ritual serta seni saat ini, usulnya, harus dibangkitkan lagi melalui ingatan kolektif masyarakatnya. “Kepingan-kepingan yang dikumpulkan dari tradisi seni dan budaya serta kehidupan orang Waibalun pada jaman dahulu hingga saat ini telah membentuk mozaik-mozaik yang belum utuh,” ujarnya. Dan pentas ini sesungguhnya bertujuan untuk membangkitkan ingatan kolektif masyarakat Waibalun itu sendiri, semacam hentakan yang kemudian menyegarkan ingatan orang-orang Waibalun tentang sejarah, adat istiadat, seni, ritual, nyanyian orang Waibalun yang perlu digali kembali untuk memperteguh dan memperkaya jati diri dan karakter orang Waibalun itu sendiri.
“Pentas teatrikal ini sendiri juga memberikan sebuah pengalaman kebatinan yang begitu kuat,” ungkapnya. Hany menerangkan bahwa para pementas ini bukanlah mereka yang sehari-hari berkecimpung di dunia seni dan teater. Mereka adalah orang-orang biasa, petani, tukang, ASN, nelayan, mahasiswa, ibu rumah tangga, anak sekolah, dan lainnya. Namun semangat mereka untuk berlatih dan berperan memang luar biasa dan harus diapresiasi. Mereka rela meluangkan waktu dari kesibukan mereka mencari uang. Kendala-kendala yang mereka hadapi di lapangan coba diselesaikan secara bersama. “Ini sebenarnya menjadi semangat orang Waibalun,” ungkapnya.
Di balik tepuk tangan dan kekaguman itu, ada pula kegelisahan dan kecemasan yang menurutnya harus segera direspon bersama oleh orang Waibalun, bahwa kepingan-kepingan budaya Waibalun banyak yang nyaris terlupakan. “Ini adalah waktu yang paling tepat untuk saling menggali ingatan bersama tentang Waibalun. Generasi-generasi orang tua akan segera berakhir namun pengetahuan mereka tentang Waibalun belum sepenuhnya terwarisi. Ini adalah peluang untuk saling belajar, antara orang tua dan generasi selanjutnya,” pesannya.
“Saat ini sudah ada geliat dan semangat yang nyata untuk merawat Waibalun dari sisi budaya dan seninya. Generasi saat ini sungguh cemas akan kehilangan jati diri mereka sebagai orang Waibalun. Dengan potensi dan SDM yang ada ini, saatnya kita bersama terus menggali dan menemukan kepingan-kepingan yang nyaris terkubur itu,” tandasnya.
Ya, Merawat Waibalun, harus diwujudnyatakan, bukan sekedar slogan-slogan kosong yang bakal menguap!
(ket. foto by: Bere Tukan)
-------------
Oleh Bere Tukan
'Bila bianglala telah melengkung di kaki pantai / Ketahuilah bahwa bukit-bukit batu / Yang menjorok ke pangku laut itu / Akan gugur batu demi batu.
Aku, Kudi Lelen Bala, Tuan Au Gakat Matan / Mataku bersinar, buana terbakar, perawan terpanggang / Tinggal rangka kaku.
Tuan kasih turun layar putih / Kemari dayung tuan punya perahu / Rapat tambat di tonggak kukuh.
Tapi awas! / Jangan ajak aku bicara di malam bulan bisu / Mandiri kujungkir / Kau terhempas di dasar padas,/ Musnah!
Aku Kudi Lelen Bala, Tuan Au Gakat Matan./
Malam ini (24/08/2019), puisi lama berjudul Kudi Lelen Bala karya Mc. S. Betan di atas seolah menjadi sihir. Lantang dan jelas terucap dari bibir Robby Kromen, pemeran Kudi Lelen Bala. Antara sela bait, diiringi lagu Ile Rae yang dinyanyikan penuh syahdu oleh pelantun yang bersila di belakangnya. Semua mata tertuju di panggung malam ini, dari pejabat hingga masyarakat umum.
Tak seperti biasa di tahun-tahun sebelumnya, acara penutupan Perayaan Peringatan HUT Proklamasi ke-74 RI Tingkat Kelurahan Waibalun, kali ini panitia mencoba sesuatu yang berbeda yakni dengan menggabungkan unsur teatrikal dan acara protokoler. Bupati Flores Timur, Antonius H. Gege Hadjon, ST pun menjadi salah satu aktornya.
