Tapak-Tapak Pengalaman Menuju Tuhan Menurut Kierkegaard dan Marcel (untuk: Leo Kleden, SVD)

Tapak-Tapak Pengalaman Menuju Tuhan Menurut Kierkegaard dan Marcel (untuk: Leo Kleden, SVD)

Oleh Gusti Tetiro

 

Leo Kleden

(Esai ini adalah hasil ringkasan bebas atau saduran yang saya buat atas suatu tulisan Thomas C Anderson yang tampil di salah satu edisi Philosophy Today untuk keperluan suatu diskusi sebuah kelompok peminat filsafat di Jakarta. Tulisan ini kemudian saya baca ulang dan publikasikan di blog pribadi ini tepat pada Hari Ulang Tahun ke-70 Pater Dr Leo Kleden SVD, mantan dosen Filsafat Ketuhanan di STFK Ledalero. Pater Leo adalah seorang pengajar filsafat yang sangat atraktif dan inspiratif. Di kelas Filsafat Ketuhanan, beliau memperkenalkan banyak filosof dari atheisme Feuerbach, Marx, Freud dan Nietzsche hingga pembuktian tentang Tuhan dari Thomas Aquinas, John Henry Newman, Henri Bergson hingga Karl Jaspers. Nama Kierkegaard dan Marcel tidak banyak disebut, maka saya pikir ini sebuah kebetulan untuk mempersembahkan pada momentum ulang tahun Pater Leo hari ini. Saya juga sedang membaca sebuah artikel dari seorang ahli filsafat yang menyanggah tulisan Thomas C Anderson ini. Itulah filsafat! Terima kasih Pater Leo Kleden, SVD)

 

Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) dan Gabriel Marcel (1889-1973) sama-sama sangat kritis terhadap percobaan dan penjelasan rasional untuk menunjukkan keberadaan Tuhan. Keduanya adalah orang yang percaya pada Tuhan. Masing-masing menganjurkan suatu jalan yang lebih mengutamakan pengalaman daripada argumentasi rasional tentang pengetahuan mengenai realitas Tuhan. Kierkegaard dan Marcel sama-sama menekankan bahwa pencarian dan penemuan Tuhan hanya bisa dilakukan melalui pengalaman iman seorang manusia. Refleksi keduanya tentang pengalaman itu berangkat dari sumber yang sama, yaitu Kekristenan.

Kierkegaard menekankan intervensi Allah pada waktu yang tepat, yaitu ketika manusia sadar akan kelemahan dan keberdosaannya. Bagi Kierkegaard, kerajaan Allah dan dunia adalah dua hal yang tidak bisa dipersatukan. Marcel melihat Tuhan sebagai Engkau Absolut dalam suatu kerangka relasi yang positif. Bagi Marcel, manusia dan segala pengalamannya di dunia adalah suatu rangkaian kerja bersama Tuhan.

Kendati titik awal refleksi dari sumber yang sama, keduanya ternyata berasal dua model Kekristenan yang berbeda dalam melihat manusia dan dunia dalam hubungannya dengan Tuhan dan kerajaan Allah. Adapun esai ini merupakan sebuah hasil pembacaan (bisa dikatakan sebuah terjemahan, tetapi lebih tepat saduran) dan modifikasi kreatif dari tulisan yang telah beredar pada salah satu jurnal filsafat berskala internasional.[1]

Maksud dan tujuan esai ini adalah untuk menyusul rute dan jalur pengalaman kepada Tuhan menurut kedua pemikir. Kierkegaard berbicara dalam suatu kerangka tiga tahap keberadaan manusia yang berakhir pada tahap religius dan berpuncak pada Kekristenan. Marcel memberikan penekanan pada kemendesakan ontologis, kesetiaan dan cinta serta harapan. Esai ini juga akan menyajikan perbandingan secara singkat antara kedua refleksi filosofis dua pemikir yang juga menjadi bagian penutup esai ini.

