ROSARIO BIRU YANG HILANG
ROSARIO BIRU YANG HILANG
---------------
Cerpen oleh Berrye Tukan
Nenek Ina mungkin adalah sosok wanita tua yang paling religius di kampung kami. Saban pagi-pagi buta, Nenek Ina sudah bangun, membasuh diri dan pergi ke gereja dengan langkah kaki yang nampak terseret. Di gereja, duduknya paling depan. Tangannya dikatup erat dengan seuntai rosario. Matanya tertutup rapat sementara bibir tuanya tak berhenti mengucap doa demi doa. Kala siang, Nenek Ina menyendiri di kamar sambil menjalankan doa Anjelus dan Keronka.
Nenek Ina tinggal di rumah bersama sang cucu, Yoana. Ketiga anaknya sudah berkeluarga dan memutuskan untuk tinggal di rumah sendiri. Hidup Nenek Ina serba berkecukupan dengan uang pensiunan dari almarhum sang suami serta perhatian ketiga anaknya. Tak jarang Nenek Ina membantu tetangga yang kesulitan, dari meminjamkan beras hingga uang sekolah. Rumah Nenek Ina tak mewah namun lumayan bagus dengan taman kecil di depan rumah dan sebuah teras cantik di sampingnya. Nenek Ina menjadi pribadi yang tak hanya dihormati namun cukup disegani oleh orang-orang kampung.
Bercerita tentang Nenek Ina adalah bercerita tentan rosario biru miliknya. Ya, rosario biru milik Nenek Ina adalah satu-satunya barang yang selalu dibawanya ke manapun dia pergi, entah ke gereja, pertemuan keluarga, mengunjungi kuburan mendiang suami hingga ke pasar. Rosario biru itu menjadi barang wajib yang selalu berada di tangannya. Rosario biru itu sekilas nampak biasa saja, namun bila diperhatikan lebih dekat, benda ini memang berbeda. Manik-maniknya berwarna biru transparan seperti mutiara. Tali yang mengikat manik-manik tersebut terbuat dari dawai gitar yang lebih halus. Salib rosario itu penuh corak dan lekuk serta masih nampak mulus tanpa lecet yang berarti, dan pastinya dibuat dengan proses yang sangat detail dan telaten.
Konon, rosario biru itu ditemukan oleh salah satu generasi terdahulu dalam keluarganya di pesisir pantai pada sekian ratus tahun yang lalu dan telah menjadi warisan dari generasi ke generasi dalam keluarganya. Rosario biru itupun menjadi semacam benda sakral yang selalu dipercaya memiliki khasiat yang lebih daripada sebuah rosario biasa bukan saja oleh sang nenek sendiri, bahkan juga oleh sebagian warga kampung. Tak sedikit warga kampung yang datang dan meminta didoakan oleh Nenek Ina dengan menggunakan rosario biru miliknya. Mereka percaya, doa mereka akan lebih cepat dan mudah terkabulkan jika menggunakan rosario biru milik Nenek Ina.
“Saya pernah didoakan oleh Nenek Ina dengan rosario birunya, dua hari kemudian suami saya akhirnya meninggalkan selingkuhannya,” jelas Bu Edang, tetangga Nenek Ina.
“Usaha saya hampir bangkrut. Utang saya di mana-mana, namun sejak berdoa di rumah Nenek Ina dengan rosario birunya, rejeki saya lambat laun bangkit lagi,” aku Bu Lena, salah seorang tetangga Nenek Ina lagi.
***
Namun, suatu hari semuanya berubah. Pagi itu, Nenek Ina tidak kelihatan. Dia tidak pergi ke gereja. Jendela dan pintu pun belum terbuka sejak pagi. Ketika para tetangga mendatangi rumahnya, barulah mereka tahu ada sesuatu yang serius yang sedang terjadi di rumah Nenek Ina; rosario birunya hilang! Para tetangga mulai membantu mencari.
“Terakhir nenek simpan di mana?” tanya mereka.
“Nenek ingat jelas, rosario itu nenek simpan di dalam dompet merah ini, tapi sekarang kok hilang ya?” ujarnya.
“Coba diingat-ingat lagi nek, mungkin ketinggalan di suatu tempat nek,” kata mereka.
“Ah, tidak mungkin! Sejak semalam, nenek tidak pernah keluar rumah. Rosarionya masih di sini kok,” sambungnya.
