"ABU dan BUAH JAMBU"
ABU DAN BUAH JAMBU
Oleh Berrye Tukan*
Tiga bocah laki-laki itu sedang asyik bermain di lapangan dekat gereja, tepat di samping rumah pastoran. Fendi, bocah paling tinggi dan kurus dengan kulit hitam gelap; Endo, anak laki-laki berambut keriwil yang cadel; dan Noel, bocah berkulit terang yang suka memainkan rambut ikalnya.
Di sana ada buah jambu yang selalu ranum berbuah tanpa musim. Buahnya besar-besar dan manis. Fendi dengan cekatan memanjat pohon dan memetik buah jambu dan melemparkan kepada teman-temannya yang menunggu di bawah. Tugas Endo adalah mengumpulkan buah-buah yang dijatuhkan Fendi di atas sebuah batu ceper, sementara Noel bertugas mengisi buah-buah itu dalam bajunya.
“Woe, turun! Berani sekali kalian curi buah itu! Dasar anak nakal! Turun atau saya kejar kamu dengan parang!” teriak seseorang dari dalam rumah pastoran. Ketiga anak itu segera berhenti dari aktifitasnya masing-masing. Fendi perlahan menapaki satu demi satu dahan untuk turun, Endo berhenti memilih, dan Noel menumpahkan semua buah dari balik bajunya ke atas batu ceper itu.
“Maaf Romo. Kami sudah ke pastoran, mau minta buahnya, tapi om koster bilang Romo masih tidur siang,” kata Fendi saat menapaki tanah.
“Iya, om lomo (baca:romo). Kami tidak culi (baca:curi), kami...kami...kami hanya pingin minta sedikit saja,”
Lelaki dewasa yang ternyata adalah seorang Romo ini masih saja marah-marah. Wajahnya terus terlihat tegang, seolah hendak menerkam ketiga bocah ini bulat-bulat.
“Pakai alasan lagi! Dasar pencuri! Kamu tiga pantasnya masuk neraka! Ini rumah pastoran, bukan di kebun! Kalau mau makan, sana tanam di kebun kamu punya nenek moyang punya kebun! Dengar itu?” sergahnya keras. Ketiga bocah itu lalu mundur pelan-pelan, hendak meninggalkan tempat itu.
“Kami minta maaf om Romo. Kami tidak akan petik lagi. Maaf om Romo,” pinta Noel pelan sembari mengajak kedua temannya pulang. Mereka berbalik, dan meninggalkan tempat itu dengan langkah gontai dan hati yang gelisah, sedikit dendam.
“Pulang sana! Awas kalau kembali lagi,” teriaknya sembari melangkah pulang ke rumah pastoran.
***
Romo Ge - lengkapnya Romo Greg, demikian dia biasa dipanggil. Baru dua bulan bertugas di sini menggantikan Romo Paul yang pindah tempat tugas. Beda dengan Romo Ge, Romo Paul yang sudah lumayan tua itu memang menjadi idola anak-anak dan selalu dekat dengan anak-anak.
Saban hari, Romo Paul mengajak anak-anak membaca dan bermain di dekat rumah pastoran, tak lupa pula dihadiahi permen dan roti untuk anak-anak yang sering membantunya membersihkan halaman rumah pastoran. Romo Paul suka bercerita sehingga anak-anak selalu datang dan mendengar cerita Romo Paul. Romo Paul juga sangat jago menggambar dan melukis, banyak anak-anak yang berlatih melukis bersamanya. Kadang hasil lukisan anak-anak digantungnya di depan pintu gereja. Dan, anak-anak menjadi sangat senang melihat lukisannya digantung dan dikagumi banyak orang, meski ukuran kepala dan kaki dalam lukisan itu masih belum serasi dan seimbang.
Romo Ge adalah pribadi yang berbeda. Romo Ge selalu tak bersahabat di depan anak-anak. Ngomongnya kasar, dan kadang membentak. Namun, Romo Ge punya kenalan dan pergaulan yang luas, dari pejabat sekelas lurah dan kepala desa hingga anggota dewan dan pejabat pemerintah. Kotbahnya tegas berapi-api, namun kadang nyerempet politik juga, layaknya aktivis. Setiap malam minggu, selalu ada acara makan-makan dan minum-minum di pendopo pastoran.
Di belakang rumah pastoran, ada setumpuk potongan kayu yang berbentuk aneh, semacam bonsai dari kayu yang berbentuk dahan dan cabang yang sudah mati. Kayu itu dikumpulkan oleh Romo Ge dari hasil ekspedisinya bersama teman-teman komunitasnya di berbagai hutan. Om Koster pernah dimarahinya karena menjadikan kayu itu sebagai kayu bakar. “Itu kayu seni, bukan sembarang kayu! Makanya sekolah!” bentaknya.