Gagasan sang ketua panitia, Aloysius Didimus Parera untuk menampilkan ke-Waibalun-nan yang kental dalam setiap acara dan kegiatan ini segera direspon oleh sang sutradara muda, Hany Balun dengan sebuah pementasan teatrikal yang sungguh menarik.
Diawali dengan penjemputan bupati dan rombongan di depan gerbang masuk, sahutan-sahutan adat menandai acara dimulai. Bupati Anton menjawab pertanyaan Kudi yang berada di atas panggung utama. Penari-penari yang berada di gerbang utama pun bersahutan memperkenalkan diri mereka. Bendera Merah Putih lalu diarak oleh dua penari menuju ke panggung utama sementara rombongan bupati mengekor di belakang sementara penari hedung mengiringi. Teatrikal pun belum terhenti sampai di situ saja.
Bait demi bait puisi Kudi Lelen Bala membelah keheningan, diselingi lagu Ile Rae. Laporan ketua pantia hingga sambutan bupati pun terkatup dalam sebuah rangkaian pentas teatrikal itu. Bupati dijemput dan diantar kembali oleh dua penari. Ketika gong ditabuh sebagai pertanda seluruh rangkaian kegiatan telah ditutup, teatrikal dilanjutkan lagi dengan nyanyian-nyanyian khas Waibalun yang sarat makna. Dua kelompok penari bergerak dari sisi dan kanan panggung dan melantunkan lagu-lagu yang nyaris hilang dimakan waktu, terdengar asing memang.
Pentas teatrikal Kudi Lelen Bala malam ini sungguh menyajikan sesuatu yang berbeda. Di samping nuansa ke-Waibaun-an yang begitu kental terasa, di sana pula ada hal-hal menarik yang dapat dilihat dan dirasakan.
Menurut sang sutradara, Hany Balun (yang justru enggan disebut ‘sutradara’), Kudi Lelen Bala dapat dianggap sebagai adalah tokoh sentral dalam cerita orang Waibalun. Puisi karya Mc. S. Betan, seorang tokoh budaya dan seni Waibalun ini, sebenarnya mencerminkan tokoh Kudi sebagai sosok yang begitu akrab menyambut dan menerima para pendatang yang mendiami Waibalun, memberikan ruang dan kesempatan bagi mereka untuk berkembang, dan saling bekerja sama untuk membangun Waibalun. Namun di sisi lain, Kudi –dalam puisi ini- juga mengingatkan bahwa kebaikannya itu tidak boleh dikhianati dengan segala macam niat jahat, karena dampak buruknya akan segera terasa.
Orang Waibalun dikuatkan oleh sebuah semangat untuk saling peduli sehingga sungguh merasakan arti dan makna ketika mendiami Waibalun. Orang dari luar yang tinggal di Waibalun pasti merasakan hal yang sama. “Bahkan, ketika orang yang pernah tinggal di Waibalun akan merasakan pengalaman tersendiri, dan bangga menjadi bagian di dalamnya,” ujarnya.
Awalnya pentas ini, menurutnya, rencananya melibatkan 40 orang, namun dalam perjalanan, karena berbagai hal teknis dan penyesuaian situasi, maka pemeran yang terlibat dalam pentas ini berjumlah 28 orang. “Ini bukan pentas teater, karena tidak menampilkan dialog. Ini semacam musikalisasi puisi yang kemudian dirangkum dalam sebuah pentas teatrikal,” katanya.
Menurut Hany, simbol-simbol yang ada di atas panggung serta properti yang digunakan dalam pentas ini mengungkapkan tinggalan-tinggalan kebudayaan Waibalun yang merupakan masyarakat agraris dan juga masyarakat bahari. Kemosok dan kehawek dan lainnya adalah benda-benda yang mencirikan kehidupan masyarakat Waibalun dulu dan sekarang.
Tradisi orang Waibalun, baik dalam lisan dan ritual serta seni saat ini, usulnya, harus dibangkitkan lagi melalui ingatan kolektif masyarakatnya. “Kepingan-kepingan yang dikumpulkan dari tradisi seni dan budaya serta kehidupan orang Waibalun pada jaman dahulu hingga saat ini telah membentuk mozaik-mozaik yang belum utuh,” ujarnya. Dan pentas ini sesungguhnya bertujuan untuk membangkitkan ingatan kolektif masyarakat Waibalun itu sendiri, semacam hentakan yang kemudian menyegarkan ingatan orang-orang Waibalun tentang sejarah, adat istiadat, seni, ritual, nyanyian orang Waibalun yang perlu digali kembali untuk memperteguh dan memperkaya jati diri dan karakter orang Waibalun itu sendiri.