TUHAN MENURUT KIERKEGAARD

Kierkegaard memaparkan tiga (3) tahap keberadaan manusia. Pada tulisan ini, tahap religius menjadi konsentrasi. Pembahasan singkat dua tahap awal diperlukan untuk memperlihatkan bahwa melalui dan melampaui kedua tahap itulah, kita sampai pada relasi dengan Tuhan. Kierkegaard menekankan pentingnya melihat tahap sebelumnya sebagai prasyarat untuk tahap selanjutnya. Pada tahap ketiga, tahap religus, Kierkegaard membuat distingsi antara Kekristenan dan agama-agama non-Kristen.

Tahap Pertama: Estetik

Kierkegaard percaya bahwa setiap orang secara natural dan spontan memusatkan keberadaannya pada pemegahan-diri. Manusia secara instingtif percaya bahwa hidup lebih berharga kalau bisa memperoleh dan menikmati barang-barang duniawi. Individu yang mengikuti kecenderungan naturalnya dan “harus menikmati hidup” tentu saja seorang estetikus.[2]

Kelompok estetikus hadir dalam beragam rupa, terbentang dari pengejar kenikmatan sensual yang tidak reflektif hingga pencari kesenangan imajinatif yang canggih dan penuh perhitungan. Semuanya tidak mempunyai nilai intrinsik. Orang-orang dan barang-barang hanya dinilai penting kalau menciptakan kesenangan/kepuasan. Kelompok estetikus membutuhkan kebebasan untuk mencari kepuasan diri di mana saja. Dia menolak hampir semua kewajiban moral dan komitmen.

Tidak ada konsep otentik tentang Tuhan dan hal-hal spiritual. Pada level ini Tuhan dialami sebagai kekuatan misterius dan luar biasa. Signifikansi kekuatan ini untuk menolongnya merengkuh kesenangan dengan berkah berupa uang, talenta, cinta dan lain-lain. Tentu saja, kekuatan misterius ini tidak berkaitan dengan yang spiritual dan personal dalam arti tegas. Sebab, sang estetikus melihat sesama dan Tuhan sebagai objek untuk mencapai kesenangan diri. Pada level ini, tidak ada relasi sejati dengan Tuhan. Seorang estetikus gagal menemukan diri. Keputusaasaan menjadi hal yang tidak dapat dihindari.

Tahap Kedua: Etis

Apa yang dapat dilakukan seorang estetikus mengenai keadaan buruknya? Mengejutkan, Kierkegaard menasihatinya untuk “menerima keputusaasaan”, yaitu menerima fakta bahwa suatu keberadaan impersonal bergantung pada kefanaan yang tidak bisa memuaskannya. Dia mungkin paham/sadar dimensi-dimensi lebih dalam dari hidup, termasuk niatnya untuk menjadi diri (self) dan memilih bertanggung jawab dalam hidupnya, menjadi tuan atas nasibnya. Dia mungkin menyebut dirinya “absolute end” dengan berkomitmen menjadi pribadi ideal yang bisa dia perjuangkan. Ideal ini menjadi jelas jika dia merefleksikan secara mendalam faktisitasnya, sebab dia akan melihat bahwa dirinya mempunyai beberapa bakat, minat, kecenderungan, kebutuhan dan lain-lain. Orang yang mengenal dirinya dan menerima tanggung jawab, tugas, meraih kepuasan diri, tentu saja, bergerak ke tahap berikutnya, yaitu yang etis. Dengan menjadi dirinya, seseorang akan mencapai signifikansi untuk eksistensinya. Individu etis mengatasi keputusasaan estetikus dengan memperoleh apa yang dikatakan Kierkegaard sebagai “diri valid yang abadi”.        Suatu konsep yang lebih baik tentang Tuhan muncul pada tahap etis. Menurut Kierkegaard, untuk menghadirkan yang etis jelas merupakan tugas seorang theis. Secara logis, Allah yang diyakini menjadi fondasi dasar kewajiban etis manusia. Tugasnya untuk mencapai kedirian valid yang kekal (selfhood) (eternally valid selfhood). Hal ini harus menjadi perhatian, sebab apa yang dibuat manusia juga (bisa) dibatalkan oleh manusia. Hanya tugas yang berakar pada Tuhan yang kekal dan sungguh mengikat. Individu etis melihat relasinya dengan Tuhan total berkelanjutan dan harmonis dengan tugas etisnya menjadi diri (self). Menjadi ‘absolute end’ adalah berelasi dengan Tuhan. Tuhan tidak mempunyai fungsi lain selain sebagai dasar moral.

