"SEPERTI DIKANDUNG DAN DILAHIRKAN"

Seperti Dikandung dan Dilahirkan

Oleh Karolus Banda Larantukan*

“Goe tulen, go’ tulen tue/ Goe tulen kiwan, tulen watan/ A di go’ tulen, a di go’ tulen”.

Saya mengutip semboyan Lambertus Tulen Hadjon untuk membuka ceritera, kisah dan peristiwa hadirnya buku “Lambertus Tulen Hadjon”. Kutipan ini hanya mau menegaskan bahwa keseluruhan kisah hidup Lambertus Tulen Hadjon yang dikisahkan dalam buku ini dijiwai oleh semboyan di atas. Bahwa keseluruhan perjalanan kehidupannya sesungguhnya bertolak dan berproses serta bermuara pada semboyan di atas. Namun pada kesempatan ini saya tidak akan menukik terlalu dalam mengenai isi buku ini, melainkan saya akan menceritakan bagaimana buku ini berproses hingga menjadi hadir di hadapan kita sekalian hari ini.

Saya memberi judul kisah proses hadirnya buku ini dengan judul: “seperti dikandung dan dilahirkan”. Ini sekedar mau mengatakan bahwa kehadiran buku sejak awal hingga dicetak dan diterbitkan memakan waktu tepat sembilan bulan, dari bulan februari hingga bulan oktober 2020. Dari bulan februari pada pertemuan tak sengaja, yang kemudian mengandung diskusi dalam wawancara hingga dilahirkan dengan perjuangan yang cukup melelahkan sekaligus membahagiakan. 

Saya akan mencoba menceritakan peristiwa ini dari awal. Pada tahun 2019 tepat tanggal 23 bulan Juni, di kala syukuran 40 tahun ziarah imamat Pater Leo Kleden, Pak Ignas Kleden pun hadir. Di kala itu saya mencoba mentranskrip bait terakhir kata sambutan Pak Ignas Kleden ketika membawakan kata hati keluarga atas syukuran tersebut di Gereja St. Ignasius Waibalun, sesudah setelah perayaan ekaristi berakhir. Saya tak pernah membayangkan bahwa saya akan berjumpa dengan Doktor Sosiolog tersebut. Dalam sebuah komentar atas postingan saya tentang transkrip kata hati dari Pak Ignas Kleden tersebut, Ibu Goreti Tokan berpesan: “No, Kaka Ignas mau bertemu. Penting, setelah jam 12 siang ini”. Hari itu, 25 tanggalnya di bulan Juni tahun 2019. Sebelum waktu menunjukkan jam 12 siang, ada keluarganya yang datang memanggil saya di rumah: “Rae (Ignas Kleden) jaga moe kae pe lau lango we”. Saya kemudian meyiram badan sedikit, mengganti celana pendek dengan celana panjang, kaos terbaru berwarna hitam dan menuju ke rumah pak Ignas Kleden. 

Saya akan langsung mengisahkan bahwa perjumpaan itu dan dialog hampir tiga jam itu sungguh bermakna. Dalam dialog itu, ada satu pertanyaan sederhana dari Pak Ignas kepada saya: “Karno, setelah buku peristiwa waibalun, moe mau tulis muri tentang a?”. Saya pun jawab singkat: “Nene om, goe mau menulis sosok. Dan goe mau menulis tentang sosok Lambertus Tulen Hadjon”. Bahwa saya telah berniat untuk menulis sosok dan sosok itu adalah Lambertus Tulen Hadjon. Menurut saya, sosok ini dari segi usia hanya ada beberapa yang tersisa di Waibalun ini. Juga, saya berpikir bahwa banyak cerita tentang dirinya tapi itu sebatas cerita lepas meskipun sudah pernah ada tulisan tentang sosoknya di majalah Kabar NTT oleh Anselmus Atasoge. Untuk ini kita patut mengucapkan hormat pada karya tulis mini oleh Pak Ansel tentang sosok ini. Pada titik inilah saya berpikir ada baiknya kisahnya dibuat lebih baik lagi artinya dibukukan. Itulah sekedar ide awal saya sebelum berjumpa dengan Mama Oa Lis Ipa Hadjon, putri sulung Lambertus Tulen Hadjon.

