"JADILAH PENENUN"

 "JADILAH PENENUN"

(Obituari untuk Mama I - Maria Kewa Larantukan)



(Oleh Karolus Banda Larantukan)

Saya tidak mengambil judul "Penenun itu telah Pergi" sama seperti kebanyakan judul tulisan tentang orang baik yang telah 'pergi'. Tapi saya ingin mengambil judul yang lebih optimistik visioner sebagai sebuah obituari yakni "Jadilah Penenun". Bukan berarti mengabaikan kebanyakan judul itu, tetapi bagi saya kebanyakan judul itu terlalu pesimistik, seakan kepergiaan orang baik akan pergi selamanya tanpa meninggalkan sesuatu yang berarti. Mungkin isinya akan membahasnya, tapi saya lebih memilih judul "Jadilah Penenun" untuk memberikan mimpi bagi generasi 'kebarek' (gadis) Waibalun.

Tulisan ini lebih sebagai sebuah penghormatan penuh cinta terutama untuk 'Mama I', sapaan manis keluarga dan orang yang mengenal sosok Maria Kewa Larantukan. Ya..., Mama I adalah seorang Penenun ulet. 

Senin, 08 Januari 2024, Pkl. 19.00, Mama I meninggalkan dunia ini, keluarga dan orang yang mengenalnya untuk kembali ke 'Rumah' dari mana ia datang. "Kalau hidup seumpama sebuah perjalanan, maka menuju titik balik atau titik kepulangan selalu akan berarti menuju titik berangkat" (Dari Lamalera, dalam Budi Kleden, Menuju Titik Balik, 2022). Mama I berpulang menuju titik keberangkatannya yakni Rumah Sang Pencipta. 

Tak ada yang istimewa dalam kepulangannya menuju titik keberangkatannya. Di tengah keluarganya, ia pulang dengan tenang ke tempat dari mana ia berangkat. Tak ada kata perpisahan dari bibirnya, namun raganya mengisyaratkan bahwa ia harus pulang. "Waktunya telah Tiba". 

Tentang peristiwa kematian, saya selalu menyadarinya sebagai sebuah keniscayaan, sebagai sebuah keselarasan dengan alam. Kematian adalah bagian dari alur alam. Sama seperti kehidupan (kelahiran), saya dan kamu,  tidak pernah hadir karena keinginannya sendiri, maka tak ada yang perlu menyusahkan hati untuk memikirkan kepergian kita. 

"Alam yang mengundang kita masuk ke dalam kehidupan ini, alam pulalah yang akan mengakhiri dan mengirim kita pulang kepadanya".

Jadilah Penenun

Ijinkan saya memberikan rasa hormat saya kepada Maria Kewa Larantukan - Mama I, dengan menyebutnya "Penenun Kehidupan". Saya pasti mengenalnya tapi tak sebanding dengan saudaraku yang lain, yang pasti lebih dekat mengenal dan memahaminya. Saya hanya akan memberikan kesan sebatas yang saya tahu dan rasakan, selebihnya adalah milik Tuhan.

Sekali lagi saya ingin sekali menyebutnya "Penenun yang ulet, penenun yang tangguh, penenun yang seniman". Tentang 'Penenun yang Seniman', saya mengutip sebuah adigium: "Seniman Berbicara dengan Rasa, dan Mendengar dengan Jiwa". Itulah Mama I...

Itulah Mama I, itulah Penenun, mendengar dengan jiwanya bunyi denyut bumi dan berbicara dengan auranya alam semesta. Seorang penenun melatih diri menjadi sunyi: mengolah warna, membelai benang, dan melukis motif. Semuanya dikerjakan dalam sunyi, jiwa yang dilatih untuk mendengar dan rasa yang dituntun untuk berbicara.

Penenun sejati melatih diri untuk mencintai tempat duduknya: dari 'Pudu Kapek" sampai "Tane" (dari menggulung benang sampai menenun). Dan penenun sejati pun merawat mata-nya karena itulah harta terindah untuk melihat jiwa dan rasa. Dan Mama I memilikinya...

Penenun merajut benang, mengolah campuran warna, melukis motif dan ditenun menjadi Kewatek dan Senai. Ini adalah kerja maestro.

"Ketika mata perlahan rabun, duduk pun tak lagi kuat dan ayunan tangan tak lagi sekokoh masa muda, pada saat itulah penenun berhenti menjadi penenun".

Walaupun penenun telah berhenti menjadi penenun, namun karya mereka abadi. "Hidup memang sementara tapi karya selamanya". Karya para penenun akan abadi, bagi yang menggunakannya dan terlebih akan tetap abadi bila kita terus melestarikannya. Bukan panjangnya hidup tapi berkualitasnya hidup.

"Hidup ini panjang jika kita tahu bagaimana menggunakannya...kita tidak diberikan hidup yang pendek, tetapi kitalah yang menjadikannya pendek...dan terbuang untuk hal yang sia-sia" (Filosofi Teras, 2019, 273). 

Akhir

Kini Mama I telah menenun di Nirwana, tapi karyanya Kewatek dan Senai Waibalun terus hidup di kampung halamannya Waibalun, terus mekar di seluruh pelosok tana Lamaholot, terus harum di setiap ujung Flobamora, terus merona di negeri Indonesia, dan akan tetap abadi hingga ke ujung dunia. 

Kewatek dan Senai akan tetap terhormat dan berwibawa di setiap ritual kebudayaan, akan tetap anggun dalam setiap rajutan para penjahit, dan akan tetap bersejarah di setiap khayalan para desainer.

Mama I dan para penenun di Waibalun sesungguhnya masih mengharapkan dan memberikan harapan kepada generasi muda, Kebarek Waibalun, bahwa karya ini abadi dan perlu dilestarikan. 

Kewatek dan Senai Waibalun hasil tenunan Mama-mama Penenun Waibalun telah melahirkan orang-orang hebat dari Waibalun; Kewatek dan Senai Waibalun telah merawat kebudayaan Waibalun; Kewatek dan Senai Waibalun telah memberikan kehormatan bahkan kewibawaan sebagai Ata Waibalun. 

"Jadilah Penenun" wahai 'Kebarek Waibalun', simbol kewibawaan 'Kemamu Waibalun'!!!

***

Selamat Jalan Mama I _ Maria Kewa Larantukan:

"Bisu Palu Berdendang, di Ujung Pahat Henti Menari./ Kisah jangan ditolak Pudar, selagi Jantung Merekam Lagu"./ (Yoseph Banda Larantukan).


***

Waibalun, 18 Januari 2024

_____________________________________________

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WAIBALUN - JATI DIRI

TERUNTUK PATER BERNAD MULLER, SVD

KRITIK BUDI (Refleksi Singkat untuk HUT Pater Budi Kleden SVD)