Tidak dapat dipungkiri, suatu gagasan tentang Tuhan yang tidak memadai ditemukan di sini. Kierkegaard menilai, seperti tahap estetik, tahap ini berakhir dalam kekecewaan dan putus ada. Individu etis akan menemukan bahwa apa yang ideal dari pemegahan-diri adalah mencapai sesuatu. Faktisitas tidak setransparan yang dia harapkan. Dia mungkin menemui dan mengakui kesalahan, lalu menjadi sedih dan kemudian sesal/tobat.[3] Dari pengalamannya dia tahu bahwa hidup untuk hal-hal fana tidak akan memuaskan. “Give Up!”, nasihat Kierkegaard. Individu etis harus mengakui bahwa nilai permanen tidak didapat dari apapun, termasuk dirinya. Harus rendah hati dan percaya bahwa keberadaan melampauinya dan hanya bisa berserah kepada Tuhan.

Tahap Ketiga: Religius

Pertama, Agama A

Individu yang merasa bersalah dan kecewa menyadari bahwa kemiskinan/kemalangan  bisa datang untuk menyadarkan bahwa hanya satu kehidupan yang bermakna. Oleh kaerna itu, individu ini mungkin menemukan alasan untuk “meninggalkan” secara total dunia sebagai tujuan ultim hidupnya. Dia mungkin juga menemukan keharusan untuk “meninggalkan diri”, untuk menghindari tendensi naturalnya, untuk menempatkan nilai absolut pada hal-hal yang terbatas, serta hasrat naturalnya untuk mencapai kepuasan diri melalui usaha sendiri. Kierkegaard menegaskan, melalui penyerahan diri manusia, keberadaan Tuhan menjadi jelas bagi individu “dengan sebuah keputusan yang tidak meninggalkan ruang untuk ketidakjelasan”. Manusia tidak dapat melakukan apapun tanpa Tuhan. Individu yang memilih Tuhan sebagai tujuan ultimnya tentu saja berada pada taraf religius, tetapi belum sampai pada Kekristenan/Kristianitas. Kita baru tiba pada ranah pertama dari taraf religius yang oleh Kierkegaard disebut agama A.[4]

Kendati individu religius dikatakan mengalami “Tuhan” secara meyakinkan, pengalamannya tidak dapat menjelaskan secara luar biasa bahwa dia yakin Tuhan ada. Kierkegaard mengatakan, pada ranah ini hanya iman yang dapat memastikan realitas Tuhan. Seseorang dalam agama A bisa menemukan alasan-alasan untuk mengafirmasi eksistensi Tuhan, sebab kekuasaan dan rancangan hadir di alam semesta, tetapi dia juga melihat alasan untuk mengkhianatinya, karena ketidakteraturan dan kejahatan ada di semesta. Alasan yang menciptakan kemungkinan yang terbaik dan bertahan hingga akhir, Kierkegaard katakan sebagai “Ketidakpastian Objektif”.[5]