Saya mau katakan bahwa dari Mama Oa Lis Ipa Hadjon inilah saya diminta untuk menulis sosok ayah mereka yakni Lambertus Tulen Hadjon. Kisahnya bahwa selang hampir 8 bulan dari bulan Juni 2019 sejak saya berjumpa Pak Ignas Kleden hingga Februari 2020, saya pada satu kesempatan berjumpa dengan Mama Oa di rumahnya. Pada senja yang sejuk di rumahnya bersama sang suami Om Steven Larantukan, tepat tanggal 15 Februari 2020, Mama Oa katakan kepada saya begini: “Ai pas sama sekali. Moe kwi.” Saya tidak paham akan semua ucapan itu. Beliau melanjutkan: “Karno, kedike iker hala kae goe seba, moe kwi. Pas moe hau ti, jadi goe juga mau nena moe untuk tulis tentang kisah bapa na'en, tenang Nene Ulen. Nanti bauk goe heti marin Nene Ulen dan leron rua atau telo muri, moe maik herun Nene Ulen kwe. Ai pas sama sekali, moe kwi. Goe seba ata iker hala kae”. Saya pun merasa yakin bahwa ide awal saya untuk menulis sosok Lambertus Tulen Hadjon memperoleh kepenuhan pada gelisah serta cita-cita Mama Oa Lis Ipa: “Goe siap Mama Oa. Pas goe juga berniat menulis tentang Nene Ulen, tapi goe koi nukor cara naen gnai untuk herun dan marin Nene Ulen. Terima kasih loke Mama Oa”. 

Pada tanggal 19 Februari 2020 pagi hari saya ke rumah Nene Tulen, berjumpa dengan beliau di teras rumahnya. Ketika hendak mengutarakan maksud, Nene Ulen sudah tahu kalau saya akan ke rumah, mungkin Mama Oa sudah menyampaikannya kepada Nene Ulen. Maka kami membuat jadwal untuk pertemuan, lebih untuk wawancara. Saya sampaikan bahwa akan ada 3 bagian penting yang hendak saya wawancara sebagai isi dari buku yakni tentang Pendidikan, Agama dan Politik. Kami menyepakati dan membuat jadwal wawancara pertama tanggal 21 Februari 2020 pada jam 09.00 wita, bertempat di Balai Desa Waibalun: “Karno moe nena kunci te kantor lurah, marin kalau tite pake gedung 1-2 hari ini”. 

Tepat tanggal 21 Februari jam 09.00 pagi saya menuju Balai Desa Waibalun, beliau telah menanti saya. Itulah kisah awal kami berjumpa dan mulai melakukan wawancara tentang perjalanan hidup beliau. Bagi saya ini adalah perjumpaan yang luar biasa dan sungguh menggunggah hidup saya, sekaligus menjadi kenangan yang paling intim saya bersama beliau. Jika boleh jujur, jarak usia serta jarak generasi tidak membuat dialog kami menjadi kaku dan seakan tak ada batasan. Proses wawancara berjalan lancar dan sangat baik. Saya menggunakan handphone saya untuk merekam apa yang diceritakan oleh L.T Hadjon. Juga buku kecil dan bolpoint untuk menulis beberapa hal yang harus saya tulis. Hampir lebih dari 2 jam, itu artinya dari jam 09.00 sampai jam 11.00 kami duduk dan bercerita. Pada pertemuan pertama tersebut, juga ikut hadir Pak Ansel Atasoge. 

Pertemuan kedua kami laksanakan besok harinya, 22 Februari 2020, juga di waktu yang sama yakni pukul 09.00. Seperti biasa beliau sudah menanti saya di rumahnya beserta seluruh arsip yang disimpannya. Saya membuka pintu balai Desa dan ke rumah untuk memanggil beliau. Jalannya masih kuat walau agak membungkuk. Saya kagum pada orang dan sosok ini, ketika usianya memasuki 85 tahun di tahun 2020 ini. Beliau berjalan sendiri menuju Balai Desa tanpa bantuan dan kami mulai melanjutkan wawancara. Hendak memulai wawancara, beliau katakan kepada saya: “Karno goe tali tou muri tentang wirausaha, karena goe juga buka CV dan pernah jadi petani. Moe ekan geka kalau goe wi pernah jadi petani Karno.” Kami dua pun tertawa dan menambahkan satu point lagi yakni wirausaha selain Pendidikan, Agama dan Politik. Juga seperti sebelumnya hampir 2 jam lebih kami duduk bercerita. Saya memastikan handphone saya untuk merekam dan beliau mulai bercerita dengan penuh gairah. Saya mungkin hendak menulis tentang sosok ini, tapi saya berpikir di saat itu saya sedang berada bersamanya di kenyataan masa lalu. Jadi boleh saya katakan apa yang diceritakan tidak saja tersimpan di dalam buku ini tapi juga di dalam benak saya dengan baik. Di hari kedua itu dan seterusnya hanya kami berdua duduk dan bercerita tentang kisah yang heroik tentang Lambertus Tulen Hadjon. Ah saya cukup berbangga dan menaruh hormat pada sosok ini.

