Dari Apologetik ke Dialog, Beberapa Kesimpulan Diskusi “Refleksi Kebudayaan” (1)
Dari Apologetik ke Dialog, Beberapa Kesimpulan Diskusi “Refleksi Kebudayaan” (1)
Oleh Ignas Kleden
PADA 9 September 1995 di auditorium Institut Kesenian Jakarta dilangsungkan diskusi “Refleksi Kebudayaan” yang mendapat perhatian dan sambutan luas, baik dari segi partisipasi peserta maupun dari segi pemberitaan dalam surat kabar dan majalah berita di Ibu Kota. Diskusi diadakan dengan beberapa tujuan yang saling berkaitan.
Pertama, apakah mungkin suatu diskusi kebudayaan yang semata- mata apologetik akan dapat bersifat produktif? Mempertahankan posisi sendiri adalah hal yang mutlak perlu dalam melakukan diskusi. Namun demikian, mempertahankan posisi sendiri tanpa kesediaan memahami alasan pihak lawan diskusi, akan menyebabkan perdebatan cenderung menjadi dua monolog yang tidak menghasilkan perkembangan gagasan dan perkembangan sikap yang lebih jauh. Karena itu diskusi kebudayaan seberapa pun kerasnya sedapat mungkin harus ditempatkan dalam suatu struktur dialog, sehingga perkembangan pemikiran di dalamnya dapat juga berguna untuk pihak lainnya yang tidak turut aktif dalam perdebatan, tetapi yang ingin memperlajari sesuatu dari perdebatan tersebut.
Kedua, apakah mungkin untuk menemukan dan kemudian mengembangkan kaitan antara suatu persoalan mikro kebudayaan dan masalah-masalah makro kebudayaan? Ini berarti, apakah mungkin melihat bagaimana suatu masalah makro kebudayaan terpantul kembali secara khas dalam persoalan atau konflik kebudayaan yang bersifat mikro, dan apakah mungkin melihat suatu cetusan kecil kebudayaan sebagai percikan suatu persoalan makro kebudayaan yang barangkali laten sifatnya?
Ketiga, refleksi kebudayaan harus selalu diadakan karena kebudayaan hanya dapat dikembangkan karena direfleksikan. Tanpa refleksi, bukan tidak mungkin bahwa kita akan hanyut dalam semacam determinisme kebudayaan. Dalam pandangan kebudayaan yang deterministis kebudayaan dipandang hanya sebagai norma dan nilai yang tak boleh diganggu gugat, dan bukannya juga produk bersama yang telah kita hasilkan dan ciptakan, dan karena itu selalu dapat berubah dan diubah bilamana tidak sesuai lagi dengan keperluan pada saat ini. Dalam kedudukannya sebagai kata benda, kebudayaan harus kita hadapi dan kita terima, tetapi dalam kedudukannya sebagai kata kerja kebudayaan harus digarap dan diolah kembali.
Ketiga pokok pikiran di atas telah menjadi alasan terpenting mengapa diskusi tersebut diadakan. Pikiran-pikiran tersebut juga telah diusahakan untuk menjadi kerangka dan konteks bagi pertukaran pikiran, yang pada beberapa titik telah dilakukan dengan sengit. Menghadiri dan mengikuti diskusi enam jam itu dari dekat, saya telah berusaha menyusun beberapa pikiran yang kalau bukan merupakan kesimpulan, sekurang-kurangnya bisa dianggap menjadi pikiran dasar dalam diskusi tersebut.
Kebenaran sejarah dan kebenaran moral
Tak dapat dihindari bahwa diskusi tersebut telah memberikan perhatian besar kepada kontroversi perihal hadiah Magsaysay untuk pengarang Pramudya Ananta Toer. Dalam perdebatan selama ini persoalan telah berkembang sampai pada beberapa tingkat argumentasi. Apakah Yayasan Magsaysay dengan komitmennya kepada demokrasi cukup taat kepada asasnya sendiri dalam memberikan hadiah tersebut? Apakah Yayasan Magsaysay cukup mempunyai pengetahuan mengenai latar belakang pengarang yang akan menerima hadiah? Bagaimana sikap para pengarang Indonesia yang di masa lampau telah terlibat dalam konflik kebudayaan dengan pengarang tersebut? Bagaimana sikap orang-orang lain yang tidak mengalami konflik masa lampau tersebut terhadap hadiah Magsaysay dan terhadap Pramudya Ananta Toer? Apa sikap Pramudya sendiri baik terhadap hadiah maupun terhadap kontroversi mengenai hadiah ini?
Setelah mendengar berbagai alasan rupanya apa yang menjadi titik perdebatan di Indonesia dan Jakarta khususnya adalah masalah kebenaran. Pihak yang menentang hadiah berdiri di atas asas kebenaran sejarah, bahwa apa yang terjadi di masa lampau harus dikemukakan dengan jelas dan tidak patut disembunyikan, apalagi dipalsukan. Dengan demikian salah satu tahap penting untuk menjernihkan perselisihan ini adalah mengadakan penelitian sejarah kebudayaan, khususnya sejarah kesusasteraan di tahun enampuluhan, supaya dapat diperoleh suatu gambaran yang lebih jelas.
Untuk menjamin obyektivitas seperti itu setiap pihak yang terlibat konflik sebaiknya memperoleh akses yang sama untuk melakukan penelitian supaya dari berbagai fakta dan uraian yang mungkin berbeda, pembaca kemudian dapat memperoleh gambaran yang mendekati kebenaran. Namun, ada dua hal yang perlu dibedakan: fakta sejarah di satu pihak, dan interpretasi terhadap fakta tersebut di pihak lainnya. Terhadap setiap fakta sejarah setiap orang dapat dan rupanya boleh memberikan interpretasi yang berbeda, karena interpretasi selalu merupakan hasil tarik-menarik antara kenyataan obyektif dan pemahaman subyektif.