Tidak masalah soal bagaimana pengalamannya tentang Tuhan, individu dalam agama A mempunyai konsepsi yang berbeda secara signifikan soal Ketuhanan dan soal pemuasan-diri dibandingkan dengan sang estetikus dan sang etis. Baginya, Tuhan bukanlah kekuatan eksternal luar biasa yang misterius atau tugas universal. Tuhan itu kekal, hadir dimana-mana, tidak terbatas. Tidak dapat diragukan ada banyak pemahaman Tuhan di level ini, namun semua harus memahami ketuhanan dengan cara dan pandangan dunia berbeda, dan kemudian bergantung penuh pada-Nya. Agama A yang Kierkegaard diskusikan secara panjang lebar bersifat panteistik dan itu karena dia sadar panteisme menjadi “hanya posisi konsisten di luar Kekristenan”. Bagi individu religius di level ini, “Tuhan bukan sesuatu (Dia keseluruhan dan tidak terbatas), juga tidak berada di luar individu… Dia ada di dalam individu”.

Pemahaman agama A tentang pemenuhan diri tentu saja mencakup Tuhan. Diri ideal dengan nilai abadi yang dicari kini dipahami menjadi transenden. Hal ini tidak diperoleh dengan diri valid abadi dengan mencapai kesempurnaan moral permanen dalam suatu hidup yang dihidupi dunia ini, tetapi dengan mencapai imortalitas, dan penyelamatan atau kebahagiaan abadi di dalam dan dengan Tuhan dalam “kerajaan surga”. Tetapi, koneksi yang pasti antara keselamatan kekal manusia dan Tuhan tidak diuraikan.

Agama A percaya, manusia mampu menangkap kebenaran dirinya dan Tuhan. Agama A melihat dimensi esensial manusia berpartisipasi dalam kerajaan kekal Allah. Kendati demikian, mereka mengaku, “di hadapan Tuhan kita semua selalu salah”. Ini adalah kesimpulan yang menyakitkan. Sungguh, rasa bersalah ini mungkin telah membuat individu religius ini melihat ada yang salah dari kodratnya dan dia tidak mampu mencapai Tuhan. Yang pasti adalah, seperti si estetikus dan si etis, dia tiba di akhir jalannya. Karena rasa bersalahnya, dia sangat minim dan secara negatif berelasi dengan Tuhan dan keselamatan kekalnya, dimana dia tidak pernah membedakan kebutuhan dan keinginan. Dia tidak mampu menyembunyikan kondisi tragisnya; lebih jelas dia mengerti kebutuhannya untuk membuat Tuhan akhir ultimnya, kian jelas menuju kegagalan. Dia tidak mempunyai jalan keluar, karena tidak ada tawaran keselamatan.

Kedua, Kekristenan

Jika seseorang mengakui kesalahannya dan tidak bisa melakukan sesuatu selain mengakui kesalahannya itu, dia terbuka pada sesuatu yang secara radikal berbeda dari dunia ini. Dia terbuka pada wahyu ilahi. Kierkegaard percaya bahwa Tuhan bisa menunjukkan padanya kesengsaraan-Nya dan pertolongan-Nya. Tuhan bisa saja menunjukkan pada tempat pertama bahwa manusia secara fundamental dan instingtual berdosa dan akibatnya tercerabut secara tuntas dari Tuhan.

Sesungguhnya, keberdosaan manusia yang membuatnya salah paham. Tanpa wahyu manusia tidak dapat menyadari dampak besar dosa. Kekristenan menunjukkan dosa adalah penolakan terhadap pribadi Allah. Melalui penolakan, manusia sepenuhnya merusak dirinya. Dosa menghilangkan kebebasan manusia dan tidak berdaya mencapai Tuhan dan pemenuhan diri abadi. Dosa membuat manusia fokus pada benda-benda di dunia dan dirinya sendiri. Tetapi, Tuhan akan menebus. Lawan dari dosa, tegas Kierkegaard, bukan nilai, tetapi iman.[6] Iman pada cinta Tuhan yang hadir dalam Kristus Penebus. Dalam iman, pengampunan dari Tuhan melalui Kristus bisa memulihkan manusia kepada kelahiran baru.