Sejak pagi, siang hingga sore, rumah Nenek Ina dipadati tetangga yang datang ingin membantu mencari rosario biru milik Nenek Ina yang hilang. Lantai-lantai disapu, perabot-perabot diangkat dan dipindahkan, buku-buku dikibas demi mendapatkan rosario biru yang hilang itu. Namun hingga petang, rosario biru masih tetap belum ditemukan. Satu persatu tetangga pun pulang, menyisahkan Nenek Ina dan Yoana yang sibuk membereskan gelas-gelas sisa kopi yang dihidangkan untuk tetangga yang datang.
“Kamu tahu, Yoana. Rosario itu harus ditemukan. Itu warisan generasi terdahulu. Banyak doa yang terkabulkan dengan rosario biru itu. Apalah arti doa nenek sekarang bila rosario itu tidak ada lagi?” gerutu sang nenek.
“Besok kita cari lagi saja nek, pasti ketemu! Ayo kita berdoa sekarang, supaya besok bisa ketemu,” hibur sang cucu.
“Berdoa tanpa rosario? Itu tidak mungkin, Yoana! Rosario itulah yang telah mengabulkan doa-doa nenek, dan sekarang kita berdoa tanpa rosario?” sergah sang nenek.
“Nek, itu hanya rosario, nek!”
“Hanya rosario? Dengar ya, Yoana! Rosario itulah yang mengabulkan banyak doa! Si Herman, anak Pak Aleks yang sakit jantung, sembuh karena rosario itu. Pak Nimus yang kena hepatitis bisa sembuh karena rosario itu. Si Ria yang kehilangan cincinnya, ketemu juga karena rosario itu. Dan masih banyak lagi! Semua dikabulkan rosario itu!”
“Ah, nenek! Rosario itu tidak mengabulkan doa, Tuhanlah yang mengabulkannya!”
“Tuhan? Orang kampung yang malas ke gereja tidak tahu Tuhan! Mereka hanya tahu rosario itu!” tutup sang nenek sambil masuk kamar dan tertidur, capek dan sedih.
***
Hari-hari berikutnya masih menyisahkan cerita yang sama; rosario biru itu belum ditemukan. Orang-orang kampung tak lagi datang mencari dan tak ada yang datang berdoa lagi. Nenek Ina masih tetap mencari meski di tempat yang sama. Perlahan, Nenek Ina mulai tenggelam dalam usahanya mencari rosario birunya. Dia menjadi malas ke gereja, dan bahkan mulai mencurigai dan menyumpahi orang-orang.
“Nenek yakin, ini pasti dicuri tetangga. Mereka pasti menginginkan kesaktian rosario biru itu!”
“Jangan menuduh nek!” balas Yoana.
“Saya sumpahi mereka, biar umur mereka pendek! Biar rosario itu yang akan mengutuk mereka!” marahnya.
“Nek, sudahlah. Kita masih bisa beli rosario yang baru!”
“Tidak mungkin itu!”
Nenek Ina semakin larut dan tenggelam dalam kehilangan rosario itu. Para tetangga mulai dicurigai bahkan diancam.
“Saya yakin satu dari sekian banyak tetangga di sinilah yang telah mencurinya. Saya berdoa semoga umur kalian pendek! Cepat mati! Itu benda sakral! Kalian pasti belum tahu rasanya dikutuk oleh benda sakral!” ancamnya pada tetangga dan orang kampung.
***
Seminggu berlalu, dan sebuah pagi yang cerah digantikan kegaduhan luar biasa ketika berita Nenek Ina yang pingsan lalu meninggal saat sedang merayap di bawah kolong tempat tidur kala mencari rosario biru miliknya tersiar seantero kampung. Warga kampung berbondong-bondong datang melayat dan memberi penghormatan terakhir.
Di ruang tengah, jasadnya terbujur dalam peti mati, diselipi beberapa pakaian dan kain sarung yang dibawa kerabat. Tepat di bawah kakinya, seuntai rosario biru miliknya justru ditemukan. Tak ada yang tahu pasti bagaimana dan siapa yang meletakannya di situ.
Para pelayat pun berbisik satu dengan yang lain, “Panggil Yoana. Dia harusnya mewariskan rosario biru ini.” Yoana pun datang mendekat.
“Biarlah rosario biru itu dibawa nenek bersamanya. Warisan tak selamanya membuat orang jadi bahagia,” celetuknya sembari meletakkan rosario biru itu di antara jemari sang nenek yang tertidur dalam keabadian.