Sebentar lagi Rabu Abu. Dulu, anak-anak selalu diajak Romo Paul mencari kayu bakar di pinggir kampung dan membakarnya bersama-sama sambil bernyanyi dan bercerita. Abu dari kayu bakar itu lalu dikumpulkan bersama-sama dan disimpan dalam sebuah bejana perunggu berukir yang berbentuk kerucut. Anak-anak selalu antusias kala diajak Romo Paul melakukan itu semua. Hadiahnya, sebungkus permen dan coklat tersimpan manis di saku baju masing-masing saat pulang ke rumah.
***
Fendi, Endo dan Noel melangkah pulang dari sekolah siang ini lewat samping rumah pastoran. Hujan sedari tadi malam belum juga berhenti total meninggalkan kubangan di mana-mana. Jalan pulang terdekat ke rumah memang harus lewat rumah pastoran. Langkah mereka menghindari kubangan terhenti ketika mendengar sebuah suara.
“Besok sudah hari Rabu Abu. Belum juga ada kayu untuk dibakar jadi abu! Pikir! Sampai sekarang masih hujan, dari mana bisa dapat kayu kering?” suara Romo Ge terdengar jelas dari balik dinding rumah pastoran.
“Biasanya anak-anak misdinar yang mencarinya Romo,” jawab koster.
“Biasanya? Kerja itu tidak pakai biasanya! Sekarang saya tidak mau tahu, cari kayu bakar di mana saja. Saya harus ke kota sekarang, ada pertemuan dengan pak camat. Saya pulang, semua harus sudah siap!” semburnya sembari terdengar suara pintu tertutup. Ketiga bocah itu terus menguping hingga suara deru mesin sepeda motor bebek milik Romo Ge terdengar bising berbunyi lalu perlahan melaju meninggalkan rumah pastoran.
Ketiga bocah berseragam kumal itu lalu terdiam sesaat. Om Koster muncul dari balik dinding rumah pastoran. Pria tua itu terlihat gelisah dan takut. Melihat ketiga bocah itu, sang Koster tiba-tiba berubah raut mukanya, ada harapan di balik bola matanya.
“Ah, anak-anak, bisa bantu Om Koster kah? Cari kayu kering untuk dibakar. Besok sudah hari Rabu Abu. Hujan begini susah cari kayu kering, nanti Om Koster kasih gula-gula,” katanya meminta.
Ketiga anak itu mengangguk serempak. “Oke Om Koster,” jawab mereka.
Om Koster tersenyum senang.
“Baik sudah, kamu bakar di dekat tempat sampah itu saja ya, Om Koster pulang makan dulu. Kalau sudah, ambil bejana kerucut itu, isi abunya,” perintahnya. Fendi, Endo dan Noel mengangguk lagi.
“Siap bos! Romo Paul dulu sudah ajar kami,” jawab Noel.
Om Koster meninggalkan mereka bertiga. Mereka lalu berusaha menyelesaikan misi mulia mereka hari ini. Dan, tak butuh waktu lama semua sudah terwujud.
***
Ibadat Rabu Abu hari ini di gereja berlangsung sederhana. Romo Ge memimpin langsung ibadatnya. Anak-anak sekolah berjubel di dalam gereja. Ibadat berjalan cepat saja, dan selesai. Romo Ge kembali ke rumah pastoran.
Badannya gemetaran dan deru napasnya tak beraturan ketika melihat sesuatu yang benar-benar membuatnya punya alasan untuk marah semarah-marahnya hari ini. Setumpuk kayu yang telah dikumpulkannya selama beberapa bulan ini sudah hilang semua. Hanya satu potong kayu yang tersisa, itupun sudah hancur karena dipatahkan lagi.
“Setan siapa yang berani ambil saya punya kayu ini?” geramnya seram.
Hujan masih saja menyisahkan rintik, lalu sekelebat petir bercahaya seolah hendak merobek langit tepat di atas rumah pastoran. Romo Ge lari dari situ, terbirit-birit.
Sementara itu Fendi, Endo dan Noel sudah kembali ke kelas lagi setelah mengikuti ibadat penerimaan Abu di gereja. Entahlah apa yang dibicarakan ketiganya namun yang pasti mereka cukup puas membalaskan dendam ‘buah jambu’.
“Jambu Saja Kikir Sekali! Semua Bakal Jadi Abu kok!” tawa mereka.