“Pentas teatrikal ini sendiri juga memberikan sebuah pengalaman kebatinan yang begitu kuat,” ungkapnya. Hany menerangkan bahwa para pementas ini bukanlah mereka yang sehari-hari berkecimpung di dunia seni dan teater. Mereka adalah orang-orang biasa, petani, tukang, ASN, nelayan, mahasiswa, ibu rumah tangga, anak sekolah, dan lainnya. Namun semangat mereka untuk berlatih dan berperan memang luar biasa dan harus diapresiasi. Mereka rela meluangkan waktu dari kesibukan mereka mencari uang. Kendala-kendala yang mereka hadapi di lapangan coba diselesaikan secara bersama. “Ini sebenarnya menjadi semangat orang Waibalun,” ungkapnya.
Di balik tepuk tangan dan kekaguman itu, ada pula kegelisahan dan kecemasan yang menurutnya harus segera direspon bersama oleh orang Waibalun, bahwa kepingan-kepingan budaya Waibalun banyak yang nyaris terlupakan. “Ini adalah waktu yang paling tepat untuk saling menggali ingatan bersama tentang Waibalun. Generasi-generasi orang tua akan segera berakhir namun pengetahuan mereka tentang Waibalun belum sepenuhnya terwarisi. Ini adalah peluang untuk saling belajar, antara orang tua dan generasi selanjutnya,” pesannya.
“Saat ini sudah ada geliat dan semangat yang nyata untuk merawat Waibalun dari sisi budaya dan seninya. Generasi saat ini sungguh cemas akan kehilangan jati diri mereka sebagai orang Waibalun. Dengan potensi dan SDM yang ada ini, saatnya kita bersama terus menggali dan menemukan kepingan-kepingan yang nyaris terkubur itu,” tandasnya.
Ya, Merawat Waibalun, harus diwujudnyatakan, bukan sekedar slogan-slogan kosong yang bakal menguap!
Mari merawat Waibalun!
*Waibalun, 24 Agustus 2019
Bere Tukan: Penulis Seni dan Budaya
Goe terharu dan merinding...
BalasHapusTerlalu Mantap.
Salut untuk militan2 tercinta...
Terlepas akan cinta dan atau ketidakcintaan anak2 muda terhadap asal usul, corak budaya dan entitasnya, keberanian menyuguhkan pentas ini adalah sebuah ekspresi besar yang harus diapresiasi dengan besar pula. Tidak semua yang terlahir dalam edge of melinial dan pernah berada pada lingkungan yang jauh dari lewo memiliki kesadaran untuk menumbuhkan kepekaan kecil dalam diri untuk mengenal budayanya dan bahkan menggali pranata2 luhur warisan leluhurnya.
Apa yang telah diperankan ini baik sebagai perancang acara, sutradara, para pelakon, kontributor, penulis, blogger, penikmat dan penonton membuktikan bahwa anak2 Waibalun telah melampui komunalisme dalam mengkomunikasikan upaya merawat lewotanahnya yang juga adalah bagian tak terpisahkan dari nusantara...
sekali lagi goe benar2 salut dan memberikan hormat.
mari terus berkarya dengan cara kita masing2, agar tak banyak lagi yang menguap.
Terima kasih loke Tata untuk dukungan serta perhatian yang menguatkan dan memotivasi piin.
HapusApresiasi yang tinggi patut diberikan kepada para tokoh masyarakat dan orang muda pemerhati budaya yang telah mengangkat kembali nilai-nilai luhur sejarah dan budaya lokal, khususnya yang berada di Waibalun. Ada kecenderungan orang-orang muda kita untuk tidak lagi tertarik kepada budaya lokal karena dianggap tidak up to date dan penghalang modernisasi. Kondisi ini akan memburuk jika dari antara orang muda itu tidak ada lagi yang memberi perhatian khusus kepada pengembangan nilai-nilai budaya lokal. Maka apresiasi yang tinggi dan dukungan penuh patut diberikan kepada tokoh-tokoh muda yang senantiasa memanggil kita untuk senantiasa "kembali kepada budaya lokal".
BalasHapusTerima kasih loke untuk saling berbagi kesan dan pesan. Pai tite hama memberi nilai pada diri untuk dapat kuat menghadapi sebuah ke-baru-an yang menerpa kita...
Hapus