Saya tahu bahwa beliau membawa serta arsip serta beberapa catatannya, tapi selama itu beliau lebih banyak bercerita dan hanya sesekali melihat arsip sekedar memastikan tanggal dan tahun. Beliau mengisahkannya dengan penuh kenikmatan bercerita dan berkisah, hingga kami lupa akan waktu: “Karno, jam 12 dahek, genta alan dahek, goe mau sembayang angelus, tite heke brua kia. Bauk todi sambung muri”. 

Tapi karena keesokan harinya saya ada kegiatan, maka kami tunda tanggal 24 Februari 2020. Waktu dan tempat yang sama. Pada pertemuan yang ketiga ini, kami hanya menambahkan sedikit tentang politik dan wirausaha. Maka tidak lama kami berdua duduk dan bercerita di hari itu dan selesai hasil wawancara tentang 4 bidang tersebut: Pendidikan, Agama, Politik dan Wirausaha. Saya amat senang dan beliau pun nampak lega, satu proses telah berlalu. Atas satu proses yang telah dilewati itu, beliau menyiapkan perjamuan sederhana untuk kami berdua. Ada seorang ibu datang membawakan dua buah gelas dan dua buah air aqua botol sedang, juga sebuah biskuit dan piring: “Karno pali tali neku selek dan wahak di kae. Pali goe siap wai ne biskue brua untuk tite ruat. Pali wali moe harus hukut. Pali ruat harus teka ne tenu piin sain wahak, harus wahak.” Ini semacam perjamuan sederhana untuk mensyukuri proses yang telah berlalu dengan baik ini. Saya mengingatnya dengan sangat baik dan akan selalu saya kenang.

Maka selesai dari itu, saya mulai mengetiknya. Mendengar cerita itu melalui earphone dan mulai mengetiknya di notebook saya. Maka proses transkrip mulai saya jalankan. Di bulan maret saya memberikan transkrip tentang pendidikan untuk dilihat kembali oleh Nene Ulen. Beliau membuat catatan atas transkrip tersebut. Beliau menulisnya dalam beberap buku dan kertas. Catatan itu sungguh detail karena beliau melihatnya perhalaman dan perbait, seperti mengedit ulang hasil tulisan transkrip tersebut. Ada yang harus ditambahkan dan ada yang harus dikurangi. Maka kami melakukan pertemuan lagi untuk melihat kembali catatan tersebut. Ada berberapa tambahan atas bidang pendidikan dan berberapa yang lain, yang kembali diingat oleh beliau: “Karno, piin mamacuh goe untuk hukut muri. Jadi piin tambahan brua muri”. “Maen Nene Ulen, tite tambahkan sebagai bagian Tambahan sehingga proses penulisan buku piin tidak langsung jadi begitu saja tapi berproses pada ingatan Nene Ulen juga”. Maka di dalam buku tetap dibuat bagian Tambahan. Atas catatan dan edit bersama tersebutlah, kami bersepakat bahwa karya ini adalah karya kame ru’ak (kami berdua). Dua generasi yang cukup jauh dan menghasilkan sebuah karya buku bersama. Saya amat berbangga dan bersyukur bisa menulis bersama beliau serta menorehkan nama dalam buku ini bersama beliau. Terima kasih banyak Nene Ulen. Sehari itu, kami menyelesaikan catatan tersebut dari jam 08.00 hingga hampir jam 12 siang. Harus selesai. Maka bagian itu pun selesai.

Terus berproses, saya mentranskrip beberapa bagian yang lain. Kurang lebih 3 bulan agak terhenti karena saya juga sedang dalam usaha menerbitkan buku Kenangan 100 Tahun Gereja St. Ignasius Waibalun, yang kemudian terbit di awal bulan Juli tahun 2020. Beberapa bagian telah saya ketik dengan baik. Bagian agama dan wirausaha pun sudah selesai diketik. 

Musibah datang, notebook saya mengalami kerusakan di awal bulan Juli setelah saya menerbitkan buku kenangan 100 tahun Gereja St. Ignasius Waibalun. Notebook off dengan sendirinya dan bila dinyalakan akan off lagi setelah 10-20 menit dinyalakan. Maka saya menyampaikan kepada Nene Ulen tentang musibah tersebut dan saya akan membawanya ke tukang service. Syukur dapat berfungsi kembali. 

