PERIHAL SATU BAGI LEBIH DARI SATU
PERIHAL SATU BAGI LEBIH DARI SATU
(Kepada Ayah dan Semua Guru di Dunia)
Oleh Clarita Unu Kleden
Ayahku adalah seorang guru. Tekun lagi. Sejak lahir ayah sudah bercita-cita menjadi seorang guru. Sudah besar, maka jadilah demikian. Ia sangat mencintai pekerjaannya itu. Pada setiap ranum senja ketika segelas kopi mengakrabkan yang dekat, ayah tak kalah mengumbar cerita: “Nak, ayah hidup jadi guru, dan guru bukan untuk hidup ayah”. Bayangkan betapa kuat baja semboyan ini, sekuat legam hitam kulitnya dan batuk terlampau lantaran bertamu ke tenggorokan debu kapur papan tulis. Dengan sangat bangga kuangkat segelas kopiku “pros”, aku berteriak. “Ayahku adalah guru, ayah juara satu seluruh dunia”. Lalu kami berdua pun tertawa tanpa kami tak tahu mengapa kami tertawa.
Ayahku adalah seorang guru. Ia mengasuh pelajaran matematika, ilmu belah diri untuk membunuh bilangan dan angka-angka. Sekedar intermeso, ayah pernah keceplosan begini: “Guru yang paling gampang dikenal adalah guru matematika. Semua guru matematika itu mukanya jelek, selalu murung, dahinya selalu berkerut, dan urat pipi keriput sebelum waktunya. Wajah mereka jelek karena selalu mengaitkan segala sesuatu dengan bilangan”. Ada yang mangut-mangut mungkin setuju atau tidak setuju. Aku sungkan. Jika ayahku mengaku wajahnya jelek maka otomatis aku anaknya juga berwajah jelek. Walau tak ganteng-ganteng amat, tapi aku juga tak jelek-jelek amat. Maka kuangkat sekali lagi segelas kopiku “pros”, aku berteriak. “Ayahku guru yang paling ganteng. Ayah juara satu seluruh dunia”.
Ayahku adalah seorang guru. Guru matematika yang selalu berpikir pragmatis, kritis tapi tak kalah romantis. Ia meniikahi ibuku dengan notabenenya empat tahun lebih kakak. Pasti begitu sakti mantra-mantra gombalnya. Waktu masih PDKT, ayahku bilang begini pada ibu: “Stefi, perihal mencintai adalah rumus yang paling rumit. Cintaku yang satu kubagi kepadamu seorang, dan ketahuilah satu bagi satu sama dengan satu. Kita akan bersatu selamanya!” Ibuku yang waktu itu kuliah prodi Bahasa-Sastra hanya melono dan tak tahu basa-basi perihal matematika. Tetapi ibu juga membalas: “Kalau cintamu demikian, cintaku ibarat kalimat majemuk bertingkat. Bertingkat-tingkat. Mencintai adalah kata kerja. Dan mencintaimu tak hanya sekali. Mencintaimu sekali. Tak terhingga!”
Ayahku yang merasa lebih senior dari ibu dalam menggombal dan menapali: “Stefi, cintaku tak perlu dianalisis seperti kau menganalisis puisi. Sebab nanti banyak analisis yang mencurigakan. Cintaku pasti seperti 2+2=4 dan tak ada kemungkinan yang lain. Tak ada wanita lainselain engkau seorang.” Kemudian ayahku mengambil sebuah gitar. Ayah lalu memainkan gitar tersebut. Lalu ia membunyikna kunci C. Kemudian ayah berbisik kepada ibu: “Stefi, cintaku seperti enam senar gitar. Sama-sama menyiasati sebuah kunci untuk mengunci pintu kesetiaan kita”. Maka sekali lagi kuangkat segelas kopiku “pros”, aku berteriak. “Ayahku guru yang paling romantis, ayah juara satu seluruh dunia”.
Ayahku adalah seorang guru. Sepanjang usia beliau guru matematika dan kuakui ia adalah guru yang paling hebat. Semua rahasia matematika dia telanjangi di hadapanku, anak semata wayang yang kemudian berdosa karena masuk jurusan Bahasa. Ayahku adalah guru yang polos, jujur lagi. Satu tambah satu dibilangnya sebelas. Lagi satu tambah satu sama dengan dua. Ia mengajariku penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, akar, pecahan, sampai logika matematika. Tetapi hanya satu akbar yang ayah rahasikan dariku. Satu hal saka ialah perihal satu bagi bilangan yang lebih dari satu. Sejak kecil, setiap kali kubertanya setiap jawaban ini yang ia berikan, “Nak, satu bagi lebih dari satu hasilnya tak terhingga!” Aku bingungdan tak mengerti.
Sekali pula kubertanya semakin tegas pula ia menjawab. Ia bersikeras dan tak pernah mengubah jawabannya. Pernah kubertanya kepada teman sekolah lain dan mereka menjawab satu bagi lebih dari satu hasilnya nol koma, pecahan desima, kecuali satu bagi nol koma hasilnya tidak terdefenisi. Tetapi mau bagaimana tap ujian matematika selalu ayah yang beri, jadi mau tidak mau opsion tak terhinggalah yang kupilih. Gila. Memang gila. Masa satu bagi lebih dari satu hasilnya tak terhingga? Aku tersiksa dengan pencarian teka-teki ini. Aku penasaran. Aku sangat tersiksa.
Semakin merana lebih-lebih ketika tepat pada tanggal 25 November, ayahku ditembak mati. Ia ditembak karena mengumumkan hal ini di hadapan publik. Ia dikritik tapi ia bersikeras dan akhirnya dibunuh. Lebih baik daripada ia meracuni dunia dengan jawaban tak masuk akal ini. Aku sakit hati tetapi semakin penasaran lebih-lebih pula mengapa ia memberitahukan ini kepada publik tepat pada hari guru. Wakti itu, aku teringat saat ibu mengatakan: “Nak, yang kau tanyakan sudah dijawab ayah dalam surat wasiat yang baru saja ibu temukan”. Ibu juga membacakan kata-kata ayah untukku. Selesai. Aku senang bukan kepalang mendengarnya. Maka kuangkat segelas kopiku yang terkahir “pros”, aku berteriak. “Ayahku guru yang paling hebat. Ayahku juara satu seluruh dunia”. Aku tertawa sendirian, tetapi aku tak tahu mengapa aku tertawa.
Begini jawab ayah perihal hal yang kutanyakan: “Nak, satu bagi lebih dari satu sama dengan tak terhingga. Setiap hari seorang guru membagi-bagikan dirinya kepada lebih dari seorang murid dan ini hasil cinta tak terhinga untuk memanusiakan manusia yang jumlahnya tak terhingga pula”. Terima kasih ayah, terima kasih untukmu semua guruku.
*Kelas X
Bahasa – SMAK Frateran Podor Larantuka
Pengalaman Saya
Bersama Matematika
Juara III Lomba Menulis Taman Baca Hutan 46 Waibalun - 05 Mei 2018
Komentar
Posting Komentar