Semua kebenaran ini diwahyukan karena ada dalam cakupan pemahaman manusia. Tidak seperti ketuhanan dalam Agama A, realitas Tuhan Kristiani tidak bisa dipahami sebagai kemungkinan. Iman Kristiani benar-benar suatu tindakan kehendak Tuhan. Tuhan abadi yang tidak terbatas itu menjadi manusia temporer yang terbatas yang menderita dan mati. Tuhan mengenal dan mencintai setiap orang dengan intim. Di banyak tempat, Kierkegaard memperlihatkan penekanan perbedaan dan ketidaksinambungan antara Kristianitas dan dunia. Kerajaan Allah dan dunia tidak bisa disatukan. Hanya dengan pertolongan Tuhan, manusia mampu mengenal Tuhan. Berbeda dengan agama A, iman Kristiani “adalah suatu mukjizat”. Pengampunan Tuhan akan membebaskannya dari dosa, menyiapkan pola ideal, dan terarah kepada Kristus. Melalui pilihannya kepada Kristus di dalam iman, manusia yang secara konkret mortal akan menjadi immortal dan mencapai pemenuhan diri abadi di dalam Tuhan. Untuk menerima Kristus, manusia harus mengalami cinta Tuhan yang membawa penghiburan, damai dan sukacita.

TUHAN MENURUT GABRIEL MARCEL

Seperti Kierkegaard, Marcel tidak terkesan dengan percobaan-percobaan tradisional untuk mendemonstrasikan secara rasional realitas Tuhan, karena itu semua hanya membuktikan “Tuhan ada”, dan bukan perjumpaan dengan Tuhan. Pendekatan filosofis Marcel bercorak fenomenologis. Dia memeriksa pengalaman-pengalaman fundamental manusia dan menemukan evidensi kehadiran Tuhan.

Kemendesakan Ontologis

Ada dorongan fundamental dalam diri manusia untuk mencari Tuhan. Itulah kemendesakan atau kebutuhan ontologis. Ada perasaan gelisah, kekosongan dan kemuakan yang disebabkan oleh depersonalisasi umum atas manusia dalam masyarakat. Selama nilai individu diidentifikasi dengan fungsi dan peran yang dimainkan dalam suatu birokrasi teknik, pesimisme dan bahkan putus asa mengenai signifikansi dari eksistensi uniknya berhasil, sebab relasi manusia cenderung fungsional eksklusif, jadi persatuan antarpribadi yang intim susah diraih, ketidakpuasan tak terhindarkan. Kepenuhan pengalaman dan eksistensi manusia adalah suatu kepenuhan yang melibatkan intersubjektif sejati dan komunitas otentik. Marcel lebih jauh mengkarakteristikan kemendesakan itu sebagai kebutuhan untuk nilai, untuk nilai instrinsik dan kekal. Marcel setuju dengan Kierkegaard: manusia secara sederhana tidak dapat dipuaskan dengan hal-hal yang fana. Hasrat dan kebutuhan manusia untuk hidup adalah suatu kepenuhan nilai, suatu kepenuhan dari suatu realitas yang bermakna intrinsik dan permanen. Tentu saja, ini berarti kebutuhan ontologis hanya bisa dipuaskan dengan apa yang transenden.

Kemendesakan ontologis itu juga adalah akar dorongan manusia kepada pemenuhan-diri, dan pada titik ini ada banyak persamaan antara Marcel dan Kierkegaard. Seperti pendahulunya, Marcel percaya jika seorang masuk lebih dalam ke dalam dirinya untuk melihat hidupnya, dia akan menemukan diri idealnya yang dengannya dia bisa menilai eksistensinya saat ini. Ideal ini adalah diri yang dikehendaki, hidup yang diharapkan, supaya penuh.