Pada titik ini kita berbicara tentang dua jenis kebenaran yang amat berbeda hakikatnya, yaitu kebenaran sejarah dan kebenaran moral. Bahasa kita belum mempunyai vokabuler cukup untuk membedakan dua jenis kebenaran tersebut, yang dalam bahasa Barat didistingsikan dengan jelas. Yang satu berbicara tentang apa yang bersifat historically true (or false) atau apa yang benar secara historis; yang lainnya berbicara tentang apa yang bersifat morally right (or wrong) atau apa yang benar secara moral. Diskursus modern memang membedakan dengan jelas apa yang oleh Habermas dinamakan epistemische Wahrheit (kebenaran pengetahuan) dan moralische Wahrhaftigkeit (kejujuran sikap).
Kalau kita kembali kepada soal Pramudya di masa lampau, akan tampak bahwa pihak yang menentang hadiah sangat menekankan kebenaran sejarah (sekurang-kurangnya supaya diuji kembali) tentang tindak- tanduk Pramudya terhadap kebebasan kreatif lawan-lawan politiknya. Perlu dibuktikan berdasarkan studi sejarah kesusasteraan apakah benar Pramudya pernah turut membakar, atau sekurang-kurangnya tidak mencegah pembakaran buku-buku sastra karya-karya pengarang Manifes Kebudayaan atau malahan, meminjam istilah Goenawan Mohamad, menunjukkan intoleransi yang merugikan pengarang-pengarang yang tidak sepaham dengannya.
Kebenaran sejarah adalah kebenaran pengetahuan yang berhubungan dengan kejadian, peristiwa atau fakta. Hal ini tentu perlu dijernihkan. Namun kalau kita membaca keterangan Pramudya dalam berbagai wawancara, yang menjadi inti jawabannya adalah penekanan pada pilihannya secara moral pada waktu itu untuk membela suatu posisi politik tertentu, yaitu posisi politik Bung Karno. Apa pun soalnya, di sini ada perbedaan yang mencolok tentang apa yang dianggap penting dan karena itu perlu mendapatkan perhatian kita semua. Dalam berhadapan dengan tuntutan akan kebenaran sejarah, Pramudya bersiteguh di atas kleimnya tentang kebenaran moral yang dipilihnya secara politis.
Kedua kebenaran ini dengan sendirinya sulit dipertemukan, karena kebenaran sejarah berhubungan dengan pengetahuan mengenai fakta, kejadian, dan peristiwa sedangkan kebenaran moral berhubungan dengan sikap terhadap seperangkat nilai yang dipilih. Kebenaran sejarah berhubungan dengan Sein, kebenaran moral berhubungan dengan Sollen, dan pelaksanaan moral secara politik ditentukan oleh Wollen (kemauan politik).
Kebenaran moral yang dimaksudkan di sini adalah kesesuaian antara tindakan seseorang dengan nilai-nilai asasi yang dianut dan dipilihnya. Selanjutnya, apakah nilai moral seseorang dapat dibenarkan secara rasional terutama kalau dibandingkan dengan nilai moral lain, hal ini merupakan diskusi lain yang bersifat filsafat etik, yang bertugas menyelidiki dasar-dasar rasional dari nilai-nilai moral tersebut. Secara teknis, dibedakan di sini kebenaran moral secara budaya, dan kebenaran etis secara filosofis. Untuk kembali kepada soal kita, kebenaran sejarah berhubungan dengan pengetahuan (tentang kejadian dan peristiwa), kebenaran moral berhubungan dengan sikap dan tindakan (yaitu apakah sikap dan tindakan sesuai dengan nilai yang dipilih atau tidak) sedangkan kebenaran etis berhubungan dengan dasar rasional dari sikap yang dipilih (yaitu apakah nilai yang dianut dapat dipertahankan berdasarkan alasan-alasan yang teruji secara rasional atau tidak). Untuk mengutip Habermas sekali lagi, kebenaran sejarah berhubungan dengan Wahrheit/truth, kebenaran moral berhubungan dengan Wahrhaftigkeit/truthfulness, sementara kebenaran etis berhubungan dengan Richtigkeit/rightness.
Dengan demikian bahkan terhadap sejarah pun ada dua tingkat persoalan. Yang pertama adalah kebenaran sejarah yang harus didekati sedekat mungkin oleh mereka yang menguasai peralatan metodologis sejarah untuk menyelidikinya. Yang kedua adalah sikap terhadap kebenaran sejarah tersebut. Dalam diskusi menjadi jelas bahwa sikap terhadap sejarah dan kebenaran sejarah adalah hak setiap generasi. Tiap generasi bahkan setiap individu seyogyanya mempunyai hak dan kebebasan yang sama untuk mengambil sikap dan pendirian terhadap sejarah, tanpa terlalu didikte oleh generasi yang lebih tua atau bahkan oleh orang yang mengambil peran sebagai aktor atau korban dalam suatu peristiwa sejarah.
Pendirian ini jelas ada dasarnya. Sebabnya, apa pun yang terjadi di masa lampau, setiap generasi dan setiap individu mempunyai pengalaman sejarah yang tidak selalu sama. Pengalaman sejarah yang berbeda menghasilkan sikap yang berbeda terhadap sejarah, dan perbedaan tersebut bukanlah sesuatu yang harus disesalkan, tetapi harus dikaji untuk mengembangkan proses belajar kita semua. (Bersambung).
Ignas Kleden, Moderator pada diskusi “Refleksi Kebudayaan” 9 September !995 di Jakarta
Sumber Tulisan dari buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, Grafiti
Komentar
Posting Komentar