Pada satu kesempatan menjelang akhir bulan Juli, tanggal 24 Juli 2020 sekitar pukul 09 .00 pagi, terdengar suara di pintu depan rumah saya. Ketika saya melihatnya ternyata Nene Ulen ada di depan. Saya bergegas pakai baju dan menyambut beliau: “Karno, gnai buku tite?” Saya sampaikan kepada beliau bahwa buku tetap jadi walau notebook saya masih rusak. “Tite janji kae tanggal 07 November, buku titen harus jadi”. Saya memberikan 2 buah buku kepada beliau dan beliau pamit pulang. Beliau sendirian tanpa ada yang mengantarnya. Di luar dan dijalanan sepi seakan tak ada orang yang melihat perjumpaan kami pagi itu. Tapi di hati terdalam saya ucapkan syukur atas kunjungan dan perjumpaan singkat itu di ruang tamu rumah saya yang sederhana itu.

Namun musibah datang lagi setelah seminggu itu, notebook saya sungguh-sungguh tidak bisa dinyalakan, off total. Sebelumnya Oncu Yos membantu saya dengan memberikan saya sebuah leptop second merk tosiba untuk membantu pengetikan tersebut. Kesalahan saya adalah tidak memindahkan data dari notebook saya ke leptop tosiba. Maka hilanglah semua data di notebook saya tersebut, termasuk tulisan tentang Lambertus Tulen Hadjon. 

Tapi saya masih sempat bersyukur karena sudah menerbitkan buku kenangan 100 tahun; dan beberapa catatan dan file audio buku Lambertus Tulen Hadjon masih tersimpan di handphone dan flashdisk saya. Agak stress tapi juga bersyukur: "Dalam situasi negatif sekalipun kita pun harus mampu bersikap positif". Karena hilangnya beberapa data penulisan buku Lambertus Tulen Hadjon tersebut, maka saya menghadap Nene Ulen dan membuat janji lagi untuk membuat wawancara ulang pada bagian yang telah hilang. Tepat tanggal 31 Juli, pada pesta pelindung paroki St. Ignasius Waibalun kami melaksanakan wawancara ulang di waktu dan tempat yang sama, jam 08.00 dan balai Desa Waibalun. Bidang politik dan wirausaha menjadi pokok. Hari itu pun selesai, tepat pukul 11.00 wita. Di depan balai desa kami bersalaman merayakan pesta paroki st. Ignasius Waibalun: “Pali ruat tobo muri pas pesta paroki. Jadi tite salaman kia”.

Proses akhirnya terus berjalan. Saya mengggunakan leptop dari Oncu Yos untuk melanjutkan penulisan dan syukur di awal bulan september naskah sudah siap dikirim ke percetakan. Beberapa kali saya membuat catatan atas layout buku untuk dilayout ulang oleh percetakan. Juga termasuk cover buku pun mengalami beberapa kali perubahan sebelum final pada cover yang sekarang ini. Namun, semua itu akhirnya berjalan dengan baik dan syukur di awal oktober buku tersebut dicetak dan diterbitkan oleh Taman Baca Hutan 46 Waibalun dengan judul buku: 

LAMBERTUS TULEN HADJON. Pendidikan-Agama-Politik-Wirausaha. 

Penulis dan Penyusun: Lambertus Tulen Hadjon – Karolus Banda Larantukan. 

Cet I: Oktober 2020.

Saya mau tambahkan bahwa dalam proses editing dan layout itu saya tambahkan lagi bidang Sosial. Sehingga menjadi 5 bagian pokok yakni Pendidikan, Agama, Politik, Wirausaha dan Sosial.

Terima kasih banyak untuk keluarga yang mendukung secara penuh penerbitan buku ini sebagai hadiah Ulang Tahun Lambertus Tulen Hadjon yang ke-85 tahun. Dan kepada Nene Ulen yang amat saya kasihi saya mau ucapkan banyak terima kasih, salam hormat penuh. Saya bersyukur nama saya bisa berdampingan dengan nama Nene Ulen dalam buku ini sebagai karya kita berdua, dengan generasi yang berjarak. Semua kisahmu yang saya dengar dan lihat dalam raut wajahmu ketika bercerita akan saya ingat dan kenang dan akan saya hayati dalam keseharian hidup saya selanjutnya sebagai ilmu pengetahuan. Tuhan dan Lewotana menyertai Nene Ulen selalu. 

Selamat Ulang Tahun ke-85 Nene Ulen.


*Waibalun, 06 November 2020


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

WAIBALUN - JATI DIRI

TERUNTUK PATER BERNAD MULLER, SVD

KRITIK BUDI (Refleksi Singkat untuk HUT Pater Budi Kleden SVD)