-------------------
Oleh Berrye Tukan*
Tiga bocah laki-laki itu sedang asyik bermain di lapangan dekat gereja, tepat di samping rumah pastoran. Fendi, bocah paling tinggi dan kurus dengan kulit hitam gelap; Endo, anak laki-laki berambut keriwil yang cadel; dan Noel, bocah berkulit terang yang suka memainkan rambut ikalnya.
Di sana ada buah jambu yang selalu ranum berbuah tanpa musim. Buahnya besar-besar dan manis. Fendi dengan cekatan memanjat pohon dan memetik buah jambu dan melemparkan kepada teman-temannya yang menunggu di bawah. Tugas Endo adalah mengumpulkan buah-buah yang dijatuhkan Fendi di atas sebuah batu ceper, sementara Noel bertugas mengisi buah-buah itu dalam bajunya.
“Woe, turun! Berani sekali kalian curi buah itu! Dasar anak nakal! Turun atau saya kejar kamu dengan parang!” teriak seseorang dari dalam rumah pastoran. Ketiga anak itu segera berhenti dari aktifitasnya masing-masing. Fendi perlahan menapaki satu demi satu dahan untuk turun, Endo berhenti memilih, dan Noel menumpahkan semua buah dari balik bajunya ke atas batu ceper itu.
“Maaf Romo. Kami sudah ke pastoran, mau minta buahnya, tapi om koster bilang Romo masih tidur siang,” kata Fendi saat menapaki tanah.
“Iya, om lomo (baca:romo). Kami tidak culi (baca:curi), kami...kami...kami hanya pingin minta sedikit saja,”
Lelaki dewasa yang ternyata adalah seorang Romo ini masih saja marah-marah. Wajahnya terus terlihat tegang, seolah hendak menerkam ketiga bocah ini bulat-bulat.
“Pakai alasan lagi! Dasar pencuri! Kamu tiga pantasnya masuk neraka! Ini rumah pastoran, bukan di kebun! Kalau mau makan, sana tanam di kebun kamu punya nenek moyang punya kebun! Dengar itu?” sergahnya keras. Ketiga bocah itu lalu mundur pelan-pelan, hendak meninggalkan tempat itu.
“Kami minta maaf om Romo. Kami tidak akan petik lagi. Maaf om Romo,” pinta Noel pelan sembari mengajak kedua temannya pulang. Mereka berbalik, dan meninggalkan tempat itu dengan langkah gontai dan hati yang gelisah, sedikit dendam.
“Pulang sana! Awas kalau kembali lagi,” teriaknya sembari melangkah pulang ke rumah pastoran.
***
Romo Ge - lengkapnya Romo Greg, demikian dia biasa dipanggil. Baru dua bulan bertugas di sini menggantikan Romo Paul yang pindah tempat tugas. Beda dengan Romo Ge, Romo Paul yang sudah lumayan tua itu memang menjadi idola anak-anak dan selalu dekat dengan anak-anak.
Saban hari, Romo Paul mengajak anak-anak membaca dan bermain di dekat rumah pastoran, tak lupa pula dihadiahi permen dan roti untuk anak-anak yang sering membantunya membersihkan halaman rumah pastoran. Romo Paul suka bercerita sehingga anak-anak selalu datang dan mendengar cerita Romo Paul. Romo Paul juga sangat jago menggambar dan melukis, banyak anak-anak yang berlatih melukis bersamanya. Kadang hasil lukisan anak-anak digantungnya di depan pintu gereja. Dan, anak-anak menjadi sangat senang melihat lukisannya digantung dan dikagumi banyak orang, meski ukuran kepala dan kaki dalam lukisan itu masih belum serasi dan seimbang.
Romo Ge adalah pribadi yang berbeda. Romo Ge selalu tak bersahabat di depan anak-anak. Ngomongnya kasar, dan kadang membentak. Namun, Romo Ge punya kenalan dan pergaulan yang luas, dari pejabat sekelas lurah dan kepala desa hingga anggota dewan dan pejabat pemerintah. Kotbahnya tegas berapi-api, namun kadang nyerempet politik juga, layaknya aktivis. Setiap malam minggu, selalu ada acara makan-makan dan minum-minum di pendopo pastoran.
Di belakang rumah pastoran, ada setumpuk potongan kayu yang berbentuk aneh, semacam bonsai dari kayu yang berbentuk dahan dan cabang yang sudah mati. Kayu itu dikumpulkan oleh Romo Ge dari hasil ekspedisinya bersama teman-teman komunitasnya di berbagai hutan. Om Koster pernah dimarahinya karena menjadikan kayu itu sebagai kayu bakar. “Itu kayu seni, bukan sembarang kayu! Makanya sekolah!” bentaknya.