---------------
(gambar: diunduh 30 Juni 2019)
Cerpen oleh Berrye Tukan
Nenek Ina mungkin adalah sosok wanita tua yang paling religius di kampung kami. Saban pagi-pagi buta, Nenek Ina sudah bangun, membasuh diri dan pergi ke gereja dengan langkah kaki yang nampak terseret. Di gereja, duduknya paling depan. Tangannya dikatup erat dengan seuntai rosario. Matanya tertutup rapat sementara bibir tuanya tak berhenti mengucap doa demi doa. Kala siang, Nenek Ina menyendiri di kamar sambil menjalankan doa Anjelus dan Keronka.
Nenek Ina tinggal di rumah bersama sang cucu, Yoana. Ketiga anaknya sudah berkeluarga dan memutuskan untuk tinggal di rumah sendiri. Hidup Nenek Ina serba berkecukupan dengan uang pensiunan dari almarhum sang suami serta perhatian ketiga anaknya. Tak jarang Nenek Ina membantu tetangga yang kesulitan, dari meminjamkan beras hingga uang sekolah. Rumah Nenek Ina tak mewah namun lumayan bagus dengan taman kecil di depan rumah dan sebuah teras cantik di sampingnya. Nenek Ina menjadi pribadi yang tak hanya dihormati namun cukup disegani oleh orang-orang kampung.
Bercerita tentang Nenek Ina adalah bercerita tentan rosario biru miliknya. Ya, rosario biru milik Nenek Ina adalah satu-satunya barang yang selalu dibawanya ke manapun dia pergi, entah ke gereja, pertemuan keluarga, mengunjungi kuburan mendiang suami hingga ke pasar. Rosario biru itu menjadi barang wajib yang selalu berada di tangannya. Rosario biru itu sekilas nampak biasa saja, namun bila diperhatikan lebih dekat, benda ini memang berbeda. Manik-maniknya berwarna biru transparan seperti mutiara. Tali yang mengikat manik-manik tersebut terbuat dari dawai gitar yang lebih halus. Salib rosario itu penuh corak dan lekuk serta masih nampak mulus tanpa lecet yang berarti, dan pastinya dibuat dengan proses yang sangat detail dan telaten.
Konon, rosario biru itu ditemukan oleh salah satu generasi terdahulu dalam keluarganya di pesisir pantai pada sekian ratus tahun yang lalu dan telah menjadi warisan dari generasi ke generasi dalam keluarganya. Rosario biru itupun menjadi semacam benda sakral yang selalu dipercaya memiliki khasiat yang lebih daripada sebuah rosario biasa bukan saja oleh sang nenek sendiri, bahkan juga oleh sebagian warga kampung. Tak sedikit warga kampung yang datang dan meminta didoakan oleh Nenek Ina dengan menggunakan rosario biru miliknya. Mereka percaya, doa mereka akan lebih cepat dan mudah terkabulkan jika menggunakan rosario biru milik Nenek Ina.
“Saya pernah didoakan oleh Nenek Ina dengan rosario birunya, dua hari kemudian suami saya akhirnya meninggalkan selingkuhannya,” jelas Bu Edang, tetangga Nenek Ina.
“Usaha saya hampir bangkrut. Utang saya di mana-mana, namun sejak berdoa di rumah Nenek Ina dengan rosario birunya, rejeki saya lambat laun bangkit lagi,” aku Bu Lena, salah seorang tetangga Nenek Ina lagi.
***
Namun, suatu hari semuanya berubah. Pagi itu, Nenek Ina tidak kelihatan. Dia tidak pergi ke gereja. Jendela dan pintu pun belum terbuka sejak pagi. Ketika para tetangga mendatangi rumahnya, barulah mereka tahu ada sesuatu yang serius yang sedang terjadi di rumah Nenek Ina; rosario birunya hilang! Para tetangga mulai membantu mencari.
“Terakhir nenek simpan di mana?” tanya mereka.
“Nenek ingat jelas, rosario itu nenek simpan di dalam dompet merah ini, tapi sekarang kok hilang ya?” ujarnya.
“Coba diingat-ingat lagi nek, mungkin ketinggalan di suatu tempat nek,” kata mereka.
“Ah, tidak mungkin! Sejak semalam, nenek tidak pernah keluar rumah. Rosarionya masih di sini kok,” sambungnya.