Panggilan kepada pemenuhan diri tidak boleh diinterpretasikan secara egoistis. Pemenuhan diri personal tidak datang dari diri sendiri. Hanya dengan ada dan berpartisipasi dalam kehidupan yang lain, terutama manusia lain, kehidupan pribadi menjadi makin mantap. Dari eksistensiku aku bersatu dengan yang lain, aku tak pernah terisolasi. Aku adalah relasi dengan yang lain. Aku mengenal dan mencintai diriku hanya melalui relasi dan diriku tumbuh hanya melalui lingkungan intersubjektif. Jika aku menolak kebersamaan, aku kesepian dan terpenjara dalam ego, “being par excellence” jadi tujuan ultim dari kemendesakan ontologis.[7] Menurut Marcel, kemendesakan ontologis dalam bahasa beriman, disebut Tuhan. Dorongan fundamental itu Tuhan. Dalam pengalaman, manusia menemukan Ada Ilahiah. Marcel masuk dalam pembahasan tentang ketaatan. Cinta dan kesetiaan tak terpisahkan.

Kesetiaan

Marcel tidak pernah menyangsikan janji orang untuk setia satu sama lain. Dia percaya itu sudah jelas. Marcel memikirkan suatu relasi yang terwujud dalam komitmen tak bersyarat kepada orang lain. Ini suatu relasi dimana orang lain pertama-tama tidak dilihat sebagai fungsi atau objek, tetapi sebagai pribadi, yang berkesadaran diri bebas atas eksistensinya dan berdaulat atas dirinya. Dalam kesetiaan yang lain dialami sebagai engkau, seseorang yang bersamaku, yang memiliki kebebasan, harapan, ketakutan, hasrat dan nasib. Jenis relasi ini hadir dalam persahabatan yang dalam, dalam cinta pasangan yang mutual, dalam cinta orang tua pada anaknya atau sebaliknya. Kesetiaan adalah ikrar tak bersyarat untuk mengabadikan ikatan Aku-Engkau yang intim.

Mengapa engkau perlu berkomitmen pada orang lain? Ini bisa saja terlihat bodoh karena ada saja orang yang mengkhianati kita, menyalahgunakan cinta kita, dan menilainya tidak berguna. Kita perlu melihat risikonya. Akan tetapi, keimanan bukan produk dari hasil buta kehendak. Ada “jaminan” bernama harapan.

>>Harapan

Marcel memeriksa harapan sebagai realitas dan menemukan bahwa itu mungkin. Harapan tidak seperti kemauan atau hasrat. Harapan lebih merupakan suatu pengalaman dari kepercayaan, keyakinan dan jaminan. Harapan memperlihatkan dirinya dalam situasi kekelaman dan pencobaan, situasi dimana ada putus asa dan kondisi tak berpengharapan. Orang berpengharapan memiliki kepercayaan diri dan merasa aman.

Jika Tuhan adalah kepenuhan hidup, kita akan mengalamiNya dalam kesetiaan dan harapan sebagai Engkau Absolut. Mengalami suatu Engkau Absolut adalah mengalami suatu Ada yang tidak pernah berhenti menjadi suatu engkau. Mengalami suatu Pribadi Tertinggi (Supreme Person, Supraperson) yang tidak pernah menarik diri dari suatu persatuan penuh cinta dengan manusia. Dalam harapan, hidup dan realitas dialami sebagai hadiah dari Ada Absolut (Absolute Being). Engkau Absolut adalah “jaminan” permanen persatuan kita. Dia adalah “the very cement” yang mempersatukan kita. Bersatu dengan Engkau Absolut, berpartisipasi dalam kenyataan abadi.