Sebentar lagi Rabu Abu. Dulu, anak-anak selalu diajak Romo Paul mencari kayu bakar di pinggir kampung dan membakarnya bersama-sama sambil bernyanyi dan bercerita. Abu dari kayu bakar itu lalu dikumpulkan bersama-sama dan disimpan dalam sebuah bejana perunggu berukir yang berbentuk kerucut. Anak-anak selalu antusias kala diajak Romo Paul melakukan itu semua. Hadiahnya, sebungkus permen dan coklat tersimpan manis di saku baju masing-masing saat pulang ke rumah.
***
Fendi, Endo dan Noel melangkah pulang dari sekolah siang ini lewat samping rumah pastoran. Hujan sedari tadi malam belum juga berhenti total meninggalkan kubangan di mana-mana. Jalan pulang terdekat ke rumah memang harus lewat rumah pastoran. Langkah mereka menghindari kubangan terhenti ketika mendengar sebuah suara.
“Besok sudah hari Rabu Abu. Belum juga ada kayu untuk dibakar jadi abu! Pikir! Sampai sekarang masih hujan, dari mana bisa dapat kayu kering?” suara Romo Ge terdengar jelas dari balik dinding rumah pastoran.
“Biasanya anak-anak misdinar yang mencarinya Romo,” jawab koster.
“Biasanya? Kerja itu tidak pakai biasanya! Sekarang saya tidak mau tahu, cari kayu bakar di mana saja. Saya harus ke kota sekarang, ada pertemuan dengan pak camat. Saya pulang, semua harus sudah siap!” semburnya sembari terdengar suara pintu tertutup. Ketiga bocah itu terus menguping hingga suara deru mesin sepeda motor bebek milik Romo Ge terdengar bising berbunyi lalu perlahan melaju meninggalkan rumah pastoran.
Ketiga bocah berseragam kumal itu lalu terdiam sesaat. Om Koster muncul dari balik dinding rumah pastoran. Pria tua itu terlihat gelisah dan takut. Melihat ketiga bocah itu, sang Koster tiba-tiba berubah raut mukanya, ada harapan di balik bola matanya.
“Ah, anak-anak, bisa bantu Om Koster kah? Cari kayu kering untuk dibakar. Besok sudah hari Rabu Abu. Hujan begini susah cari kayu kering, nanti Om Koster kasih gula-gula,” katanya meminta.
Ketiga anak itu mengangguk serempak. “Oke Om Koster,” jawab mereka.
Om Koster tersenyum senang.
“Baik sudah, kamu bakar di dekat tempat sampah itu saja ya, Om Koster pulang makan dulu. Kalau sudah, ambil bejana kerucut itu, isi abunya,” perintahnya. Fendi, Endo dan Noel mengangguk lagi.
“Siap bos! Romo Paul dulu sudah ajar kami,” jawab Noel.
Om Koster meninggalkan mereka bertiga. Mereka lalu berusaha menyelesaikan misi mulia mereka hari ini. Dan, tak butuh waktu lama semua sudah terwujud.
***
Ibadat Rabu Abu hari ini di gereja berlangsung sederhana. Romo Ge memimpin langsung ibadatnya. Anak-anak sekolah berjubel di dalam gereja. Ibadat berjalan cepat saja, dan selesai. Romo Ge kembali ke rumah pastoran.
Badannya gemetaran dan deru napasnya tak beraturan ketika melihat sesuatu yang benar-benar membuatnya punya alasan untuk marah semarah-marahnya hari ini. Setumpuk kayu yang telah dikumpulkannya selama beberapa bulan ini sudah hilang semua. Hanya satu potong kayu yang tersisa, itupun sudah hancur karena dipatahkan lagi.
“Setan siapa yang berani ambil saya punya kayu ini?” geramnya seram.
Hujan masih saja menyisahkan rintik, lalu sekelebat petir bercahaya seolah hendak merobek langit tepat di atas rumah pastoran. Romo Ge lari dari situ, terbirit-birit.
Sementara itu Fendi, Endo dan Noel sudah kembali ke kelas lagi setelah mengikuti ibadat penerimaan Abu di gereja. Entahlah apa yang dibicarakan ketiganya namun yang pasti mereka cukup puas membalaskan dendam ‘buah jambu’.
“Jambu Saja Kikir Sekali! Semua Bakal Jadi Abu kok!” tawa mereka.
-------------------
*Waibalun, 06 Maret 2019
😃cerita yg bagus😃 tapi fotonya bukan jambu itu srikaya alias ata nona ✌
BalasHapus