Sejak pagi, siang hingga sore, rumah Nenek Ina dipadati tetangga yang datang ingin membantu mencari rosario biru milik Nenek Ina yang hilang. Lantai-lantai disapu, perabot-perabot diangkat dan dipindahkan, buku-buku dikibas demi mendapatkan rosario biru yang hilang itu. Namun hingga petang, rosario biru masih tetap belum ditemukan. Satu persatu tetangga pun pulang, menyisahkan Nenek Ina dan Yoana yang sibuk membereskan gelas-gelas sisa kopi yang dihidangkan untuk tetangga yang datang.
“Kamu tahu, Yoana. Rosario itu harus ditemukan. Itu warisan generasi terdahulu. Banyak doa yang terkabulkan dengan rosario biru itu. Apalah arti doa nenek sekarang bila rosario itu tidak ada lagi?” gerutu sang nenek.
“Besok kita cari lagi saja nek, pasti ketemu! Ayo kita berdoa sekarang, supaya besok bisa ketemu,” hibur sang cucu.
“Berdoa tanpa rosario? Itu tidak mungkin, Yoana! Rosario itulah yang telah mengabulkan doa-doa nenek, dan sekarang kita berdoa tanpa rosario?” sergah sang nenek.
“Nek, itu hanya rosario, nek!”
“Hanya rosario? Dengar ya, Yoana! Rosario itulah yang mengabulkan banyak doa! Si Herman, anak Pak Aleks yang sakit jantung, sembuh karena rosario itu. Pak Nimus yang kena hepatitis bisa sembuh karena rosario itu. Si Ria yang kehilangan cincinnya, ketemu juga karena rosario itu. Dan masih banyak lagi! Semua dikabulkan rosario itu!”
“Ah, nenek! Rosario itu tidak mengabulkan doa, Tuhanlah yang mengabulkannya!”
“Tuhan? Orang kampung yang malas ke gereja tidak tahu Tuhan! Mereka hanya tahu rosario itu!” tutup sang nenek sambil masuk kamar dan tertidur, capek dan sedih.
***
Hari-hari berikutnya masih menyisahkan cerita yang sama; rosario biru itu belum ditemukan. Orang-orang kampung tak lagi datang mencari dan tak ada yang datang berdoa lagi. Nenek Ina masih tetap mencari meski di tempat yang sama. Perlahan, Nenek Ina mulai tenggelam dalam usahanya mencari rosario birunya. Dia menjadi malas ke gereja, dan bahkan mulai mencurigai dan menyumpahi orang-orang.
“Nenek yakin, ini pasti dicuri tetangga. Mereka pasti menginginkan kesaktian rosario biru itu!”
“Jangan menuduh nek!” balas Yoana.
“Saya sumpahi mereka, biar umur mereka pendek! Biar rosario itu yang akan mengutuk mereka!” marahnya.
“Nek, sudahlah. Kita masih bisa beli rosario yang baru!”
“Tidak mungkin itu!”
Nenek Ina semakin larut dan tenggelam dalam kehilangan rosario itu. Para tetangga mulai dicurigai bahkan diancam.
“Saya yakin satu dari sekian banyak tetangga di sinilah yang telah mencurinya. Saya berdoa semoga umur kalian pendek! Cepat mati! Itu benda sakral! Kalian pasti belum tahu rasanya dikutuk oleh benda sakral!” ancamnya pada tetangga dan orang kampung.
***
Seminggu berlalu, dan sebuah pagi yang cerah digantikan kegaduhan luar biasa ketika berita Nenek Ina yang pingsan lalu meninggal saat sedang merayap di bawah kolong tempat tidur kala mencari rosario biru miliknya tersiar seantero kampung. Warga kampung berbondong-bondong datang melayat dan memberi penghormatan terakhir.
Di ruang tengah, jasadnya terbujur dalam peti mati, diselipi beberapa pakaian dan kain sarung yang dibawa kerabat. Tepat di bawah kakinya, seuntai rosario biru miliknya justru ditemukan. Tak ada yang tahu pasti bagaimana dan siapa yang meletakannya di situ.
Para pelayat pun berbisik satu dengan yang lain, “Panggil Yoana. Dia harusnya mewariskan rosario biru ini.” Yoana pun datang mendekat.
“Biarlah rosario biru itu dibawa nenek bersamanya. Warisan tak selamanya membuat orang jadi bahagia,” celetuknya sembari meletakkan rosario biru itu di antara jemari sang nenek yang tertidur dalam keabadian.
Ruang Privat
Waibalun, Akhir Bulan Juni
Inspiratif syarat makna
BalasHapus