>>Wahyu dan Pengalaman akan Tuhan

Pengalaman dengan Engkau Absolut hanya mungkin melalui wahyu Ilahi. Wahyu adalah pemberian gratis dari Tuhan, inisiatif dan kemurahan hati Tuhan. Juga bagi mereka yang tidak beragama tetapi religius natural. Dalam kekristenan, hal itu mendapatkan momentum konkretisasi. Sementara, sang religius natural secara implisit mengalami kehadiran Engkau Absolut. Dalam kekristenan, inkarnasi menjadi pusat. Engkau absolut menjadi manusia dalam ruang dan waktu. Jelas, Marcel sependapat dengan Kierkegaard, pengetahuan dan penerimaan khas Kristiani melampaui kekuatan kuasa manusia. Tidak seperti pengakuan terhadap Engkau Absolut, misteri-misteri Kristiani tidak dapat dimunculkan melalui refleksi dan pengalaman manusia saja.

Kendati demikian, menurut Marcel, kebenaran Kristiani bukan lawan dari pemahaman dan pengalaman manusia. Ada persamaan yang esensial antara Kekristenan dan kodrat manusia. Filsafat secara natural membawa orang pada Wahyu Kekristenan. Filsafat membawa orang kepada Allah yang inkarnatif, Allah yang menjadi daging dan hadir dalam gereja historis dalam sakramen, tulisan suci, dan sebagainya. Jalan kepada Tuhan tidak ditemukan dengan menolak kodrat manusia dan semua ciptaan di dunia, tetapi dengan menerima dan masuk lebih dalam ke relasi abadi dengan para penziarah lain.

PENUTUP: SEBUAH PERBANDINGAN

Ada perbedaan signifikan antara jalan pengalaman kepada Tuhan menurut Kierkegaard dan Marcel. Tentu saja ada juga beberapa persamaan. Keduanya percaya dorongan pemenuhan diri tertuju kepada Tuhan, karena hanya bisa dipuaskan secara penuh dengan membangun hubungan yang intim dengan-Nya. Keduanya yakin, kepercayaan kepada Tuhan berpuncak pada Kristianitas. Relasi pribadi dengan Tuhan melampaui kuasa manusia.

Lebih jauh, kita menemukan perbedaan-perbedaan fundamental. Kierkegaard menekankan pernyataan-pernyataan putus asa, ketidakberdayaan, kedosaan dan rasa bersalah. Dia menyarankan orang menerima penderitaan dan kemalangan. Ini yang akan membawanya kepada Tuhan. Sementara itu, Marcel sepakat bahwa setiap orang harus sadar kebutuhannya kepada Tuhan dan ketidakmampuannya untuk mencapai Dia melalui kekuatan sendiri, menekankan pengalaman-pengalaman positif dalam dimensi sosial keberadaan manusia. Bagi Marcel, relasi antarpribadi, pengalaman-pengalaman ketaatan, kepercayaan dan cinta adalah rute yang layak kepada Tuhan. Sementara Kierkegaard hampir tidak pernah berbicara tentang pengalaman aktual Ada Ilahi, Marcel percaya pengalaman-pengalaman itu bisa terjadi. Inilah alasan untuk Marcel mengatakan iman adalah suatu tindakan murni dari kehendak. Keduanya mempunyai konsepsi berbeda secara radikal tentang relasi yang natural dan kodrat transenden.

Kierkegaard menyatakan, manusia harus menolak diri natural spontan dan dunia ini. Keduanya harus dibenci. Kerajaan Allah dan dunia tidak bisa bercampur, karena ‘berbeda’, ‘tidak nyambung’ dan ‘bisa saling menistakan’. Jika seseorang mencapai relasi personal dengan Tuhan, dia harus siap dengan pertolongan Ilahi menghilangkan kecenderungan-kecenderungan spontan, menyangkal pemahaman dan meninggalkan semua hal terbatas. Menurut Kierkegaard, jarak antara Kerajaan Allah dan dunia ini sangat lebar, sehingga tidak mungkin ciptaan dibawa kepada Tuhan. Hanya dengan bantuan ilahi, manusia bisa menemukan Allah yang hidup.

Marcel tidak menganjurkan penolakan terhadap dunia ini dengan kekuatan dan kecenderungan manusia. Rutenya menuju Tuhan melewati pengalaman-pengalaman penciptaan. Kendati tidak mempunyai kepenuhan nilai, ciptaan berpartisipasi dalam kepenuhan menyediakan makna bagi pertemuan dengan Engkau Absolut. Dalam ketaatan penuh cinta dan kepercayaan, manusia sadar, meskipun samar-samar, kehadiran Tuhan di dalam dan melalui pengalaman-pengalamannya. Persatuan manusia dengan Tuhan dimediasi melalui pengalaman, khususnya nilai dan makna ciptaan. Bahkan, meskipun kehadiran Tuhan dalam pengalaman manusia adalah hadiah dari Tuhan. Manusia bisa sadar dengan sendirinya melalui kekuatan-kekuatan refleksinya sendiri.

Marcel yakin ada kontinuitas antara manusia dan Yang Ilahi. Ada (Being) tidak berada dalam suatu dunia yang seluruhnya berbeda tetapi di dalam dunia yang sama dengan dimensi-dimensi terdalam. Kecenderungan alamiah manusia akan menuntunnya. Manusia tidak perlu meninggalkan kekuatannya, tetapi memakainya untuk masuk lebih dalam ke pengalaman itu. Pemahaman yang mendalam tentang kodratnya dan pengalaman-pengalaman dapat menuntun manusia kepada kebenaran-kebenaran Kristiani. Keduanya cocok satu sama lain. Penerimaan kebenaran ini hanya mungkin melalui dan dengan rahmat Tuhan, — Marcel sepakat dengan Kierkegaard dalam hal ini.

Kesimpulannya, dasar ketidaksamaannya karena keduanya datang dari Kekristenan yang berbeda, Lutheran dan Katolik. Mungkin dalam kesempatan-kesempatan ekumenis, seseorang bisa memperlihatkan perbedaan-perbedaanya yang lebih komplementer daripada bercorak oposisi. Dua jalan ini tidak bisa diperdamaikan secara fundamental.  (*)

——————————-

[1]Thomas C Anderson, The Experiental Paths to God in Kierkegaard and Marcel, dalam Philosophy Today (Spring 1982), hlm. 22-40. Semua kutipan langsung dalam makalah ini diambil dari sumber utama ini. Bacaan lain hadir sebagai pelengkap dan pembanding.

[2]Prototipe individu estetik adalah Do Juan. Lihat Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Modern (Jakarta; Gramedia, 1983), hlm. 77. Begitu juga dengan prototipe individu etis adalah Sokrates dan prototipe untuk individu religus adalah Ibrahim/Abraham.

[3]Bdk. J Preston Cole, Problematic Self in Kierkegaard and Freud (New Haven and London: Yale University Press, 1971), hlm. 75-101. Bagian ini mengangkat tema spesifik “Kierkegaard’s Concept of Despair”.

[4]Menarik bahwa Kierkegaard menyebut Agama A dan Agama B untuk memisahkan Non-Kristen dan Kekristenan. Lihat, Claire Carlisle, Kierkegaard. A Guide for the Perplexed (London: Continuum, 2006), hlm.80-81.

[5]Lihat dan bandingkan, Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia/KPG, 2018), hlm. 109-134.

[6]Claire Carliske, hlm.48. Contoh iman paling baik menurut Kierkegaard ada pada tokoh Abraham.

[7]Salah satu konsep kunci Marcel adalah “Esse est co-esse”. Lihat Kees Bertens, Filsafat Barat Kontemporer (Jilid II) (Jakarta: Gramedia, 2019), hlm. 75.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WAIBALUN - JATI DIRI

TERUNTUK PATER BERNAD MULLER, SVD

KRITIK BUDI (Refleksi Singkat untuk HUT Pater Budi Kleden SVD)